Saturday, November 23, 2013

Belajar Sufi Melalui Komik

Judul                : Kitab Komik Sufi
Pengarang      : Bayu Priyambodo (Ibod)
Penerbit          : Muara Kompas Gramedia
Terbit               :  2013
Tebal Buku     : 146 Halaman

Alkisah di sebuah negeri, seorang saudagar kaya raya sedang berjalan menikmati indahnya dunia. Di perjalanan, ia bertemu lelaki tua berpakaian lusuh, kotor dan compang-camping, tengah membawa sebuah mangkuk di tangan kanannya. Mangkuk tersebut ia tengadahkan, tanda meminta sedekah kepada orang yang bakal ditemuinya.

Tanpa ragu, saudagar itu hendak memberi bantuan kepada si lelaki tua. “Kasihan engkau, aku akan bersedekah padamu,” ucap saudagar itu dengan mimik penuh empati. Namun, ia kaget saat lelaki tua berjanggut tebal itu menjawab, “mangkukku takkan pernah terisi penuh sebanyak apapun pemberian orang, Tuan.”

Saudagar itu pun geram saat niat baiknya ditolak. Makanya, tanpa pikir panjang, langsung saja ia masukkan beberapa keping uang ke dalam mangkuk lelaki tua yang ditemuinya. Tapi lelaki jembel tua itu bersungut, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata. “Lihat,Tuan, mangkukku masih kosong!” ujarnya geram sebab saudagar dermawan itu tak mau dengar kata-katanya.

Saudagar yang berniat jadi dermawan itu nampaknya punya pendirian kuat. Seluruh uang logam yang dibawa dalam perjalanan, ia berikan lagi pada si jembel tua. “Nih, aku kasih semua isi kantongku,” katanya setengah marah.

Belum lagi selesai ia menarik nafas panjang amarahnya, Sang Saudagar benar tak kuasa menatap mangkuk jembel yang kembali kosong. “Lho, kok bisa begitu?” ia keheranan. Sambil menarik-narik janggutnya yang sedikit ditumbuhi rambut, ia berpikir, bagaimana bisa mangkuk tersebut kembali kosong dalam waktu yang sama saat ia mengisinya dengan uang.

“Mangkuk milikku mirip dengan nafsu keinginan manusia. Tak akan pernah bisa dipuaskan. Berapapun banyaknya yang dimiliki oleh manusia, dia selalu tak pernah puas!” terang si lelaki tua dengan tenang dan penuh kerendah hatian.

Belakangan, saudagar kaya itu baru sadar bila yang ditemuinya bukan sembarang lelaki tua. Melainkan seorang Darwis. Sufi pengelana yang banyak menyebarkan kebijaksanaan hidup di tiap langkah perjalanannya. Maka tidak aneh, bila Sang Saudagar pun keheranan dan sejenak tampak merenung. Renungannya pun nampak serius, ia bergeming meski pun waktu terus berubah.

Saudagar berpakaian ala Persia tersebut memang bergeming hingga akhir cerita. Ia hanyalah tokoh dalam kisah Mangkuk Ajaib, kisah tradisi Sufi yang sudah melegenda. Sufisme atau Tasawuf sendiri merupakan jalan penyucian jiwa berdasarkan ajaran Islam. Ajarannya mengutamakan ihwal kecintaan pada Tuhan, kasih sayang dan toleransi kepada sesama makhluk.

Beragam hikayat dan cerita rakyat berkembang dalam tradisi Sufi. Diantaranya banyak bicara soal keajaiban bahkan hal-hal lucu yang dialami oleh para Sufi. Sebagian besar kisah tersebut dapat ditemui dalam Kitab Sufi Klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali dan Tadzkirat al-Auliya karya Fariduddin Atthar. Atau hikayat yang disampaikan dari mulut ke mulut sejak zaman umat terdahulu sampai sekarang.

Beberapa cerita populer dalam tradisi Sufi itu kemudian dihimpun oleh Bayu Priyambodo dalam Kitab Komik Sufi. Komikus bernama pena Ibod ini merekonstruksi kisah legenda Sufi dalam bentuk komik dengan gambar-gambar yang sangat menghibur. Goresan pena yang khas hadir di tiap panel komiknya. Menampilkan tokoh-tokoh Sufi dengan gambar sederhana namun punya mimik dan dialog yang begitu mengena.

Cerita-cerita yang digambar Ibod juga sangat membantu para awam untuk mengenal Sufi. Ia memberi penjelasan singkat namun padat terhadap beberapa istilah dasar Sufi, lewat beberapa kisah antara Syaikh dan muridnya, riwayat para Darwis, juga permasalahan sehari-hari yang biasa dihadapi manusia. Ada yang lucu, seru, namun semua berada dalam satu garis: berintikan kebijaksanaan yang dapat diterapkan dalam perjalanan hidup di dunia.

Akhirnya, Ibod berhasil memvisualisasikan puluhan hikayat Sufi tanpa mereduksi esensi yang dikandungnya. Konsep-konsep dasar Sufisme seperti kebersihan hati, kasih sayang dan toleransi hadir sebagai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh setiap kalangan dan latar belakang. Baik etnis, bangsa, bahkan agama.

Hal ini didukung kuat oleh pengalamannya ketika melanjutkan studi Seni Rupa dan Desain di Ecole D’art Maryse Eloy, Paris, Prancis. Disana ia juga belajar pada salah satu Tarekat Sufi asal Maroko, Afrika Utara. Konsep dasar Sufisme ia kuasai dengan baik. Sehingga ia pun mampu meniupkan ruh dalam tiap cerita yang digambarkan.

Kurnia Yunita Rahayu

Thursday, August 1, 2013

Pemberi Mutu dari Genewa

Awalnya bertujuan untuk memenangi Perang Dunia, kini merembes ke dunia pendidikan.

Senjata yang mutakhir dan efektif memang jadi satu faktor kenapa Blok Barat (Amerika, Inggris, dan Perancis) memenangi Perang Dunia Kedua. Namun, siapa sangka sebelum Blok Barat menang justru senjata mereka sering memakan tuannya? Semasa Perang Dunia Kedua, khususnya di Inggris, banyak sekali ledakan saat perakitan bom di pabrik-pabrik mesiu.

Saking banyaknya kecelakaan, Pemerintah Inggris curiga bahwa prosedur perakitan senjata itu tidak berjalan semestinya. Untuk tindakan pencegahan, terbit standar manajemen BS 5750 yang jadi standar operasional bagi industri untuk menjalankan pabrik dengan utuh. Caranya dengan mendokumentasikan semua prosedur kerja, agar mutu produk dapat terkendali. Hasilnya memuaskan, Blok Barat memenangi Perang.

Senang dengan standar yang dibuat, pada 1946 pemerintah Inggris mengundang 25 negara untuk bertemu di Institut Teknologi London untuk menyosialisasikan standar manajemen BS 5750. Inggris meyakinkan negara lain bahwa standar yang dibuatnya punya banyak faedah supaya industri mampu mengontrol mutu produknya. Kemudian pertemuan tersebut menghasil International Organization for Standardization (ISO) yang resmi berdiri Februari 1947.

Dengan bukti dapat mengendalikan mutu senjata yang mampu memenangi Perang Dunia, ISO ingin berperan sebagai organisasi pemberi restu bermutu secara internasional. Ia kemudian menjelma sebagai mantri bagi perusahaan yang ingin sehat mutunya. “Banyak pihak yang tidak percaya terhadap mutu produk bila tidak punya standar dari ISO,” ujar Syafral, Auditor ISO Lembaga Pemerintahan Non Departemen Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (LPND/BPKP).

Hingga kini organisasi yang punya kantor pusat di Genewa, Swiss ini sudah memiliki 164 negara anggota termasuk Indonesia. Urusan penjaminan mutu juga tidak hanya sebatas manajemen perusahaan melainkan pemusnahan limbah pabrik, manajemen resiko, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kepuasan layanan bagi pelanggan. Ditambah keharusan dalam menaati prosedur yang berlaku.

Makanya, ISO punya beragam fokus standar mutu yang dikode seperti ISO 9000 untuk menajemen mutu, ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial (lebih jelas lihat tabel). ISO 9000 jadi yang paling banyak digunakan karena sifatnya yang fundamental mengenai kesehatan dalam manajemen dengan tujuan menciptakan produk yang laku di pasaran karena berprioritas pada kepuasan konsumen.

ISO 9001 menyediakan satu set prosedur yang mencakup semua proses krusial dalam bisnis. Seperti pengawasan dalam proses pembuatan produk, penyimpanan data dan arsip penting, serta pemeriksaan barang-barang hasil produksi untuk mencari unit-unit yang rusak. Kemudian dilanjut dengan melakukan tindak perbaikan secara efektif.

Ihwal produk yang laku di pasaran, makanya pada 1970-an perusahaan negeri di Indonesia mulai meminta restu bermutu dari ISO. Penyebabnya, saat itu banyak perusahaan asing yang hadir di Indonesia, “standarisasi (internasional) ini mampu membantu perusahaan lokal bersaing dalam dunia perdagangan internasional,” papar Syafral.

Di Indonesia, kemudian ISO mulai merangsek ke semua sektor. Niatnya tak jauh-jauh dari upaya internasionalisasi dan persaingan ekonomi. Belakangan sektor pendidikan kesengsem oleh sertifikat internasional dari ISO. Hal ini dilakukan, karena sektor pendidikan bisa jadi barang dagang yang potensial.

