Friday, February 8, 2013

Positivisme: membunuh kemanusiaan, mereduksi ilmu pengetahuan

Banyak orang memulai ihwal positivisme dengan penjelasan bagaimana ia lahir sebagai penerapan metode-metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Kesuksesan besar ilmu alam dalam rangka mengungkap fakta dianggap mampu diadopsi oleh semua disiplin ilmu. Namun siapa sangka, hal ini justru jadi senjata yang menikam ilmu pengetahuan maupun manusia dalam dimensi kemanusiaannya.

Dengan adanya positivisme, unsur subyektifitas manusia dalam ilmu pengetahuan dieliminir. Bagaimana tidak, paradigma yang berkiblat pada metode ilmu alam ini biasa menelaah hal-hal yang statis. Sedangkan medan kajian ilmu sosial adalah tindakan sosial, yang terdiri dari perilaku manusia, tentunya senantiasa berubah. Maka, terdapat keyakinan, bahwa kepentingan manusia tidak ada hubungannya dengan pengetahuan. Untuk itu, rasanya menjadi penting untuk membahas terlebih dahulu sejarah pemisahan pengetahuan dari kepentingan manusiawi.
Cara-cara semacam itu sebenarnya belum ditemukan pada zaman Yunani Kuno. Masyarakat pada zaman itu justru menganggap sebuah teori punya keterkaitan erat dengan kehidupan nyata. Hal tersebut diwujudkan secara utuh dalam konsep bios theoretikos. Suatu bentuk kehidupan, “jalan” untuk mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat), maka dengan jalan itu, manusia mampu mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dengan teori, manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan.
Pemisahan antara pengetahuan dengan kepentingan manusiawi mewujud dengan pemberian garis batas antara teori dan praxis. Hal ini dimulai dengan kelahiran ontologi dalam sejarah pemikiran manusia. Kelahirannya sendiri dibidani oleh hadirnya pemikiran filosofis di masyarakat Yunani. Pemikiran filosofis, mengartikan teori sebagai “kontemplasi atas kosmos”. Dengan pengertian tersebut, maka muncul pemisahan antara Ada dan Waktu, yang menjadi representasi dari keterpisahan antara yang tetap dan yang berubah-ubah.
Maka manusia juga membuat pengertian tentang hakikat, yakni inti dari sebuah kenyataan yang tidak berubah-ubah. Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan yang tetap, filsuf berkehendak untuk menerapkan pemahaman konseptualnya ke berbagai situasi. Pemahaman semacam itu disebut pengetahuan sejati, dan untuk mencapai pengetahuan sejati, teori mesti dimurnikan dari unsur-unsur yang berubah-ubah, yakni dorongan dan perasaan subyektif manusia sendiri. Sikap mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari dorongan empiris ini disebut “sikap teoretis murni”. Kelahiran ontologi, jelas telah memisahkan teori dari kehidupan praxis manusia.
Aksi pemurnian pengetahuan dari kepentingan manusiawi kemudian dilanjutkan oleh dua aliran utama filsafat, Rasionalisme dan Empirisisme. Yang disebut pertama tentu dipelopori oleh Plato. Ia menyatakan bahwa pengetahuan sejati bersifat apriori dan melekat pada rasio manusia sendiri. Pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yang menangkap idea-idea. Untuk itu, manusia harus membersihkan pikirannya dari unsur yang berubah-ubah agar mampu menembus kenyataan. 

