Sunday, August 31, 2014

Jadilah Dewasa, Seperti Berlin

Entah apa yang dimau oleh pengatur semesta, selama seharian penuh Niko Fischer terus saja mengalami kesialan. Mulai dari pagi hari, ia diusir dari rumah kekasihnya karena salah paham. Niko menolak ajakan sang kekasih untuk menikmati pagi lebih lama berdua karena banyak urusan yang mesti dilakukan, tapi ia tak bisa menjelaskan. Hingga sepanjang hari, Niko tak bisa mendapatkan segelas pun kopi untuk diminum.

Perihal apa yang ingin dilakukan dalam hidupnya, Niko memang tak punya penjelasan. Ia seorang mahasiswa yang sudah dua tahun drop out dari Sekolah Tinggi Hukum di Berlin, Jerman dan harus menemui psikolog untuk dibuatkan analisis kejiwaan terkait pembatalan izin mengemudi. Bagaimana tidak, ia mabuk di jalan, saat sedang mengendarai mobil.

Sekali lagi, Niko memang tak punya penjelasan atas apa yang dilakukan dalam hidupnya. Sebab, ia pun menjalani semua tanpa tujuan. Oleh karena itu, ia tak risau saat dikeluarkan dari kampus, Niko tidak pernah merasa tertarik dengan kuliah hukum.

Kisah pemuda tanpa tujuan hidup ini menampakkan sebuah anomali di negara maju seperti Jerman. Dimana semua orang dan segala urusan berjalan teratur, rapi dan tepat waktu. Namun, ada seorang pemuda anak dari pengacara kenamaan tumbuh tanpa tujuan hidup. Kerjanya hanya berkeliling kota, luntang-lantung tanpa pekerjaan.

Sebagaimana sebuah anomali, bisa jadi kisah ini memang hanya ada dalam film besutan Sutradara Jan Ole Gerster berjudul Oh Boy. Melalui kisah Niko Fischer yang diperankan oleh Tom Schilling, Gerster mengajak kita untuk mengarungi kisah yang tidak lazim terjadi pada pemuda Jerman.

Film berdurasi 88 menit ini mengisahkan 24 jam yang menjadi titik balik dalam hidup pemeran utamanya. Niko baru merasa hidupnya ‘terusik’ saat ayahnya, Walter Fischer (Ulrich Noethen) tidak lagi mengirimkan uang ke rekeningnya. Lalu, pertemuan dengan beberapa orang baru dalam seharian penuh itu berhasil membuka cakrawalanya bahwa dunia ini luas, pun dengan permasalahannya.

Pertama, ia mesti bertemu dengan psikolog (Andreas Schroders) karena dianggap punya gangguan kejiwaan saat melanggar peraturan tak boleh mabuk saat mengemudi. Dalam scene ini, Niko dipaksa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, ada nilai, norma dan peraturan yang membatasi tindak-tanduk warga kota Berlin.

Kedua, sepulang dari kantor psikolog, Niko dikejutkan dengan kedatangan tetangga baru di apartemennya, Karl Speckenbach (Justus von Dohnanyi). Awalnya hanya memberikan semangkuk bakso untuk tanda perkenalan, namun tiba-tiba saja ia menangis tersedu di pundak Niko. Sambil terisak, Speckenbach mengutarakan bahwa ia mengalami masalah seksual tak tertahankan. Istrinya divonis menderita kanker payudara, untuk alasan kesehatan bagian tubuhnya itu mesti diangkat.

Ketiga, di sebuah kafe Niko bertemu dengan teman sekolahnya, Julika Hoffmann (Friederike Kempter). Awalnya, Niko tak mengenali Julika yang tiba-tiba saja menyapanya. Sebab, penampilan Julika berubah drastis. Di masa sekolah, Julika adalah gadis bertubuh gendut yang sering diejek teman-temannya, termasuk Niko. Ia biasa dipanggil Gay Julika atau Elephant Girl. Namun, kini Julika bertubuh langsing, tinggi semampai, berprofesi sebagai pemain teater surealis.