Greget mengenai mutu di dunia pendidikan dimulai saat keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. Dalam peraturan tersebut muncul rumusan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang kemudian mengeluarkan kebijakan agar tiap institusi pendidikan harus menyelenggarakan kegiatan penjaminan mutu. Demi memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen.

Lebih serius, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)-sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)-banyak menyisipi perihal mutu pendidikan dalam Rencana Strategis (Renstra) Nasional 2010-2014. Renstra tersebut berfokus soal penjaminan mutu berdasarkan optimalisasi pelayanan. Produk strategisnya berupa Sekolah Standar Nasional.

Kemudian ISO mulai diundang guna memantapkan penjaminan mutu. Kemdikbud mewajibkan Sekolah Standar Nasional memiliki Sertifikat ISO guna melangkah menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). “Sekarang ini (ISO-red) dijadikan nilai jual,” Jelas Syafral.

Di tingkat universitas, pada 2009 terbit pula kebijakan Kemdikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki sertifikat ISO.
Penjaminan mutu melalui ISO dirasa cocok atas konfigurasi liberalisasi pendidikan, yang diusung Indonesia setelah reformasi. Di universitas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) dengan maksud memberi otonomi penuh bagi universitas jadi garis awal.

Berteguh atas semangat kemandirian kampus dalam ranah pendanaan, penolakan RUU-BHP pada Desember 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengendur semangat. Setelahnya muncul kebijakan-kebijakan substitusi seperti Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang malah lebih jujur mempersiapkan universitas menjadi industri pengharap laba.

Konsep liberalisasi pendidikan menjadi sempurna ketika Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU-PT) legal. Dimulailah kegiatan akademis berlogika pasar bebas. Karena, lewat UU-PT, universitas asing kini bisa membuka cabang di Indonesia. Makanya, universitas di Indonesia kini punya tugas tambahan untuk menjual dirinya agar tidak kalah bersaing dengan universitas asing.

“Munculnya universitas asing seharusnya tidak menjadikan PTN rendah diri. Oleh karena itu, harus membuktikan diri dengan meningkatkan kualitas,” terang Nizam, Sekretaris Dewan Dikti. Untuk berada satu panggung dengan universitas asing, muncul kebutuhan standar-standar internasional. Makanya, membeli sertifikat dari ISO jadi langkah instan.

Pernyataan Nizam sejalan dengan target Dikti agar semua program studi di universitas negeri sudah memiliki sertifikat ISO. Maka berbondong universitas negeri membeli sertifikat ISO. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jadi salah satu yang reaksioner ikut-ikutan melabeli diri.

Pada 2009 ada tiga unit yang dibiayai UNJ untuk membeli sertifikat ISO: Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis, Jurusan Bimbingan Konseling, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan. Pada 2011 giliran Jurusan Sejarah, Jurusan Seni Tari, dan Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) yang dihadiahi sertifikat ISO oleh UNJ.  (Baca: Icip-Icip Mutu Internasional)

“Usaha (melalui ISO) ini tidak dapat dipisahkan atas target kampus menuju kancah internasional,” papar Sjafnir Ronisef, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) UNJ. UNJ menggunakan sertifikat ISO 9001-2008 mengenai penjaminan mutu yang didasari atas kepuasan mahasiswa sebagai konsumen mengenai layanan pendidikan di UNJ.

Meski bercita-cita dirinya bisa berkiprah dalam dunia internasional, sebenarnya UNJ belum punya konsep mengenai internasionalisasi, “tentang go international itu belum, saya belum memikirkan jauh kesana,” Kata Rektor UNJ Bedjo Sudjanto. Tapi UNJ tetap berani memasang target, “paling tidak tahun 2017 sudah tercapai,” lanjut Bedjo.

Terlepas silang sengkarut mengenai konsep internasional versi UNJ, paling tidak lewat ISO, UNJ telah menyiapkan dagangannya menuju pasar internasional. Dengan cara ini, UNJ berharap mampu menarik banyak konsumen agar membeli produknya.

Niat dimulai dengan menjual diri dengan baju internasional agar menarik masyarakat menjadi mahasiswa untuk berkuliah di UNJ. “Kita mencari merk, itu penting untuk orang tua dan mahasiswa baru,” kata Sri Harini Ekowati, Kepala Jurusan Bahasa Perancis UNJ menjelaskan motif institusinya ikut program ISO UNJ jilid satu.

Sertifikat ISO juga berguna untuk menarik investor agar menanam modal di UNJ. Lagipula, ini linear dengan status PK-BLU UNJ yang banyak memohon dana di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada perusahaan. Kepala Jurusan Seni Tari Didin Supriadi ikut merasakan faedah tersebut melalui ISO UNJ jilid dua, “tidak dipungkiri, dengan ISO kita lebih mudah dapat hibah (dari perusahaan),” ungkapnya.

Saat semua prosedur serta komponen lengkap dan berjalan dengan baik, UNJ percaya, ia akan jadi pedagang yang menghasilkan banyak untung. Asal, jangan pernah lupa, bahwa ilmu dagang lebih banyak menampilkan rugi ketimbang untung.


Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Laporan Utama

Semua Mau Cari Aman

Secara prosedural proyek pengadaan alat penunjang laboratorium berjalan lancar. Mencari aman semua pihak lempar tanggung jawab.

Beberapa kali dihubungi DIDAKTIKA ketua panitia lelang Tri Mulyono benar-benar ogah memberikan komentar, apalagi penjelasan soal proses pelaksanaan proyek pengadaan alat penunjang laboratorium. Ia bersi keras menjelaskan, posisi yang disandang sekadar sebagai pelaksana teknis. Sehingga urusan mark up anggaran semestinya dijelaskan oleh rektor sebagai pembuat kebijakan.

Bagi Tri Mulyono ada pihak lain yang harusnya lebih bertanggung jawab perihal tuduhan ini. “Saya tidak menunjuk secara personal, tapi setidaknya secara kelembagaan, Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum yang bertanggung jawab penuh soal proyek,” tegasnya.

Tuntutan tersebut diperkuat oleh kepala Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi Syachrian. “Setahu saya, (Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum) Pak Suryadi memang yang tanda tangan proyek, lalu Tri Mulyono itu meneruskan pengerjaannya,” kata lelaki lulusan IKIP Jakarta Jurusan Matematika ini.

Sedang Pembantu Rektor II Suryadi, tidak bisa memberi penjelasan atas indikasi keterlibatannya. “Kita lihat saja nanti, karena belum tentu juga,” katanya sambil menjanjikan pertemuan di lain waktu.
Rektor Bedjo sendiri santai menanggapi pertanyaan yang sama. Baginya secara kelembagaan, memang benar ia harus bertanggung jawab. Tetapi dalam proses penyelidikan, tentu akan ditemukan dimana letak penyimpangan terjadi.

Soal teknis, Tri Mulyono beserta keempat orang panitia lelang lainnya sudah melaksanakan seluruh prosedur proyek sesuai Perpres No. 80 Tahun 2003. “Mulai dari pemberitahuan lelang proyek di koran nasional hingga media online sudah dilaksanakan,” ujar Sekretaris Panitia Lelang Ifaturohiah Yusuf.

Rahim proses tersebut melahirkan PT Marell Mandiri sebagai pemenangnya. Ifath sapaan akrab sekretaris panitia lelang, punya alasan kuat atas keputusan timnya. PT Marell Mandiri menang karena punya penawaran harga yang paling murah dan kredibel secara dokumen.

Ditambah tidak ada protes dari perusahaan peserta lelang lainnya menyangkut kemenangan PT Marell Mandiri. Padahal, mereka punya masa sanggah selama tujuh hari untuk mengkritik ketidaksesuaian. “Buktinya nggak ada perusahaan lain yang menyanggah kan?” seloroh Ifath.

Di lain kesempatan sumber DIDAKTIKA yang sering menangani proyek pengadaan barang dan jasa di kampus berujar soal kerjasama perusahaan peserta lelang di belakang panitia. Perusahaan yang berniat memenangkan lelang biasa membagikan fee kepada peserta-peserta lain. “Jadi peserta lain nggak akan protes, karena sebelumnya sudah ada perjanjian pembagian fee,” tegasnya.

Mengenai data penawaran terkait perusahaan peserta tender, Ifath mengaku sudah tidak menyimpannya, dan sudah diserahkan ke (BAPSI). Namun, hal ini segera dibantah Kepala BAPSI Syachrian, “BAPSI hanya menyimpan dokumen anggaran yang bersumber dari PNBP,” tampiknya.

Ketiadaan data menjadi salah satu alasan bagi Tri Mulyono untuk bungkam. Baginya, sudah tidak ada yang bisa dibicarakan tanpa ada data-data terkait proyek. Lelaki berjanggut tebal ini menjelaskan semua dokumen sudah disita oleh Kejaksaan Agung, “saya mau bicara apa, dokumen saja sudah tidak ada.”