Pada jalur kedua, berdiri Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Buatnya, pengetahuan berasal dari pengamatan empiris, bersifat aposteriori. Maka tugas manusia mengamati sesuatu yang berubah-ubah kemudian melakukan abstraksi. Sehingga dari hal-hal partikular, dicapai sesuatu yang universal. Dalam melakukan abstraksi ini pun manusia tidak bisa tidak, harus membersihkan diri dari unsur yang berubah-ubah.
Kedua aliran ini kembali muncul pada filsafat modern. Baik Rasionalisme yang diteruskan oleh Rene Descartes, Malebranche, Leibniz, Spinoza maupun Empirisisme yang dilanjutkan oleh Hobbes, Locke, Hume, dan Berkeley, berusaha mencari teori yang bersifat ilmiah. Meskipun titik awal perolehan pengetahuan dari keduanya berbeda, namun mereka sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni hanya bisa diperoleh dengan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Setelah dukungan Rasionalisme dan Empirisisme untuk pemurnian pengetahuan dari kepentingan manusia, muncul Francis Bacon. Bapak Ilmu Pengetahuan Modern ini memelopori pengetahuan empiris-analitis yang kemudian menjadi ilmu alam, yang direfleksikan secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Kesahihan ini sekaligus melegitimasi ilmu alam sebagai pelanjut dari ontologi.
Pembersihan pengetahuan dari kepentingan mencapai klimaksnya kala Positivisme digagas oleh Auguste Comte. Positivisme merupakan awal pencapaian cita-cita diperolehnya pengetahuan untuk pengetahuan (bebas nilai), yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Ia menganggap pengetahuan yang sahih adalah sebuah fakta objektif. Dengan ini, pengetahuan yang melampaui fakta akan disingkirkan.
Positivisme membawa semangat “ilmu yang ilmiah” yakni ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang disandarkan pada model teori ilmu alam. Maka “sikap teoretis murni” jadi tuntutan utama bagi ilmuwan sosial. Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial pun menjadi bersifat positivistik. Sifat ini mempunyai tiga prinsip utama yang saling berkaitan. Pertama, metodologi ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan ke dalam hukum-hukum tetap. Ketiga, ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
Positivisme bukan sekadar menjadi aliran teori pengatahuan, namun sudah menjadi paradigma dan suatu kesadaran manusia dalam berpengetahuan. Dalam abad ini, pemikiran positivistik tampil dalam gagasan-gagasan Lingkungan Wina. Mereka memiliki semangat untuk menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang terpadu sebagai perwujudan pengetahuan sejati umat manusia.
Memuncak pada positivisme kontemporer, pemikiran manusia sendiri yang telah menghancurkan konsep bios theoretikos. Sebab, mereka masih mewarisi dua prinsip penting dari ontologi. Pertama, sikap teoretis murni sebagai metodologi. Kedua, mereka masih meyakini bahwa struktur dunia dan masyarakat tidak tergantung dari subjek yang mengetahuinya. Positivisme telah membangung tembok tebal antara pengetahuan dan kehidupan praxis.[1]
Bagaimanapun, penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu sosial mengandung masalah. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa kenyataan sosial terdiri dari tindakan manusia yang tidak dapat dibakukan dalam hukum-hukum tetap seperti fakta alam.[2] Oleh karena itu, sejak masa berkembangnya, hadir golongan yang  menolak Positivisme, terutama dari beberapa pemikir Jerman, mereka berusaha membebaskan metodologi ilmu sosial dari ilmu alam.
Mereka melakukan perdebatan metode yang mencari perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Diantaranya Windelband dan Rickert dari Mazhab Baden. Windelband membedakan ilmu-ilmu alam menyelidiki gejala pengalaman yang dapat diulang terus menerus sehingga dihasilkan hukum (ilmu nomotetis), sedangkan ilmu sosial budaya meneliti peristiwa individual unik yang sekali terjadi (ilmu ideografis).  Kemudian perbedaan tersebut diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) untuk ilmu budaya (geisteswissenschaften) dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften).
Jurgen Habermas, teoretisi sosial Jerman mengatakan bahwa positivisme dalam ilmu-ilmu sosial hadir sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam pada masyarakat selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif untuk saling pemahaman-intersubjektif. Oleh karena hakikat ilmu pengetahuan tampak dari aplikasinya, positivisme taraf metodologis ini akan menghasilkan teknologi sosial pada taraf sosial, dan teknologi sosial pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi. Di dalam sebuah teknokrasi total, peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’ disingkirkan. Yang terjadi disini adalah objektivisme: subjek hanya bertugas menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang obyektif. [3]
Kemudian, keberadaan positivisme jelas telah mereduksi ilmu pengetahuan. Reduksi ini sudah terkandung dalam istilah “positif” yaitu “apa yang berdasarkan fakta objektif”.[4] Dengan karakter seperti ini, positivisme ingin memisahkan fakta dari hal-hal yang sebenarnya terkait. Karakter ini menjadi rentan bagi positivisme untuk ditunggangi oleh kelompok dominan dalam rangka mempertahankan dominasinya.
Secara teoritis, Teori Kritis tampil sebagai subjek paling menonjol melakukan aksi penolakan. Ia memposisikan diri sebagai kritik ideologi, untuk membongkar selubung ideologis di balik positivisme. Terdapat dua taraf yang hendak disasar olehnya. Pertama, taraf teori pengetahuan, ia berusaha mengatasi positivisme. Kedua, taraf teori sosial, kritik ditujukan ke berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.[5] Pemahaman positivistik atas ilmu sosial mengandung relevansi politis yang sama beratnya dengan klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi sosial sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistik yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasio teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Pada titik inilah teori akan mendorong praxis hidup politis manusia.

Kurnia Yunita Rahayu

Daftar Pustaka
Hardiman, Budi F. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. 2009
Hardiman, Budi F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: 2003

[1] F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 28
[2] Ibid., hal. 29
[3] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 58
[4] Ibid., hal. 55
[5] F. Budi Hardiman, op. cit., hal. 34

3 comments:

  1. penjelasan yang bagus!

    sering-seringlah menulis (blog)! ehehe..

    ReplyDelete
  2. iyeuh.....

    positivistik dalam ilmu, memang diperlukan, dalam domain ontologisnya sendiri, atau katakanlah sebuah determinisme. yang jadi problem dari Auguste Comte dan kebanyakan positivis adalah logikannya yang terbalik: hal-hal yang bersifat empirik, tidak dibangun dari hal-hal metafisik, melainkan kesatuan empirik yang menyusun logika deduktif. sebuah totalisme adalah sebuah keniscayaan.

    salam, main-main juga ke minimalsatu.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. positivisme dalam ilmu pengetahuan tidak diperlukan bahkan membahayakan pengetahuan itu sendiri. sebab dengan positivisme, obyek pengetahuan mesti dicari obyektivitasnya dengan cara menghilangkan pengalaman dari dirinya sendiri. itu berarti segala subjektivitas yang hadir dalam rentang waktu keberadaannya dihilangkan. dengan cara seperti itu, kita akan memperoleh pemahaman yang abstrak dalam kategori ruang, waktu, massa, dan gerakan.
    maka, permasalahan dari positivisme adalah bagaimana ia memperlakukan obyek pengetahuan itu sendiri.

    totalisme atau universalitas bukan sebuah keniscayaan, karena kehadirannya disokong oleh partikel-partikel penyusunnya, maupun sebaliknya. ada hubungan saling mempengaruhi, tapi tidak menjadi satu-satunya yang menentukan. dalam hal ini, semua yang ada dalam kosmos berperan dalam pembentukan ilmu pengetahuan. bila kemudian bicara mengenai signifikansi peran, ketidak-signifikan-an pun sebuah peran bukan?

    ReplyDelete