Penampilan baru Julika membuat Niko tertarik. Dalam beberapa jam saja, mereka saling mengenal lebih dekat. Julika banyak bercerita usaha keras untuk mengecilkan tubuh. Ada pengalaman traumatis yang disimpan Julika atas masa kecilnya.

Ketertarikan fisik pun muncul diantara keduanya. Hampir saja Niko dan Julika berhubungan seksual. Namun Niko menolak saat ia tahu motif Julika adalah balas dendam masa lalu. Ia ingin dapat pengakuan bahwa seorang perempuan bertubuh gendut dan tidak menarik pun bisa menaklukkan seorang pria tampan.

Jelang malam, Niko bertemu orang keempat yang memberi pengaruh paling besar dalam mengacak-acak konsep hidup tanpa tujuannya selama ini. Dialah seorang kakek tua (Michael Gwisdek) menghampiri Niko di sebuah bar lalu bercerita panjang tentang masa kecil dan masa lalu bar yang sedang mereka duduki.

Ceritanya sederhana, kakek itu suka bersepeda di sepanjang jalan yang kini dibangun bar. Ia tidak pernah ambil pusing saat orang-orang mengejeknya di jalan waktu ia mengendarai sepeda yang ukurannya terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil. Baginya, yang terpenting adalah ia bisa tetap bersepeda dan membuat orang lain bahagia walaupun dengan cara menertawakannya.

Sampai suatu ketika, jalan tersebut hancur, dipenuhi pecahan kaca hasil perbuatan warga setempat (termasuk ayah sang kakek) yang menimpuki kaca pertokoan. Aku menangis, kata sang kakek, karena apapun yang sudah terjadi disana, dengan pecahan kaca memenuhi jalan seperti ini aku tak akan bisa bersepeda lagi.

Usai menghabiskan ceritanya, habis pula kisah hidup sang kakek. Saat berjalan keluar bar, ia jatuh terkapar di depan pintu. Sontak Niko menolongnya, memanggil ambulans dan membawanya ke rumah sakit. Mungkin, itu kali pertama dalam hidup Niko merasa punya tanggung jawab atas sesuatu. Meski tak mengenal, bahkan nama panggilan sang kakek, ia merelakan diri mendampingi semalaman hingga dokter selesai menangani sakit kakek itu.

Film ini berakhir tanpa memberi tahu apa yang terjadi pada Niko Fischer sesudah menjalani 24 jam yang membuat hidupnya sedikit guncang. Hanya satu yang ditampilkan, di hari berikutnya Niko berhasil minum segelas kopi di sebuah kafe. Hal biasa yang tidak bisa didapatnya selama sehari penuh dan seakan jadi plot dalam film ini.

Namun, ekspresi sendu dari Tom Schilling serta gambar film yang hitam putih berhasil menyampaikan pesan perenungan hidup para tokoh dalam Oh Boy. Alunan musik Jazz dari The Major Minors dan Cherilyn MacNeil di sepanjang film pun berhasil menunjukkan bahwa pergulatan manusia dalam mencari tempat yang tepat untuk hidupnya di dunia ini, selamanya mungkin dilakukan. Sebagaimana lagu-lagu yang indah dan tak pernah usang tak lekang oleh zaman.

Selain itu, Oh Boy juga menampilkan tata kota Berlin secara detil. Mulai dari penempatan bangunan kantor, tempat tinggal, taman kota, pabrik, jalur kereta api, trem, penempatan lampu merah, dan perangkat kota lainnya. Menonton film ini anda dapat memahami tata kota Berlin yang legendaris dalam seketika. Sebagai ibukota negara, memang wajar bila kota ini nampak penuh dengan infrastruktur penunjang kehidupan negara dan masyarakat. Namun semua tersusun dengan teratur dan rapi. Nampak dewasa dengan segala kewibawaan.