Sementara itu, PT Marell Mandiri sebagai pemenang, di tengah pelaksanaan proyek melakukan pemindahtanganan kerja kepada PT Anugerah Perkasa. Perusahaan yang masih satu konsorsium di bawah Grup Permai milik Nazaruddin. Namun, ihwal pemindahan kerja ini panitia lelang mengaku tidak mengetahuinya. “Bagaimana mau mengawasi kalau mereka kesini atas nama PT Marell Mandiri?” Ifath memprotes.

Sikap yang sama sudah jauh-jauh hari diambil oleh Rektor Bedjo Sujanto sebagai orang yang membentuk panitia lelang. Buatnya, tender sudah dibuka untuk umum dan perusahaan manapun bisa mengikutinya. Tetapi soal pengerjaan secara teknis, ia tidak bisa mengintervensi apalagi soal pemindahtanganan kerja. “Itu urusan perusahaan, sudah bukan urusan UNJ,” kata Bedjo pada Deklarasi Hari Anti Korupsi (9/12/11).

Eksistensi perusahaan pemenang dititik beratkan pada keabsahan dan kelengkapan dokumen. Sehingga tidak ada kecurigaan bahwa perusahan tersebut hanyalah fiktif. Padahal, dalam pemberitaan di media nasional, ditemukan lebih dari satu perusahaan palsu milik Nazaruddin. Secara administratif punya dokumen lengkap, tetapi bentuk nyata perusahaan tidak ada.

Ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, Ifath mengaku bahwa ia tidak tahu-menahu apabila memang PT Marell Mandiri adalah perusahaan fiktif. “Yang penting dokumennya lengkap, barang yang menjadi materi proyek ada, selesai kan?” sergahnya.

Mengalir ke Lima Fakultas
Dalam proyek ini, pengajuan barang harus dilakukan dalam waktu singkat. Karena dananya yang bersumber dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) digelontor DIKTI pada akhir tahun.
Berdasar penelusuran DIDAKTIKA dana ini mengalir ke lima Fakultas, yakni Fakultas Teknik (FT), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Ekonomi (FE), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK).

“Saya memang lupa fakultas apa saja yang dapat, tapi yang pasti paling banyak itu FT dan FMIPA.” Cerita Ifath. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kabag Tata Usaha FT Churiatun Naimah, “semua jurusan di FT dapat kok.” Dekan FIP Karnadi ikut membenarkan soal aliran barang dari proyek itu ke fakultasnya. “Kami (FIP) dapat komputer, lengkapnya bisa dicek di Kabag TU kok,” pungkasnya.

Sarana Penunjang Laboratorium segera diberikan sebagaimana mestinya di lima fakultas tersebut. Namun, seiring dengan munculnya dugaan mark up pada proses pengadaannya, awal 2012 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyisir seluruh laboratorium yang ada di kampus.

Pola kerja yang diterapkan KPK kali ini tidak bersifat Top Down. “KPK datang langsung menemui kajur-kajur atau kepala lab, dan langsung ke laboratorium,” kata Churiatun Naimah.

Pemeriksaan KPK menunjukkan hasil bahwa semua barang sesuai dengan keterangan yang ada di dalam dokumen. PD II Fakultas Ekonomi (FE) Siti Zulaichati bercerita bahwa pemeriksaan dari KPK tetap tidak menunjukkan temuan kejanggalan meski sempat ada barang yang tidak sesuai pengajuan di FE.  “Barang yang sudah tidak diproduksi di pabriknya diganti dengan barang yang kualitasnya sama, jadi kita terima saja,” akunya.

Kegiatan mark up logis terjadi meskipun bukti mikro di fakultas menunjukkan tidak ada kejanggalan. Meski fakultas diberi wewenang untuk menentukan spesifikasi serta jangkauan harga barang, adanya skenario penentuan perusahaan pemenang sekaligus nilai proyek, memunculkan potensi-potensi mark up anggaran.
Mulanya karena panitia lelang yang ditunjuk langsung oleh rektor. “Iya benar, kalau bukan saya siapa lagi yang bisa memilih mereka,” kata Rektor Bedjo. Sementara alasan pemilihannya Bedjo enggan menjelaskan. “Kami memang dibentuk dengan SK Rektor, mengenai alasan pemilihan dan orang-orang di belakangnya, kami tidak tahu,” sambut Ifath menanggapi pernyataan rektor.

Urusan memeriksa barang yang sudah dibeli oleh perusahaan pelaksana proyek jadi hajat panitia penerima dan pemeriksa barang. Tugasnya menimbang jumlah, merk, dan spesifikasi barang apakah sesuai dengan kontrak. “Soal harga itu terserah, bukan urusan panitia penerima barang,” ujar Kabag Perlengkapan FBS Sukirman memaparkan ranah kerja panitia penerima barang.

Kemudian setelah barang dikirim, dibuatlah berita acara tanda sah atas barang-barang yang dikirim. “Yang tanda tangan banyak, ada ketua, sekretaris, anggota,” lanjut Kirman. Dengan spesifikasi kerja seperti itu, maka indikasi mark up terjadi disini memang besar terjadi sebelum panitia proyek menjalankan kerjanya.


Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana

Jejaring Korupsi Nazaruddin hinggap di UNJ

Bermula dari terbongkarnya jejaring proyek M. Nazaruddin, Korupsi UNJ mulai terbongkar. Rektor Bedjo Sudjanto diduga terkait kuat.

November 2011, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Fakhrudin Arbah ketar-ketir. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya harus tersandung kasus korupsi. Buatnya, posisi sebagai Pembantu Rektor yang mengurusi mahasiswa dan kemahasiswaan memang tidak punya banyak kesempatan untuk menyuburkan bibit korupsi.

“Saya stress luar biasa, sampai tidak bisa tidur. Keluarga sampai menyebut saya koruptor, pembohong,” Fakhrudin mengiba. “Belum lagi anak-anak saya yang mendapat tekanan dari teman-teman sekolahnya yang mengetahui berita tersebut.”

Korupsi memang tidak pandang bulu siapa saja bisa didapuk menjadi pembawa risalahnya, termasuk Fakhrudin. Karena kejahatan memang bukan terjadi cuma bermodal niat, tapi kejahatan turut mencipta kesempatan. Fakhrudin masuk dalam pusaran ini.

Mulanya dari sebuah proyek pengadaan alat laptop dan alat penunjang laboratorium. Total nilai proyek tersebut 17 miliar rupiah. Proyek tersebut merupakan proyek tahunan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Proyek ini bermasalah karena muncul dugaan penggelembungan dana sebesar 5 miliar rupiah. Indikasinya muncul karena mulai terungkapnya gurita korupsi yang dilakukan M. Nazaruddin Anggota DPR sekaligus Bendahara Umum Partai Demokrat.

Kasus ini melibatkan dua perusahaan tender milik M. Nazaruddin: PT Marell Mandiri, dan PT Anugerah Nusantara. PT Marell yang memenangi tender proyek tersebut, namun di tengah jalan ia tidak bisa melanjutkan proyek tersebut. Maka hadirlah PT Anugerah Nusantara sebagai pelaksana proyek hingga proyek ini selesai. Dua perusahaan itu satu konsorsium dalam Grup Permai milik M. Nazaruddin.

Sebenarnya indikasi korupsi sudah tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak semester pertama 2011 Namun, penyidikan selama 4 bulan tersebut terhenti karena KPK tidak banyak menemukan bukti yang memeperkuat. Baru pada November 2011 Kejaksaan Agung kembali memeriksa kasus ini dan mendapati Fakhrudin sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Tri Mulyono ketua Proyek sebagai tersangka dalam kasus ini.

Lewat surat perintah penyidikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 untuk Fakhrudin, dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011 untuk Tri Mulyono, mereka berdua resmi menjadi tersangka. “Saya kaget, saya belum sekalipun dipanggil oleh Kejagung tapi nama saya sudah disebut sebagai tersangka,” seloroh Fakhrudin.
Urusan menjadi komando dalam sebuah proyek harusnya jadi hajat Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, namun kampus mendapat proyek ini saat rektor Bedjo Sudjanto baru memenangi kembali kursi Rektor UNJ untuk kedua kali menyebabkan hal itu tidak terjadi.

Dalam periode kedua sebagai Rektor UNJ ada struktur yang berubah Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sebelumnya dijabat Syarifudin kini jadi milik Suryadi. “Pak Suryadi sendiri tidak bisa dijadikan PPK karena belum resmi menjabat, sedangkan Pak Syarifudin karena sudah lengser dan sudah banyak pegang proyek,” Bedjo Sudjanto mengklarifikasi pada acara Deklarasi Hari  Anti Korupsi (9/12) 2012.
Maka datanglah jabatan PPK sekonyong-konyong ke ruangan Fakhrudin. “Fakhrudin itu seorang yang lugu dan jujur, makanya jabatan ini disemat kepadanya.” lanjut Bedjo Sudjanto. ”Walaupun saya tahu ia tidak mengerti perihal teknis proyek.”

Fakhrudin yang ditunjuk langsung oleh Bedjo pun tidak bisa banyak berkutik. Ia yang mengaku sejak mengajar di UNJ pada 1984 tidak pernah mau berurusan dengan soal keuangan, kali ini menjadi orang linglung, “sekali ini saya tidak tahu kenapa menyetujui untuk menjadi PPK, saya seperti terbius,” ujar Fakhrudin.