Bertolak belakang dengan karakter Niko Fischer yang nampak sedang diejek oleh judul film yang ia merupakan tokoh utamanya. Oh Boy. Ya, Niko benar-benar masih seorang anak lelaki kecil yang malas untuk memikirkan hidup. Semoga 24 jam penuh pengalaman itu bisa membuatnya beranjak!


Kurnia Yunita Rahayu

Friday, July 11, 2014

Bertahan Hidup di Atas Rakit*

Mahasiswa Fakultas Ilmu Kelolahragaan Universitas Negeri Jakarta sanggup hidup di permukiman rakit terapung selama dua malam di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, 27-29 Mei 2014. Rekor ini didapat setelah para mahasiswa berhasil membuat 120 rakit bambu dalam waktu lima jam.

Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam program Outdoor Based Character Building (OBCB) 2014, agenda tahunan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta (FIK UNJ) yang merupakan rangkaian pembinaan karakter untuk mahasiswa baru 2013. Sebelumnya, sudah ada dua tahap yang mesti mereka lalui, yakni Masa Pengenalan Akademik dan Masa Pengenalan Cabang Olahraga. Seluruh kegiatan ini wajib diikuti oleh mahasiswa FIK karena bukan sekadar seremoni, melainkan sebagai salah satu syarat untuk menyusun skripsi. Kegiatan OBCB ini mendapat rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI).

“Ini merupakan pengalaman yang sangat membanggakan, akan selalu begitu apabila saya ceritakan kepada adik-adik tingkat nanti. Dengan kegiatan ini, saya merasakan betapa kepribadian yang kuat serta sikap kebersamaan sangat dibutuhkan,” kata Mar’i Haris, mahasiswa FIK UNJ.

Hal tersebut sejalan dengan tujuan kegiatan yang memang ingin menanamkan karakter mandiri, kuat dan tangguh kepada mahasiswa sebagai bekal menjalani hidup.

OBCB 2014 merupakan jambore kegiatan dengan peserta terbanyak sepanjang yang pernah diselenggarakan FIK UNJ. Jumlah peserta 369 orang. Konsep acaranya pun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang selalu melaksanakan kegiatan pembinaan mahasiswa di daratan.

Ketua Pelaksana OBCB 2014 Adi Dwie Febriantoro mengatakan, konsep ini memang bukan pertama kali dibuat oleh mahasiswa. Namun, tahun ini panitia sengaja mengangkat kembali konsep permukiman di atas air untuk menumbangkan rekor Muri yang pernah diraih mahasiswa FIK pada 2009. “Kalau dulu senior kami berhasil bertahan hidup dengan 100 rakit dalam waktu 15 jam, kini kami ingin melampauinya, dengan membuat 120 rakit dan hidup di atasnya selama dua malam,” ujar Adi.

Serius dengan target tersebut, Adi bersama 46 panitia mahasiswa FIK UNJ angkatan 20010 lainnya sudah melakukan persiapan sejak jauh-jauh hari. “Kami memulai dengan pembekalan berbagai materi yang dibutuhkan sejak awal Februari 2014. Seperti materi tali-temali, membuat bivak, membaca kompas, membuat rakit dan beberapa hal lain terkait mekanisme pertahanan diri untuk hidup di alam,” kata Adi.

Persiapan Matang

Persiapan yang matang memang dibutuhkan, mengingat tantangan hidup di air tidak semudah di darat sebagaimana biasa kita lakukan sehari-hari. Kondisi Waduk Jatiluhur yang berombak besar kala itu, menjadi tantangan tersendiri bagi peserta. Apalagi, panitia tidak menyiapkan fasilitas apa pun untuk mereka, termasuk makan. Di atas rakit, mereka mesti memasak sendiri.

“Jadi bagaimanapun kerasnya hidup disana, peserta harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” tutur Adi.
Model kegiatan yang menjadikan peserta sebagai tumpuan hidup atas dirinya sendiri itu memang diniatkan sebagai simulasi kehidupan. Dalam konsep pendidikan, dikenal sebagai experimental learning. Memberikan pengalaman agar peserta dapat mengambil nilai dalam kehidupan dengan merasakannya sendiri terlebih dahulu.

Selain itu, Adi menjelaskan, melalui kegiatan ini FIK UNJ juga ingin menunjukkan kepada masyarakat luar bahwa kegiatan pembinaan mahasiswa tidak identik dengan perploncoan. “Apalagi, dengan cara-cara kekerasan, kegiatan kami tidak seperti itu,” katanya.

Hal ini tentu dapat dijadikan contoh oleh mahasiswa Indonesia bahwa ada banyak hal di dunia yang dapat dilakukan tanpa kekerasan dan hal tersebut tentunya lebih potensial untuk meraih prestasi.

*diterbitkan di harian KOMPAS, Selasa, 10 Juni 2014
Kurnia Yunita Rahyu

Wednesday, April 23, 2014

Gagal Eksis

Suatu kali saya tergelitik saat membaca sebuah artikel dalam laman berita www.solopos.com. Pada artikel tersebut, penulis memberikan petunjuk sederhana untuk mengidentifikasi Cabe-cabean. Terma itu memang belum lama memasyarakat, paling tidak awal 2014, digunakan untuk menyebut gadis remaja yang banyak tingkah. Seperti berdandan ala orang dewasa, pacaran sana-sini, hingga jadi hadiah taruhan pebalap motor liar.

Menurut artikel berjudul Begini Cara Mengenali Gadis Cabe-cabean itu , para gadis cabe dapat diidentifikasi melalui penampilan fisik dan perilakunya. Paling awal disebut adalah kawat gigi dan ponsel pintar bermerk Blackberry. Dua ciri ini memang sangat menonjol. Pasalnya, mereka rela memasang pagar kawat meskipun barisan giginya sudah rapih. Sedangkan Blackberry biasanya jadi instrumen andalan cabe-cabean untuk unjuk gigi, dengan memberitakan apapun yang sedang dilakukan dalam akun jejaring sosial dunia maya.

Ciri selanjutnya yakni mengenai riasan wajah. Cabe-cabean dikatakan suka berdandan tak sesuai dengan kebutuhan. Mereka memulas wajah dengan riasan tebal padahal hanya akan pergi ke warung yang jaraknya tak jauh dari rumah. Mereka juga suka menggunakan krim pemutih kulit wajah. Hal ini kemudian menciptakan sebuah gradasi warna pada tubuh mereka, dari muka, leher, tangan dan kaki semua bergerak ke arah yang lebih gelap.

Persoalan warna kulit yang belang-belang dan semakin ke bawah semakin gelap ini mudah saja dimengerti orang lain sebab cabe-cabean suka menggunakan pakaian yang minim. Kaos ketat-kadang tidak berlengan-dan hot pants dapat dikatakan sebagai seragam yang bisa menandai identitas mereka.

Kemudian sebagai remaja, gadis-gadis itu sudah barang tentu suka bergerombol dalam berkegiatan, termasuk ketika mengendarai motor. Mereka biasanya lalu lalang dengan sepeda motor yang ditunggangi tiga orang, sambil asik ngobrol dan tetap sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Gaya berkendara cabe-cabean kadang membuat pengendara lain jengkel. Karena mereka lebih banyak bercanda di jalan tapi juga mengendarai motor dalam kecepatan tinggi. Sehingga tidak jarang justru membahayakan orang lain.