Posisi Fakhrudin sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebenarnya rawan untuk dijadikan seorang PPK dalam sebuah proyek. Bukan cuma tentang posisi tapi juga soal kapasitasnya. Selain tidak pernah sekalipun berurusan dengan proyek ia juga tidak terdaftar sebagai pejabat yang tersertifikasi untuk menangani sebuah proyek pengadaan barang.

Sementara itu Tri Mulyono, dosen fakultas Teknik yang berduet bersama Fakhrudin sebagai tersangka kasus ini ogah berkomentar mengenai keterlibatannya, “saya tidak mau berkomentar karena saya cuma pelaksana teknis,” katanya kepada DIDAKTIKA (31/07).

Janggal Dari Awal
Selasa (6/12) 2012 Fakhrudin bercerita banyak kepada mahasiswa dalam rapat dengan pimpinan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membahas agenda studi banding UKM. Di sela-sela acara tersebut ia meluangkan waktu untuk mengklarifikasi kasus yang menimpa dirinya. “Ada (tanggapan) yang enak saya dengar, kemudian saya semakin teguh untuk menghadapi ini. Tapi ada juga yang membuat saya nggak bisa tidur,” katanya.

Sebelum datang, Fakhrudin mengaku menemui Rektor Bedjo untuk menjelaskan niatnya untuk bertemu mahasiswa dan menjelaskan kasus ini. Awalnya, Bedjo ragu-ragu akan kehadiran Fakhrudin untuk menjelaskan kasus ini, “kenapa berhadapan dengan mahasiswa? Nanti bisa nggak menyampaikan?” Ujar Fakhrudin menirukan Bedjo Sudjanto.

Sepak terjang Fakhrudin dalam proyek ini dimulai setelah keluar Surat Keputusan (SK) Kemendiknas atas nama Sekretaris Jendral Kemendiknas Dodi Nandika Nomor 5138/A.A3/KU/2010. Tertanggal 21 Januari 2010, ia resmi menjadi PPK proyek pengadaan sarana penunjang laboratorium.

Di lapangan Fakhrudin cuma bertindak sebagai asesor, saya tidak menyusun (dokumen). Jadi kalau dalam menyusun disitu memang ada salah, ya saya sebenarnya salah tanda tangan, karena saya nggak pernah baca. Ndak mungkin baca, kalau baca pun nggak ngerti juga,” katanya lugu.

Atas persetujuan-persetujuan yang dilakukannya, ia mengaku mendapat honor proyek yang memang dijatahkan oleh Rektor Bedjo. “Honor yang saya peroleh berdasar Surat Keputusan Rektor 500.000 per bulan dipotong pajak jadi 425.000,” aku Fakhrudin. “Saya bekerja diberi tambahan masa tidak ada penghasilan tambahan.” Di lain kesempatan, Fakhrudin menolak bila dikatakan ia menerima fee atas proyek tersebut. “Saya tidak menerima fee apapun,” aku Fakhrudin kepada Didaktika.

Dalam kerja-kerjanya Fakhrudin tidak sendiri, ia punya tim pengadaan barang di bawah koordinasinya, data yang didapat dari Kejaksaan Agung, panitia pengadaan barang ini sudah disahkan melalui SK Rektor Nomor 11.B/SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010. Mereka adalah Tri Mulyono (Ketua), Ifaturohiah Yusuf (Sekretaris), Suwandi (anggota), M. Abud Robiudin (anggota), dan Andi Irawan Sulistyo (anggota).

Idealnya, dalam sebuah proyek pengadaan barang panitia lelang dibentuk oleh PPK. Namun, dalam kasus ini Rektor Bedjo yang memilih. Pun penunjukkannya dilakukan lebih dahulu ketimbang pemilihan PPK. Makanya kemudian muncul indikasi keterlibatan Rektor Bedjo dalam kasus ini.

Hal ini diperkuat dengan adanya pengakuan Ahmad Rifai, pengacara Mindo Rosalina Manulang koordinator PT Marell Mandiri perusahaan yang terkait dalam kasus ini, “Rosa mengaku disuruh Nazar menemui Rektor UNJ pada 2010. Maksud pertemuan itu untuk proyek pengadaan Alat Laboratorium dan peralatan penunjang Laboratorium pendidikan,” Kata Rifai dikutip dari Koran Tempo, 15 Februari 2012.
“Dalam proyek kampus Nazar memang melakukan banayak lobi-lobi untuk meloloskan proyeknya,” tambah Ade Irawan Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada DIDAKTIKA (19/2). “Ia melobi Badan Anggaran (Banggar), anggota DPR, orang Dikti, termasuk pejabat kampus.”

Saat dikonfirmasi, Bedjo Sudjanto mengaku pernah bertemu dengan Nazruddin membahas perihal proyek, “saya pernah bertemu Nazaruddin dulu di sini (Gedung Rektorat),” Aku Bedjo. Namun, Bedjo membantah bahwa pertemuannya dengan Nazaruddin membicarakan kasus korupsi yang yang menimpa UNJ, “waktu itu ia (Nazaruddin) datang sebagai orang PP, ya kami membicarakan proyek PP.” Bedjo mengklarifikasi.

Bedjo juga menjamin ia tidak pernah mengintruksi untuk melakukan tindakan korupsi kepada bawahannya, “sekarang yang bisa membuktikan bahwa itu kasus korupsi siapa?” tukas Bedjo. Rektor Bedjo sendiri tak mau ambil pusing atas kasus ini, atau indikasi keterlibatannya. Proses pengusutan yang berlarut bisa menenangkan hati Bedjo. “Hingga saat ini kan belum terbukti,” tampik Bedjo.

Sementara itu, Fakhrudin belakangan merasa semakin tegar menjalani kasus yang berlarut-larut ini sendirian, “saya merasa dikorbankan disini, bila kemudian ada pelaku yang bermain di belakang itu benar-benar di luar pengetahuan saya,” ujarnya lirih. “Saya mau bawa Rektor sebenarnya, tapi tidak bisa karena namanya tidak ada.”

Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana

Saturday, July 27, 2013

Word

Beberapa hari belakangan, agak susah buat saya merangkai kata, bukan karena mati otak atau beku pikiran, melainkan tidak punya perangkat yang kadung membuat saya ketergantungan. Mesin ketik nan pandai menghitung yang sudah saya miliki sejak semester pertama menjadi mahasiswa kini mulai dijangkiti dosa kebodohan. Ia tak lagi bisa bekerja memaksimalkan kemampuan otaknya, sebab terlanjur tidak memproteksi diri terhadap gangguan-gangguan dari luar, yang kemudian ia kenal bagian dari spesies virus, entah datang dari koloni yang mana. Meski tidak dikenal, virus yang enggan saya sebutkan namanya itu punya nyali besar. Berani betul dia menyerang satu perangkat vital-paling tidak dalam hidup saya-, membuatnya impoten, dan pada tingkatan selanjutnya, memicu sebuah paralisis progresif pada mesin ketik paruh baya ini.

Perangkat yang pertama diserang itu bersifat lunak, punya nama lengkap Microsoft Word, namun saya lebih suka mengakrabinya dengan sapaan, Word. Nampaknya, Si empunya gagasan atas perangkat ini sengaja memberi nama sesuai dengan pilihan esensi hidup untuk bayi karyanya. Dalam Bahasa Indonesia, Word berarti kata. Secara sederhana tergambar pola esensi hidup yang termaktub dalam labelnya. Ia bekerja dengan kata-kata, mulai dari mewujudkannya dalam bentuk material, hingga melakukan pengolahan yang tingkat perkembangannya belum selesai hingga hari ini. Cuma satu yang tidak bisa ia lakukan berkenaan dengan kata, melahirkannya kemudian merancang apa yang akan dilakukan oleh kata. Sebab ia hanya alat, yang mengolah dan mengemas kata-kata. Word cuma bisa menyaksikan dan mengakomodasi sejak kata-kata itu lahir, saling bertemu, jatuh cinta, kemudian kawin dan melahirkan sebuah gagasan, dalam banyak bentuk.

Word itu, cuma memfasilitasi kegiatan penggunanya dalam berkata. Namun, duda si empunya gagasan yang sudah kawin dengan pemilik modal yang sexy memang tidak akan membiarkan para pengguna menyadari makna dasar Word begitu saja. Sudah jadi rahasia umum bahwa pernikahan mereka melahirkan sebuah rumusan, yang dibuat sedemikian rupa agar bayi bawaan si duda bisa digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang mereka. Untuk melanjutkan kehidupan berumah tangga. Maka, Word menjelma jadi barang memikat. Tampil menggairahkan bukan hanya lewat sex appeal, tapi juga kecendrungan intelektual yang mampu memikat dan membuat para pengguna jadi ketergantungan padanya. Bahkan, Word ditampilkan sebagai fitrah bagi para pembuat kata-kata. Tidak akan ada karya tanpa Word!

Untungnya, Word tidak bisa melampaui dirinya sendiri. Sehingga ia mampu ingatkan saya pada organisasi, Didaktika. Ia sama, tidak bisa melampaui dirinya sendiri. Cuma sekadar ruang yang mengakomodasi beragam hal yang ada pada kepala penghuninya. Jika saja ia mau dan bisa, mungkin Didaktika bakal hidup kemudian minta diberdayakan atau memberdayakan diri sendiri. Hahaha, membayangkannya saja sudah membuat bergidik.