Cabe-cabean juga disebut kerap melakukan aksi penipuan atas identitas fisiknya karena mereka akrab dengan teknologi. Tak banyak memang yang teknologi yang mereka akrabi. Satu yang paling dekat adalah aplikasi penyunting foto yang bisa dipasang di telepon genggam. Karena aplikasi tersebut mampu membuat mereka nampak lebih cantik. Dengan mengubah warna kulit, menyamarkan noda-noda yang tertangkap kamera serta memperbaiki beberapa bentuk wajah yang kurang enak dilihat. Maka dalam foto, gadis cabe bisa hadir sangat berbeda dengan tampilan aslinya.
Tampilan memukau dalam foto tentu jadi instrumen berikutnya yang digunakan dalam memperjuangkan eksistensi diri. Lagi-lagi lewat akun jejaring sosial dunia maya, foto suntingan tersebut disebarluaskan. Dengan begitu, tak sulit mendapatkan perhatian dari banyak orang. Tidak jarang juga cabe-cabean dapat pasangan dari interaksi di akun jejaring sosial.
Bila sudah mendapat pasangan kemudian resmi berstatus pacaran, cabe-cabean segera memenuhi ruang-ruang publik untuk memadu kasih. Mulai dari ruang terbuka hijau, pinggir jalan dan jembatan selalu mereka singgahi. Kebiasaan ini mungkin jadi awal bagaimana gadis cabe pada tingkatan selanjutnya bisa masuk ke arena balap liar. Bukan untuk beradu cepat dalam mengendarai motor, namun sebagai hadiah taruhan bagi pemenang balapan.
Dari sini pula istilah cabe-cabean mengemuka. Konotasinya agak berbeda dengan cabe rawit yang sempat populer sekitar 15 tahun lalu. Anak-anak cabe rawit adalah mereka yang berusia belia tapi punya sederet bakat yang membuat mereka lebih pintar, cerdas dan punya prestasi lebih dibandingkan anak-anak seusianya. Walaupun sama diterminkan dengan cabe, cabe-cabean merupakan sebuah akronim dari Cewek ABG Bisa diEwe. Yang artinya perempuan-perempuan belia, di bawah umur, tapi sudah bisa diajak melakukan aktivitas seksual.
Kemunculan terma cabe-cabean dengan cepat jadi sorotan seluruh media massa. Ditampilkan sebagai sosok muda mengesalkan sebab punya kelakukan berstigma negatif dalam masyarakat. Maka tidak heran, mereka kini jadi bulan-bulanan masyarakat yang menganggap dirinya lebih bermartabat. Diolok-olok, dianggap murahan dan dijauhi dalam pergaulan.
Padahal, cabe-cabean merupakan korban dalam masyarakat yang telah masuk dalam jerat kapitalisme. Yang menciptakan beragam barang penunjang gaya hidup, dari yang paling sederhana hingga sangat rumit. Ditambah peran media massa yang juga menjajakan produk-produk tersebut, menampilkan banyak alternatif, sehingga kaum muda dapat menentukan pilihan atas barang-barang yang akan dikonsumsi.
Dari titik ini kemudian muncul upaya-upaya untuk mendapatkan objek material penunjang gaya hidup tersebut. Sebab, gaya hidup dapat mendefinisikan identitas, sikap, nilai dan posisi sosial seseorang melalui segala properti yang ia miliki. Dalam budaya konsumeris, identitas memang jadi persoalan serius, karena yang dikembangkan melulu identitas hasil konstruksi sosial yang dibuat oleh para elit budaya. Sehingga dalam atmosfer ini, nampak tidak ada ruang bagi kesadaran diri untuk menuju identitas yang otentik.