Sayangnya Didaktika benda mati, seperti Word. Ia diam saja, tidak bereaksi kala sejumlah virus menjangkitinya. Iya, dia diam saja, bahkan hingga mereka menggerogoti tubuhnya yang penuh akan nama besar dalam catatan sejarah itu lumpuh, Didaktika tetap diam. Tak peduli, tak sadar, bahkan tidak merasa.

Paling-paling penggunanya yang kemudian kelimpungan, bagaimana bisa, perangkat yang sudah dimiliki dengan beragam fitur ini jadi impoten? Ya meskipun tidak canggih, tapi bisa dikilik sedemikian rupa agar bisa menunjang kegiatan anggotanya. Sebab dalam beberapa hal, Didaktika berbeda dengan Word yang melalui lisensi resmi, pengguna tidak bisa melakukan kodifikasi atas kerjanya. Organisasi ini lebih seperti Android atau Linux, sistem operasi terbuka yang bisa diberdayakan sekuat-kuatnya asal manusia yang menggunakan mau bersusah payah memeras otak untuk memecah kode-kode lawas dan bermasalah berbahasa mesin ke dalam logika yang tepat.

Sayangnya belakangan banyak virus yang berjangkit disini. Bukan salah virus yang bebas masuk karena memang sudah fitrahnya ia punya kemampuan lebih untuk menggoda banyak sistem. Namun, mungkin ada keengganan untuk memasang antivirus. Tapi virus itu memang tidak diragukan keandalannya untuk merusak. Sebab ia masih mampu merasuk ke dalam sistem yang terproteksi.

Untuk itu, kita sering mendatangkan bala bantuan dari para hacker yang membawa manual book Marx untuk menjebol masalah yang tak kunjung selesai. Mengaikan struktur sosial dengan beragam hal yang terjadi. Kemudian tak lupa ada programmer yang logikanya banyak dirasuk Weber dalam melihat posisi penting individu. Atau kadang sudah banyak konsesi damai dibuat dengan menghadir Giddens yang membuat hubungan keduanya menjadi saling berkait.

Dengan mengendap-endap, saya bisa melihat kemenangan Weber disini. Sistem sudah dibuat, tapi tidak berjalan. Bisa digarisbawahi, bukan gagal, tapi tidak berjalan.

Kembali pada Word, yang dinamai berdasar esensi hidupnya. Pun dengan didaktika, sebagai lembaga pers mahasiswa. Maka tidak perlu gamang ketika oknum dari sebuah perhimpunan berusaha mempertanyakan perihal produk, produktivitas, eksistensi, and what the hell others he said. Selama beridentitas sebagai lembaga pers, lakukan saja apa yang sudah kita rumuskan di awal. Ketakutan atas majalah yang tidak terbit bukanlah karena cemooh atau merasa sudah banyak melakukan hal lain yang sama atau lebih berharga. Melainkan karena apa yang bermasalah, gagal dipopulerkan menjadi masalah kolektif.

Maka saya kini jadi tahu, mengapa Jenderal Zod dalam film Man of Steel bersi keras menentang perbuatan Jor-El yang mencuri codec dari rancangan esensi manusia di planetnya untuk dibuang ke bumi. Jenderal Zod cuma mau mempertahankan esensi yang sudah dibentuk. Agar manusia yang berkekuatan Word, tidak memaksa diri untuk menjadi Photoshop.

Kurnia Yunita Rahayu

Thursday, July 18, 2013

Merumus UNJ

Rawamangun, tengah kota Jakarta. Tidak seperti kawasan pusat kota lainnya, ia nampak bersahaja dengan perguruan tinggi negeri yang didirikan tepat di jantungnya. Mengapa bersahaja? Sebab bukan sembarang perguruan didirikan di tanahnya. Perguruan bukan sekadar penghasil orang-orang pintar. Tetapi perguruan yang punya tugas utama melahirkan kembali guru. Agen yang ada di posisi terdepan guna melaksanakan tugas pencerdasan bangsa.

Perguruan itu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta. Didirikan 49 tahun yang lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan guru, untuk melengkapi konfigurasi pendidikan nasional yang lebih berkualitas. Setelah negara mengutamakan pembangunan pendidikan secara horizontal dengan menyediakan guru-guru lulusan institusi setingkat sekolah menengah.

IKIP didirikan tidak hanya di Jakarta, melainkan di berbagai kota segenap penjuru Indonesia. Menawarkan paket lengkap dengan model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dengan keilmuan murni. Sempurna lewat jaminan pekerjaan guru bagi para lulusannya.

Namun, hal tersebut tak menarik antusiasme masyarakat. Sedikit orang terpanggil untuk menjadi guru. Mahasiswa IKIP didominasi mereka yang tidak lulus perguruan tinggi yang menjajakan ilmu murni. IKIP menjadi pilihan nomor dua bagi anak bangsa.

Meski dibebani tugas mulia melahirkan guru-guru bangsa, IKIP bukan sebuah entitas tunggal yang mampu tentukan nasibnya sendiri. Ia berada dalam lingkar faktor yang menjadi penentu eksistensinya. Pemerintah memberikan anggaran dana yang tidak sama antarperguruan tinggi negeri. Sialnya, porsi yang lebih kecil jadi jatah IKIP. Makanya, pengembangan kampus-kampus yang minim jadi sebuah konsekuensi logis.

Menjadi guru setelah lulus dari IKIP bukanlah kabar menggembirakan buat masyarakat, malah jadi bulan-bulanan. Mereka yang siap menjadi guru berarti mesti menyiapkan diri untuk hidup dalam belenggu kemelaratan, sebab tak ada jaminan kesejahteraan atasnya.

Guru pun tidak punya akses untuk bermain-main dalam gagasan untuk membuat dunianya lebih berarti, sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar mengajar. Tidak ada hak suara untuk menetukan kebijakan pendidikan. Kiprahnya dibatasi, hanya berkutat dalam aras operasional teknis yang ajeg.

Maka tidak heran, bila mahasiswa IKIP kian berkurang tiap tahun. Dari dalam diri IKIP pun tidak pernah terlihat prestasi kemajuan yang berarti, yang layak tercatat dalam sejarah. Akibatnya, kekecewaan merundungi tidak hanya masyarakat, tetapi juga bagi komunitas IKIP sendiri.

Di tengah situasi seperti ini, pengelola dan warga IKIP nampak tidak dapat meningkatkan posisi dan prestasi sebagai sebuah lembaga penting, sebagai satu-satunya lembaga penghasil guru. Karut marut keadaannya tidak dihadapi dengan serius. Alih-alih melakukan pembenahan yang mampu meningkatkan harkatnya, IKIP justru menghendaki diri berkonversi menjadi universitas. Rupanya ada hasrat yang mulai curi-curi lahir dari pemikiran warga IKIP. Mereka ingin bermetamorfosa, meninggalkan kehidupan sebagai IKIP dan segera menyambut diri yang baru, sebagai universitas.

Salah satu mantan Rektor IKIP Jakarta Conny Semiawan mengatakan, sebelum konversi datang bala bantuan dana dari Bank Dunia kepada IKIP untuk mengembangkan ilmu pendidikan. Sayangnya, pengembangan tersebut diterjemahkan untuk mengonversi IKIP menjadi universitas kemudian membuka jurusan-jurusan di luar kependidikan. Sehingga nampak fokusnya adalah penciptaan pasar.   

Dari segi antusiasme masyarakat, imbasnya memang signifikan, universitas eks-IKIP, termasuk Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berhasil menggaet ribuan mahasiswa. Namun, lebih dari satu dekade berlalu sejak konversi tersebut, universitas eks-IKIP nampak tetap tidak mampu memenuhi harapan masyarakat. Kualitas lembaga dan lulusannya kian hari kian dipertanyakan. Terutama dalam hal terkait pendidikan dan tenaga guru profesional.

Saking tidak percayanya, birokrasi yang semestinya memfasilitasi perkembangan universitas eks-IKIP pun enggan menoleh. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) pada 2005. Profesionalitas guru dirumuskan secara baku, dan perihal menghasilkan guru tidak lagi jadi hak tunggal universitas eks-IKIP. Siapapun boleh menjadi guru, asal mengikuti program pendidikan profesi yang disiapkan pemerintah.

Dalam keadaan ini, universitas eks-IKIP yang masih mengakui diri sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merasa punya hak sejarah atas penyelenggaraan pendidikan guru. Meminjam  istilah mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad ini merupakan titik dimana sekali lagi mereka mesti bermetamorfosa menjadi LPTK pasca-UUGD.

LPTK pasca-UUGD inilah yang kemudian mesti dirumus, sebab momen ini potensial untuk menjadi titik balik perbaikan diri. Asumsi bahwa LPTK tanpa perubahan bisa menghasilkan guru-guru yang diharapkan masyarakat sudah terbukti gagal. Maka merumus LPTK yang baru menjadi penting, untuk menetapkan hakikat LPTK yang dibutuhkan.

Beberapa tahun berjalan sejak kelahiran UUGD, LPTK mulai merumus identitas. Dengan menjadi lembaga penyelenggara program-program terkait dengan penciptaan guru profesional. Seperti Sertifikasi Guru dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Perubahan dalam komposisi mata kuliah pun dilaksanakan. Tidak ada lagi pelatihan mengajar bagi mahasiswa LPTK, mata kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) ditiadakan. Model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dan keilmuan ditinggalkan, berganti pada model pendidikan guru berkelanjutan.

Namun, rumusan LPTK pasca-UUGD nampaknya tidak bisa sesederhana dan terbatas pada perubahan format dan perubahan program. Dibutuhkan perubahan visi, orientasi, konsepsi, dan strategi. Hal tersebut hanya akan dicapai dengan membuat rumusan internal yang mendasar dan menyeluruh.

Ini berarti, kita mesti bekerja keras untuk membongkar tradisi yang selama ini terlembagakan. Di usianya yang ke-49, semestinya UNJ sudah bisa menunjukkan determinasi untuk merumuskan falsafah atau visi yang jelas. Sehingga tidak menjadi lembaga teknis administratif yang kerjanya hanya melaksanakan kebijakan pemerintah, yang bahkan tidak berpihak pada dirinya. 

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, June 21, 2013

Menjadi Guru Inspiratif

Judul               : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis            : J. Sumardianta
Penerbit          : Bentang
Tahun Terbit   : April 2013
Halaman         : 303 halaman

Masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.

Sejak diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005, khalayak Indonesia mengenal konsep profesionalisme atas guru. Bersamaan dengan itu pula, muncul paradigma baru terhadap guru, sebagai tenaga profesional. Demi meraihnya, profesi berciri khas keteladanan itu kini mesti berhadapan dengan sejumlah persyaratan untuk mencapai profesionalitasnya.

Paling tidak, UU meminta guru untuk memenuhi kualifikasi akademik serta beragam kompetensi pendukungnya. Seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang disahkan dalam selembar sertifikat. Untuk menjamin ketercapaiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menciptakan rumusan jitu: sertifikasi dan pendidikan profesi guru.

Program yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 itu dijadikan senjata pamungkas dalam menjawab kebutuhan akan profesionalitas guru. Sebab, jalur menuju profesi guru ikut berubah bersama lahirnya agenda ini. Sehingga tidak boleh ada guru yang alpa mengikutinya. Bila terpaksa itu terjadi, resiko ditanggung sendiri. Ia dinyatakan tidak profesional dan tak mendapat gaji tambahan.

Ingin segera menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu, persiapan dan penyelenggaran program tersebut dilakukan. Kementerian menyediakan jalur sertifikasi untuk mereka yang sudah lima tahun mengajar di sekolah. Iming-iming uang tunjangan sebagai imbalan profesionalitas pun disambut baik oleh sebagian besar guru. Maklum sudah puluhan tahun guru Indonesia hidup dalam belenggu kemelaratan.

Namun, kabar ini segera ditolak oleh Y. Sumardiyanto, pengajar di SMA Kolese John De Britto Jogjakarta. Bagi guru yang sudah 20 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan ini, masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.

Lewat buku perdananya Guru Gokil Murid Unyu, guru yang menggunakan nama pena J. Sumardianta ini mengatakan seberapa pun tinggi kompetensi guru, ia tidak akan mendapat perhatian murid bila tidak bisa menjadi inspirasi dengan menjadi teladan. Bagaimana seorang guru bisa menjadi sumber inspirasi? Minimal, ia tidak mendominasi kelas dengan berceramah sepanjang hari. Senantiasa menjadikan murid sebagai subjek pada kegiatan belajar mengajar.

Untuk memosisikan murid sebagai subjek, Sumardianta mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak dapat terlaksana selama guru-guru masih mengikuti kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah. Sebab, sarat dengan otoritas kelompok dominan yang jelas-jelas bertujuan menunadayakan siswa bukan membebaskan.

Hal ini dapat ditinjau dari pelaksanaan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Kurikulum yang mengklaim diri memiliki semangat pemberian otonomi kepada guru dalam mengembangkan bahan ajar terbukti hanya bualan. Sebab, pemerintah masih memberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Maka, guru dan murid perlu untuk membongkar muatan ideologis yang ada dalam kurikulum dengan melakukan pendidikan yang membebaskan.

Sebagai konklusi atas pendidikan yang membebaskan, Sumardianta kemudian berpulang pada gagasan Paulo Freire. Pedagog asal Brazil yang mengajukan pola pendidikan pemberdayaan manusia melalui pertumbuhan kesadaran. Freire sendiri membagi kesadaran ke dalam tiga ranah. Kesadaran magis, naif, dan kritis.

Manusia berkesadaran magis tidak dapat menemukan kaitan antara ketidakberdayaan dengan struktur sosial ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melingkunginya. Pandangan ini bercorak fatalistis, dengan memosisikan sesuatu yang ada di luar diri manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Seorang fatalis menganggap seluruh hal yang tidak mampu dilakukannya merupakan kodrat Tuhan yang tidak bisa diubah.

Dalam kesadaran naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri bila terjebak dalam situasi keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Sedangkan manusia berkesadaran kritis akan mampu membongkar penyebab keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang terselubung oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagai tindak lanjut, guru punya tugas utama untuk menuntun tiap siswanya menapaki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Untuk mencapai tingkatan kesadaran kritis, mesti dilangsungkan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan murid. Kondisi yang sepenuhnya lepas dari pengendalian satu sama lain. Maka, dalam situasi seperti ini, guru sudah bertransformasi menjadi pendengar yang senantiasa memperhatikan, bukan guru berwatak konvensional yang terus menerus memberi instruksi yang mampu mengubur kreativitas dan karakter murid.Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang kritis sebelum menularkannya kepada para murid.

Poin utama dalam rangka menumbuhkan kesadaran kritis serta karakter yang kuat dalam diri tiap murid adalah dengan memberikan mereka pengajaran yang bermakna atau lebih dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual. Mewujud hal ini, guru mestilah senantiasa memperkaya diri dengan beragam pengetahuan agar bisa merumus pengetahuan yang baru. Hingga pada tingkatan selanjutnya mampu mengaitkan pengajaran yang diberikan kepada kebutuhan hidup sehari-hari.

Dicontohkan oleh J. Sumardianta, sekolah tempatnya mengajar selalu mengadakan program live-in bagi murid-muridnya. Daerah-daerah berpenduduk miskin biasa jadi tujuan. Disana lah murid-murid SMA Kolese John De Britto--yang sebagian besar berasal dari kelas menengah atas--diasah karakternya dengan membiarkan mereka belajar langsung dengan hidup bersama penduduk setempat selama beberapa waktu. Dengan begitu, murid akan mendapatkan pelajaran dari langsung dari kehidupan yang mampu memberikan mereka lebih dari inspirasi.

Buat Sumardianta, untuk menciptakan pendidikan yang ideal, penekanannya terletak pada guru. Dalam hal ini, ia memercayakan perubahan dari dalam diri guru itu sendiri. Yakni dimulai dengan mengubah paradigma mengajar bukan sekadar untuk bekerja mencari nafkah melainkan belajar untuk meraih gelar S-4 (Sukses Sekolah Sejahtera Selamanya). Maka, dibutuhkan guru berkarakter altruis, yang sepenuhnya mengabdi kepada murid.

Perihal inspirasi juga menduduki posisi penting dalam gagasan yang dikemukakan Sumardianta. Oleh karena itu, guru mesti rajin membaca untuk mendapatkan referensi yang menginspirasi dan menuliskannya sebagai bentuk pengejawantahan pengetahuan yang sudah didapat.

Kemampuan menulis memang menjadi andalan guru yang satu ini. Melalui tulisan-tulisannya, ia menunjukkan kepada para murid bahwa dirinya merupakan sosok yang mampu menginspirasi. “Masing-masing guru harus punya nilai lebih. Kalau kita menjadi guru yang datar-datar saja, mohon maaf, tidak bakal ditengok siswa,” tulis Sumardianta di bagian akhir bukunya.

Saking gandrung dan percayanya pada hal-hal yang menginspirasi, Sumardianta membuka seluruh tulisan yang ada di buku ini dengan beragam kutipan dan kisah inspiratif. Baik yang bersumber dari dalam negeri, luar negeri, tokoh-tokoh dunia, hingga kisah-kisah yang diambil dari kitab suci lintas agama. Menjadi satu karakter yang menarik bila dikemudian hari J. Sumardianta menjadikan hal ini sebagai ciri khas tulisannya.

Buku ini cocok dibaca untuk siapa saja, terutama para guru dan calon guru yang haus inspirasi. Lewat tulisan-tulisannya, Sumardianta berhasil membuat pembaca terinspirasi untuk menjadi guru yang bijaksana dan mengabdi kepada murid.

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, June 14, 2013

Raih Prestise Lewat Sabung Ayam

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, seorang Antropolog asal Amerika Serikat “digerebek” di sebuah desa di Bali. Konon, ia yang kala itu ditemani istrinya, dikejar-kejar oleh segerombol polisi, karena ikut menonton warga setempat yang sedang menyabung ayam. Meski mencoba berkelit, polisi tak henti menginterogasi. Hingga identitasnya terungkap, lelaki yang kemudian dikenal bernama Clifford Geertz beserta istri adalah profesor yang ingin mengamati praktek-praktek sosial masyarakat di Bali, guna memahami sistem nilai dan pengetahuan yang berkembang disana.