Pada abad ke-19, Karl Marx mengatakan bahwa pengejaran atas produk-produk penunjang gaya hidup itu sendiri dimotivasi oleh fetisisme komoditas. Fetisisme merupakan sikap mengkultuskan sebuah objek tertentu, lantaran dianggap memiliki kekuatan dari dalam dirinya. Akibatnya, nilai substansial dari sesuatu menghilang, hingga yang ada hanyalah nilai tukar semata. Jika dikaitkan dengan komoditi, maka yang dimaksud adalah pemujaan atas produk-produk yang punya pesona memikat.
Sebagaimana cabe-cabean yang menggunakan segala produk di luar konteks fungsionalnya, mulai dari kawat gigi yang semula hadir untuk merapikan posisi gigi manusia yang kadang tumbuh tak beraturan, bagi cabe-cabean hanyalah seutas kawat yang berfungsi sebagai pemanis diri. Begitu pula Blackberry yang kegunaannya dipersempit sekadar untuk menghidupi akun jejaring sosial dunia maya. Belum lagi riasan wajah tebal yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Seluruhnya digunakan untuk menunjukkan bahwa gadis cabe mampu membeli barang-barang tersebut dan selanjutnya akan menentukan identitasnya.
Beragam perilaku cabe-cabean yang diidentifikasi banyak media massa ini menunjukkan fetisisme komoditas bekerja dalam lingkup penandaan sosial. Kemudian, Jean Baudrillard banyak bicara mengenai hal tersebut, melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh Marx dua abad lalu. Buat Baudrillard dalam aturan nilai penandaan, hanya ada dua keterangan yakni fungsionalitas dan peragaan yang dilebih-lebihkan. Keduanya dapat menjadi bagian dalam sebuah objek yang sama sehingga yang terjadi adalah sebuah keserampangan dengan bungkus fungsionalitas.
Saat peragaan yang dilebih-lebihkan ini menumbuhkan keinginan seseorang terhadap sebuah produk, maka produk tersebut menjadi bersifat fetish. Karena konsep kapitalisme telah melahirkan kebutuhan-kebutuhan palsu dalam diri manusia. Maka, jalan untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi itu adalah dengan menciptakan sibstitusi semacam gaya hidup, estetika, ritual, prestise serta identitas simbolik di balik pemilikan sebuah komoditi. Sehingga kepuasan yang dimiliki pun sebenarnya imajiner.
Dengan begitu, maka jelas bahwa pilihan dan selera manusia sebenarnya sudah dimanipulasi, sehingga sudah tidak ada lagi diri yang otentik. Apa yang dikejar oleh manusia tidaklah didasari oleh kebutuhan melainkan keinginan untuk menduduki posisi sosial tertentu.  
Pola konsumsi yang tidak didasari kesadaran inilah yang telah mengkonstruksi fetisisme. Sedangkan fetisisme bekerja dengan membangun kelas kapital yang berkuasa merencanakan pola konsumsi serta melahirkan kelas menengah dalam jumlah yang banyak untuk mengikuti pola hidup yang dibuatnya. Maka, apa yang dicipta oleh fetisisme sejatinya adalah sebuah diferensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah yang jarak sosial antara keduanya terus dikendalikan oleh kelas atas.
Cabe-cabean bukanlah sampah masyarakat, ia merupakan sebuah fenomena anak muda yang mengalami kegagalan  bereksistensi dan kehilangan otentisitas diri. Apabila perilaku dan masyarakat cabe-cabean makin meluas, para pemilik modal akan makin puas terbahak dan makin banyak generasi muda yang tersungkur.
Kurnia Yunita Rahayu

Thursday, March 6, 2014

Mike Wazowski

Ia tampil bagai mesias yang memberikan penyadaran bahwa pendidikan semestinya dapat mengakomodir potensi dari tiap-tiap peserta didik, bukan malah menyeragamkan mereka.

Mike Wazowski, seekor monster kecil hijau bermata satu. Tak seperti monster pada umumnya yang punya bentuk fisik menakutkan, Mike justru terlihat lucu. Tubuh bulat dan kawat yang memagari seluruh giginya, memperkuat kesan itu.
Meski begitu, sejak kecil Mike sudah bercita-cita untuk menjadi seorang scarer. Baginya, hanya dengan menjadi scarer yang memiliki keahlian menakuti manusia, maka seekor monster telah sampai pada hakikat kemonsterannya. Kemudian bagaimana ia bisa menjadi seorang scarer?

Dalam dunia monster, keahlian mesti dipelajari dalam sebuah institusi. Untuk itu, Mike Wazowski tak ragu untuk mendaftarkan dirinya ke universitas. Ya, Monsters University. Disanalah tempat berkumpul akademisi-akademisi monster yang tahu betul bagaimana harus menciptakan para scarer.

Scarer yang mumpuni dalam bidangnya tentu saja hidup dalam atmosfer akademik yang sempurna. Oleh karena itu, Monsters University melengkapi kampusnya dengan sebuah asrama mahasiswa, perpustakaan, laboratorium, beragam kegiatan ekstrakurikuler dan ruang terbuka yang menunjang kegiatan selama 24 jam. Dengan komponen lingkungan tersebut, kampus mendukung para monster untuk mengembangkan seluruh potensinya di universitas. Bukan saja lewat penyediaan buku-buku yang menunjang tapi juga melalui interaksi sepanjang hari dengan sesama mahasiswa.

Komponen penunjang berikutnya adalah tenaga pengajar profesional. Dosen-dosen di Monsters University mesti memenuhi kualifikasi akademik yang tinggi untuk memenuhi tugasnya. Tercatat, seluruhnya sudah bergelar professor. Namun, bukan sembarang gelar mereka dapat. Masing-masing punya catatan prestasi sebagai bukti pengembangan keilmuannya. Misalnya saja, Dean Hardscrabble, Kepala Program Menakuti di Monsters University, merupakan pemecah rekor menakuti di dunia monster. Belum ada yang menandingi prestasinya, maka jabatannya pun tak tergantikan.

Kemudian apa yang dilakukan monster dosen profesional dengan para mahasiswanya di dalam kelas? Ternyata mereka punya silabus dan kurikulum yang ketat. Menjadikan sosok hebat mereka sebagai acuan. Akhirnya, para monster pun diajarkan bagaimana menjadi Dean Hardscrabble. Menakuti dengan teori yang selalu digunakan Dean, berekspresi sebagaimana bentuk tubuh Dean, serta berkegiatan sebagaimana telah menjadi pengalaman Dean.

Seluruh mahasiswa Monster University mengikuti pola belajar tersebut dengan baik. Tanpa protes. Karena, pada akhirnya penentu hasil belajar mereka merupakan sebuah tes yang didasarkan pada materi-materi tersebut. Maka, yang diperlukan mahasiswa hanyalah mengikuti apa yang sudah diajarkan.

Mike Wazowski merupakan satu yang paling serius dalam urusan belajar. Ia membaca habis seluruh buku teks teori menakuti dan senantiasa mempraktikkannya di dalam kamar asrama. Secara tertulis, hasilnya pun baik, ia selalu mendapat nilai tertinggi di kelas. Mengalahkan teman-teman monster lainnya yang secara fisik, lebih punya potensi untuk menakuti manusia ketimbang Mike.

Namun, bukan penghargaan yang diterima Mike saat hasil belajarnya selalu sempurna. Ia justru dikeluarkan oleh Dean Hardscrabble dengan alasan yang sulit diterima. “Satu-satunya kekuranganmu adalah hal yang tak bisa dipelajari,” kata Dean pada Mike. “Kau tidak menakutkan.”

Kisah Mike Wazowski dan pendidikan di Monsters University memang hanya sebuah cerita dalam film Komedi Animasi berjudul Monsters University keluaran Pixar (2013). Namun, film yang disutradarai Don Scanlon ini merupakan kartun satir terhadap sistem pendidikan dunia yang kini tidak memosisikan manusia sebagai inti kegiatannya. Hanya saja dalam film ini, disimbolkan dengan para monster.  

Nampak jelas bahwa Mike Wazowski merupakan korban dari sistem pendidikan yang telah menciptakan standar  ajeg pada diri monster sebagaimana sebuah barang. Karena orientasi pendidikan Monsters University adalah untuk memenuhi kebutuhan industri monster. Universitas ini merupakan penyedia utama tenaga pekerja di Monsters Inc.