Ayam Jago, dan acara Sabung-Ayam segera jadi perhatian Geertz. Pasalnya, kebiasaan masyarakat Bali yang satu ini jarang sekali dilirik oleh para ilmuwan. Padahal, menurutnya “seperti apa” orang Bali sesungguhnya mampu diungkap lewat berbagai unsur yang terkandung dalam sabung ayam.

Segera saja ia mengidentifikasi satu persatu makna yang ada di balik bentuk fisik sabung ayam dan unsur-unsurnya. Geertz memulainya dengan Ayam Jago (Jantan). Spesies hewan yang dijadikan petarung di arena sabung ini merupakan ungkapan simbolik atas ego lelaki yang narsistis terungkap dalam pengertian Aesopia. Kemudian, ayam itu adalah ungkapan dari apa yang dianggap oleh orang Bali sebagai pembalikan langsung, secara estetis, moral, dan metafisis, dari status manusia, yakni kebinatangan. Makanya, beberapa praktek budaya masyarakat Bali banyak melakukan hal tersebut, ritual simbolik sebagai perlambang untuk meninggalkan tingkah laku yang serupa dengan hewan. Semisal, mengikir gigi agar tidak nampak seperti taring, menjadi ritus pokok bagi remaja yang sudah memasuki masa pubertas.

Sabung Ayam bukan cuma soal keberadaan hewan, ritus ini dilakukan oleh masyarakat Bali dengan sebuah sistem yang ketat. Untuk hal ini, Geertz mengatakan bahwa orang Bali tidak pernah melakukan segala sesuatu secara sederhana, sehingga selalu berusaha membuat sesuatu secara rumit. Salah satunya mewujud dalam peraturan tentang taruhan. Berdasarkan hasil penelitian Geertz, terdapat dua macam pertaruhan. Pertama, taruhan pusat tunggal yang bersifat kolektif. Taruhan ini statusnya resmi, dilengkapi dengan ragam peraturan, dibuat antara kedua pemilik Ayam Jago, dengan wasit sebagai pengawas dan saksi publik, dan tentunya nilai taruhan relatif besar. Kedua, taruhan pinggiran di sekeliling ring, sifatnya individual, spontan, ada tawar menawar antar penonton.

Adanya sistem tersebut, memungkinkan kemunculan pertarungan dengan nilai taruhan yang tinggi. Sehingga tiap peserta sabung ayam mesti mempersiapkan binatang-binatang yang lebih baik, perawatan ekstra, nafsu berkelahi, dsb. Sederhananya, harus ada usaha lebih untuk membuat pertandingan menjadi benar seimbang. Untuk mencipta pertandingan yang menarik, pertandingan yang “dalam”.

Meski keuntungan besar jadi taruhan, hal ini bukan fokus dari orang Bali ketika menyabung ayam. Terdapat aroma solidaritas yang lebih kuat dari perihal ekonomi. Mereka datang secara bersama-sama untuk mencari kenikmatan, masuk ke dalam hubungan yang lebih menjanjikan sebuah kesakitan nantinya. Sebab, bukan lagi material yang jadi ukuran, kini dalam pertandingan mendalam, yang dipertaruhkan adalah penghargaan, kehormatan, martabat, kemuliaan, dan status.

Dalam sabung ayam, hirarki status orang Bali dipindah ke dalam susunan pertandingan. Sebab, seperti yang dituliskan Geertz, secara psikologis hal itu adalah representasi Aesopian dari kedirian jantan yang ideal, agak narsistis. Sementara secara sosiologis, sabung ayam menjadi representasi yang sama-sama Aesopian dari bidang-bidang ketegangan kompleks yang disebabkan oleh interaksi yang terkendali, membisu, seremonial, namun semua itu dirasakan mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ayam jantan bisa menjadi pengganti kepribadian milik mereka, cerminan binatang dari bentuk psikis. Namun, sabung ayam dengan sengaja dibuat sebagai matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok-kelompok yang bersilangan, bertumpang tindih, sangat terpadu, seperti desa, kelompok marga, persatuan irigasi, dan kasta.

Dengan sangat apik, Geertz mendeskripsikan bagaimana sistem makna yang dilahirkan dari ritus sabung ayam menentukan perilaku masyarakat Bali. Berkat sabung ayam, ikatan kekerabatan Orang Bali makin erat, karena tiap orang dari tiap marga pasti mendukung Ayam Jago dari kelompok marganya. Lebih dari sekadar mendukung, mereka juga pasti ikut serta dalam taruhan terpusat.

Namun, di balik ini, rasanya Geertz terlalu asyik mengidentifikasi simbol kemudian memahami sistem makna di baliknya. Mulai dari ayam, setelah bicara jauh soal ayam dan makna yang dibawanya kepada masyarakat Bali, ia tidak menjelaskan mengapa hewan tersebut menjadi penting di Bali. Baik mengguna perspektif fungsional atau doktrin agama, tidak terdapat penjelasan mengenai kemunculan ayam sebagai hewan yang merepresentasi kekuatan lelaki.

Kemudian, Geertz nampaknya membiarkan penelitiannya lepas dari unsur politis. Sabung ayam ia sebut mampu mengungkap identitas orang Bali, sekaligus merepresentasi kekuatan kaum lelaki. Ada kecendrungan meminggirkan kaum perempuan, yang tentunya sejalan dengan budaya patriarki dan sistem kekerabatan patrilineal yang kuat mengakar di Bali.

Terakhir, buat Geertz, sabung ayam adalah hubungan-hubungan status. Dan hubungan-hubungan status adalah soal hidup dan mati bagi masyarakat Bali. Prestise adalah sebuah bisnis teramat serius yang paling mencolok di Bali, baik di desa, keluarga, ekonomi, maupun negara. Hal ini merupakan sebuah perpaduan khas peringkatan gelar Polinesia dan kasta-kasta Hindu, dimana hierarki kebanggaan merupakan tulang punggung moral dari masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, tentunya ada kecendrungan untuk melanggengkan dominasi kasta dominan dalam pertandingan sabung ayam. Karena secara teknis pertandingan, tidak ada Ayam Jago dari kasta berbeda dijadikan lawan tanding. Ayam yang kuat, dirawat secara khusus, dan berpotensi untuk menang hanya akan muncul dari kelompok kasta yang mapan secara keuangan. Maka soal status dan prestise yang membanggakan, tidak akan pernah mampir di kelompok kasta yang punya tingkat kesejahteraan pas-pasan.

Kurnia Yunita Rahayu

Sunday, June 9, 2013

Kidung Cinta Bapak Amir



Kidung cinta Bapak Amir
Sayu-sayu terdengar dari balik jendela timur.

Kidung cinta Bapak Amir
Mengendap-endap dalam kepulan asap dari dandang yang dipakai ibu memasak nasi.

Kidung cinta Bapak Amir
Ah, tidak terdengar romantis sama sekali.

Seperti sajak murahan yang dibuat untuk menunjukkan bahwa ia berada di titik produktif.

Hahaha, Bapak Amir ingin nampak produktif? 

Darimana, bahkan kemampuan dasar untuk membuat penisnya berdiri saja tak dimiliki, apalagi buat menyembur sperma ke liang vagina ibu, menyentuh titik terdalam dan mencipta orgasme?

Hahaha, pecundang betul si Bapak Amir.

Eits, sebentar, sebentar, darimana pula aku punya muka untuk mempecundangi Bapak Amir secara psikis karena ia tak bisa ereksi? Tidakkah aku malu padanya, bahkan aku dan semua orang memanggilnya Bapak Amir. 

Si Amir sudah berumur delapan pula tahun ini.

Aih, aih, kalau begitu bisa gagal upayaku mempecundanginya.

Diam-diam niatanku memang sangat besar.

Maka selamatlah Bapak Amir, sesegera mungkin ia bisa melanjutkan kidungnya.

Kidung cinta penuh asa untuk keluarga.

Kidung cinta penuh mesra dalam dekap semesta.

Hahahahahaha, maaf, maaf, Bapak Amir, aku tidak bisa menghalang tawa untuk keluar dari mulutku.

Pipiku sudah terlampau menggelembung saat menahannya, salah-salah nanti banyak liur yang muncrat bila aku memaksa tutup mulut.

Amir itu kan muncul karena teknologi. Entah benih darimana delapan tahun lalu dibenamkan ke dalam rahim ibu. Dengan suntikan besar yang terlampau menyakiti ibu saat ditusukkan ke tubuhnya.

Dan kau, Bapak Amir, setuju setengah hati waktu diminta menandatangani dokumen pelegalannya. 

Kamu terlalu sentimentil waktu itu. Ingin sekali punya anak.

Entah apa alasanmu bersikukuh ingin beranak saat itu. Padahal ibu tidak ambil pusing, meski tidak acuh pula.

Kamu terlalu memaksa, demi prestise, demi harga diri!

Bahkan perihal kemunculan benih dalam rahim ibu pun kau rahasiakan!

Kamu ingin tampil jantan di muka publik. Menggandeng tangan perempuan hamil. Membelikan baju dan susu buat ibu yang perutnya kian hari kian membuncit. Siaga siang dan malam menjaga dan memenuhi kebutuhan ibu. Menciumi perutnya waktu si Amir terasa menendang-nendang dari dalam.

Ahhh, pahlawan kau, Bapak Amir!

Lelaki siaga, lelaki penuh perhatian, lelaki super!

Hmmm, puas kamu, Bapak Amir? Sudah puas? Senangkah hatimu? Dapatkah senyum hadir di tiap harimu kini?

Kamu sudah jadi lelaki super. Lelaki super yang tidak punya modal pribadi dalam rangka menjadikan dirimu super. Eits, maaf aku terlalu mengecilkanmu, justru modal pribadimu sungguh besar, yakni sebuah kemampuan: mengobjektifikasi ibu.

Sudah kubilang sejak awal, untuk ereksi saja kamu tidak bisa. Tetapi masih ingin tampil perkasa, tampil bijak sebagai bapak, padahal menyusahkan ibu.

Bukan, bukan ibu keberatan sembilan bulan mengandung Amir, bukan ibu lelah mengurus Amir, bukan ibu jengah menanti orgasme yang tak kunjung bisa hadir ketika penismu mencoba masuk liang vagina ibu. Tapi kamu yang terlampau menggunakan ibu untuk memenuhi obsesimu. Untuk menjadi lelaki ideal idaman masyarakat. 

Kini ibu hanya bisa mengikuti katamu, menjadi objek atas segala keinginanmu. Dan ibu tidak pernah protes akan hal itu. Karena ibu, sejatinya sama denganmu, Bapak Amir, manusia yang setia pada norma, penurut budaya. 

Bapak Amir, mendekatlah, perhatikan, sejak satu jam yang lalu ada seorang lelaki yang tidak beranjak dari hadapan cermin. Menangis, mencaci, meronta, kemudian tertawa. Dengarkan baik-baik ucapannya, tidakkah sama dengan segala upayaku mempecundangimu? Simak dengan seksama gerak bibirnya, tidakkah seirama dengan gerak bibirmu?

Kurnia Yunita Rahayu


Tuesday, April 9, 2013

Mendongengkan Kehidupan

Judul: Gadis Jeruk
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Yuliani Lupito
Penerbit: Mizan Pustaka
Cetakan: Juli 2011 (Gold Edition)
Tebal: 256 hlm

Apa jadinya bila seorang yang sudah mangkat belasan tahun lalu kembali hadir di suatu malam dan mengajakmu berbincang? Bahasan apa yang bisa mempertemukan dua orang dari dimensi dunia yang berbeda? Sekejap saja membayangkan, rasanya aku sudah ingin lari. Takut-takut dia datang dan bicara dengan gigi taring yang sudah memanjang lagi runcing. Sebentar saja aku sudah ingin menarik selimut untuk sembunyi. Jangan-jangan dia siap mencekikku dengan jemarinya yang berkuku-kuku tajam.

Untungnya imajinasi sekejap itu tidak jadi kenyataan saat Georg Roed menghadapi kedatangan Jan Olav, ayahnya yang sudah meninggal sebelas tahun lalu. Karena sang ayah tiba lewat sepucuk surat. Sebuah tulisan panjang yang sudah disiapkannya sehari sebelum pergi ke alam baka.

Sebelum mangkat, Jan Olav punya beberapa hal yang ingin disampaikan kepada Georg. Namun, ia sendiri kebingungan bagaimana pesannya bisa dimengerti oleh balita berumur 3,5 tahun. Makanya, ia menangguhkan pesan tersebut, hingga anak tunggalnya berusia 15 tahun. Surat itu pun disimpan, di sebuah tempat yang tak ia beritahukan secara langsung pada ahli warisnya.

Keputusan Jan Olav menangguhkan penyampaian pesan itu nampaknya tepat. Sebab, bagaimana bisa Georg 3,5 tahun dapat mengerti kisah cinta panjang yang dituturkan sang ayah dalam suratnya. Seorang psikolog asal Swiss Jean Piaget pun sudah jauh-jauh hari mengingatkan: balita seusia Georg sedang berada di tahap perkembangan operasional konkret. Sejauh itu, koordinasi komponen biologis dan psikis pada tubuhnya baru menerima hal-hal yang bisa dijangkau indera. Belum mampu berpikir abstrak, apalagi diajak menyelami kisah cinta yang ditulis ayahnya.

Secara sengaja, Jan Olav membeberkan kisah masa lalunya semasa menjadi mahasiswa kedokteran. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis yang ditemui di sebuah trem. Muda, cantik, mempesona dan identik. Gadis itu membawa sekantong penuh buah jeruk.

Namun sayang, pertemuan pertama Jan Olav dengan gadis pujaannya tidak berlangsung baik. Tak sengaja ia menumpahkan seluruh jeruk bawaan sang gadis dan mendapat bonus ucapan dari si gadis, “kamu, sinting!” Setelah kejadian yang berlangsung begitu cepat tersebut, gadis yang tak sempat ia ketahui namanya segera turun di stasiun terdekat. Ia hilang.

Merasa bersalah, Jan Olav ikut turun di stasiun berikutnya. Ia berjalan kesana kemari, memeriksa satu persatu orang yang ditemui, apakah si gadis yang jeruknya telah ia tumpah ruahkan di dalam trem. Sayang, hingga hari berakhir, tak ia dapatkan gadis yang ingin sekali ia tahu namanya, sekaligus bila ia tidak tersinggung Jan Olav mau mengganti kerugian atas jeruk-jeruknya, atau sekadar untuk mengucap maaf.

Sejak saat itu, Jan Olav terus mencari Gadis Jeruknya ke seluruh penjuru kota bahkan lintas negara. Sambil menggunakan nalar kedokterannya, ia mencoba mendiagnosis seluruh gejala yang ditampilkan gadisnya. Beragam terkaan ia semat sambil menghubung-hubungkan tempat apa yang kira-kira cocok dengan diagnosanya. Mulai dari sudut-sudut kota, kafetaria, pasar buah, bahkan hingga ke Spanyol tempat jeruk-jeruk itu tumbuh.

Dalam pencarian itu, beberapa kali Olav bertemu dengan Gadis Jeruknya secara kebetulan meski tanpa kata-kata. Hingga satu pertemuan di malam Natal yang menjadi tanda bahwa cinta Olav bersambut. Gadis Jeruk punya perasaan yang sama, namun memintanya untuk menunggu selama enam bulan untuk tidak bertemu, agar enam bulan setelahnya mereka bisa bersama setiap hari. Gadis Jeruk membuat sebuah aturan untuk kehidupan cinta mereka. Buatnya, dalam hidup manusia perlu untuk merindu.

Keteguhan hati Jan Olav mencari dan menanti gadisnya ditulis apik dan mengalir oleh penulis asal Norwegia, Jostein Gaarder dalam buku karyanya berjudul Gadis Jeruk. Lewat pencarian Jan Olav atas gadisnya, Gaarder mengajak pembaca berkeliling Eropa dengan menyuguhkan deskripsi geografis kota-kota Eropa secara detil.

Namun, kisah tersebut hanyalah sebuah awal kepada perbincangan soal hidup yang ingin disuguhkan oleh Gaarder. Melalui kisah ini, paling tidak ia ingin mengajak pembaca memikirkan apa yang ada ketika ruang dan waktu belum tercipta. Apa yang mengisi jagat raya sebelum dentuman besar membentuknya. Akankah ia tetap hadir bila satu saja prakondisi menujunya gagal dilaksanakan. Masih mungkinkah seorang balita 3,5 tahun bernama Georg bisa menghirup udara bumi ketika Jan Olav dan Gadis Jeruk tak mau lagi mematuhi aturan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk memadu kasih?

Dan apabila jabang bayi Georg harus menentukan pilihan untuk hidup apa yang akan ia pilih? Atas hal tersebut dengan yakin Georg-sebagai representasi manusia-telah menjatuhkan pilihan untuk menjalani kehidupan dengan segala konsekuensi yang mesti diterima.

Bahkan untuk memasuki alam hidup, manusia tidak hanya tinggal memilih. Melainkan mesti berkompetisi dengan ribuan sel lain untuk menjadi janin. Kita tidak lain dari sperma pemenang yang berhasil menyelesaikan kompetisi ketika sampai di ovum.

Maka, tidak ada satu kejadian pun yang terjadi secara kebetulan. Semua yang ada merupakan prakondisi yang memang mesti disiapkan untuk sampai di tujuan akhir.

Namun, bila manusia dan seluruh jagat raya sudah ada di titik akhirnya, apakah yang akan terjadi kemudian? Karena tidak pernah ada konsensus mengenai apa yang terjadi setelah kematian, Jan Olav pun masih menggunakan cara-cara manusia untuk menyampaikan pesan kepada anaknya bahkan setelah ia mati.
Lewat surat tersebut, Gaarder dalam sosok Olav gundah akan kemana kita setelah kematian? Ketika semua tidak ada, akankan ada sebuah ‘ada’?

Di tengah resah Gaarder memberikan tesis jitu kepada pembaca sekalian. Buatnya, hidup adalah dongeng. Rangkaian cerita yang mengalir dengan sebuah alur dan memiliki aturan-aturan khas, dimana kita tak perlu mempertanyakan dan mesti menurutinya. Sebagaimana Cinderella yang mesti rela meninggalkan pesta dini hari demi hidup bersama pangeran selamanya. Sebagaimana Jan Olav yang hatinya berdarah-darah lantaran menahan rindu tidak bertemu, sebaga syarat untuk hidup bersama dengan Gadis Jeruknya.

Kurnia Yunita Rahayu