Pekerjaan paling bergengsi di Monsters Inc, yakni sebagai scarer diukur dari kemampuan monster menakuti manusia. Kemampuan itu pun dinilai dengan sebuah tabung pengukur kekuatan menakuti. Skor tertinggi dari tabung tersebut bergantung pada jerit manusia saat bertemu scarer. Sedangkan jerit manusia sendiri ditentukan oleh seberapa besar dan menakutkan bentuk fisik monster, lengking suaranya, intonasi, mimik wajah, serta ketepatan teori menakuti. Semuanya terstandar, dalam nilai yang ajeg.

Hal ini nampaknya memang sudah mengingkari jati diri para monster yang diciptakan dengan karakter masing-masing yang unik. Namun, hal tersebut tidak berguna dalam dunia berparadigma positivistik. Keunikan dan karakter tiap monster yang sifatnya dinamis tidak diperhitungkan. Makanya, bagi mahasiswa Monsters University berpikir untuk menjadi berbeda hanya membuang-buang waktu saja.

Pada tingkatan selanjutnya, para monster justru takut untuk menjadi berbeda. Don Carlton, Terry dan Terri, Art, serta Scott Squibbles merupakan contoh terbaik. Lima monster yang tergabung dalam kelompok persaudaraan Oozma Kappa ini sama sekali tidak punya bakat bawaan yang masuk dalam kategori meyeramkan. Maka tidak heran, jika mereka tidak berani saat Mike Wazowski mengajaknya untuk ikut kompetisi menakuti. Karakter penakut seperti ini memang merupakan idaman para pemegang dominasi. Paling tidak, ketakutan untuk maju dalam kompetisi sebelum menunjukkan kemampuannya, telah mengeliminasi lawan bagi para monster jagoan, yang sudah bertahun-tahun menjadi scarer.

Menurut para teoretisi kritis Mazhab Frankfurt, pola seperti itulah yang muncul apabila paradigma positivistik terus berlangsung di dunia, termasuk pendidikan. Paradigma yang menghilangkan seluruh elemen kemanusiaan yang tak punya nilai ajeg, sangat rentan dimanfaatkan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan status quo. Sebab, pola pikir yang dikembangkan cenderung mengabaikan relasi-relasi tersembunyi yang sebenarnya saling terkait dalam sebuah fenomena. Akibatnya, terjadi penindasan secara struktural terhadap sebagian kelompok.

Akhirnya, Mike Wazowski hadir sebagai simbol perlawanan terhadap paradigma positivistik dalam dunia pendidikan. Ia bergabung dan menyadarkan Kelompok Persaudaraan Oozma Kappa bahwa semua monster bisa berkembang dan menjadi scarer dengan caranya sendiri. Ia pun melatih lima monster Oozma Kappa hingga menjadi para scarer dengan kemampuan menakuti yang luar biasa. Sangat inovatif dengan mendasarkannya pada kemampuan masing-masing monster. Tidak berlebihan jika dikatakan monster hijau bermata satu ini tampil bagai mesias yang memberikan penyadaran bahwa pendidikan semestinya dapat mengakomodir potensi dari tiap-tiap peserta didik, bukan malah menyeragamkan mereka.

Namun, sebagaimana kisah hidup mesias-mesias dari beragam legenda dunia, Mike Wazowski juga mesti mengalami kegetiran. Ia dikeluarkan dari Monsters University, justru karena universitas tak bisa menerima dirinya sebagai entitas yang ‘berbeda’. Biar begitu, usahanya untuk berpikir dan bertindak di luar konsensus masyarakat tak pernah berhenti. Ia tetap belajar untuk menjadi scarer dengan caranya sendiri, dengan ukuran-ukuran sendiri. Sekaligus menunjukkan bahwa upaya mendobrak sistem pendidikan yang sudah terlalu lama mengakar dalam masyarakat, tidak bisa dilakukan dari dalam sistem itu sendiri.  

Kurnia Yunita Rahayu