Sunday, November 25, 2012

Manusia, Makhluk yang Berpikir


Dengan segenap langkah pasti Ria keluar dari rumah. Kali ini, ia sudah tak peduli dengan puluhan kilometer yang mesti ditakluk, ia pun berdamai dengan dingin angin malam sambil memacu sepeda motor demi bertemu sang kekasih. Setelah seharian mengadu marah dengan lelakinya, Ria tak kuasa menahan asa, tanpa ragu perempuan dua puluh tahunan ini menuju kediaman pujaan hatinya.

Sepanjang jalan, pikiran Ria melayang. Konsentrasinya tidak tertuju pada tumpukan aspal yang dilintas, otaknya tak henti memikirkan Andi, kekasih yang sedang ditujunya. Masih terngiang makian Andi yang masuk ke telinga Ria atas prakarsa telepon genggam. Tidak kuasa mengacuhnya, air mata Ria berllinang, mengiring perjalanannya.

Tidak lebih dari waktu normal, Ria telah sampai di depan pintu pagar rumah Andi. Dengan gontai diselipi sedikit rasa takut, ia membuka pagar besi yang sudah hampir lima tahun yang lalu, sejak pertama kali ia singgah masih lekat warna catnya. Sambil menatap penuh harap kekasihnya keluar dari rumah tanpa ia harus mengetuk pintu selanjutnya.

Benar saja, dalam hitungan detik, muncul batang hidung Andi dari balik pintu. Ternyata ia sudah mengamati kedatangan Ria dari jendela kamarnya di lantai atas. Tahu apa tujuan kekasihnya datang, Andi mengajak Ria untuk pergi ke taman.

Tidak disangka, lokasi yang dipikir oleh Andi bisa memuncul khidmat dengan suasana sunyi untuk menyelesaikan masalah mereka ramai sekali malam ini. Puluhan muda-mudi tumpah ruah menikmat malam sambil bercengkrama, bernyanyi, bahkan ada yang berolah raga, di bawah temaram sinar bulan.

Namun ramai biarlah menjadi milik taman, malam tetap milik mereka berdua. Di sudut kiri taman Ria dan Andi duduk termangu. Saling menunggu salah satu memulai. Andi, mengawali pembicaraan dengan logikanya yang dibalut nada suara menjulang tinggi. “Ini sudah malam, jarak rumahmu puluhan kilometer dari sini,” katanya. “Saya sudah bilang ditunggu saja sampai besok, kan masih ada waktu biar kita pun lebih tenang.”

Sementara Andi sibuk beretorika, Ria bukan hanya tak kuasa menahan air matanya. Ia pun tidak bisa menahan laju caci maki dari lisannya. Buatnya, Andi sudah cukup keterlaluan menggampangi semua permasalahan yang bagi Ria mesti segera diselesaikan. Bermodal watak keras kepala, perempuan manis berambut sebahu ini terus saja melancarkan aksi protes atas sikap lelakinya yang juga tidak mau kalah.

Geram mendengar ocehan Ria yang bagi Andi sama sekali tidak masuk akal, hanya menimbang perasaan, ia pun mengangkat tangan kanannya. Nampak dari pandangan Ria tatapan Andi yang begitu nanar dengan mata yang mulai memerah. Tangan besar itu, belum turun dari sejak ia mengangkatnya beberapa detik yang lalu. Sambil menahan marah, pening menghampiri Andi, ia hampir saja mendaratkan sebuah tamparan di pipi Ria.

Untungnya, ada jeda sejenak dalam otak Andi setelah menerima stimuli marah dari Ria. Buat George Herbert Mead, Filsuf cum Sosiolog asal Amerika, manusia punya kapasitas untuk berpikir menentukan tindakan setelah mendapatkan sebuah masukan dari luar. Tidak seperti kaum behaviorisme klasik yang menyatakan manusia begitu saja mengeluarkan respon ketika mendapat stimulus tanpa ada proses berpikir.

Menurut Mead, proses berpikir bukan sekadar bagian dari kerja mental yang melibatkan otak individu. Namun, tahap ini justru ditentukan oleh proses sosial yang dialami manusia. Andi mengejawantahkan “dirinya” dalam bentuk lelaki yang sudah ingin menampar perempuannya harus berhadapan dengan definisi dirinya secara sosial.

Di dalam masyarakat, Andi adalah seorang lelaki, kekasih Ria. Untuk posisi itu, sudah dikonsensuskan bahwa sudah semestinya lah ia bertindak sebagai seorang kuat yang melindungi perempuannya, bukan malah menyakitinya. Terlebih, dalam konteks budaya Negara tempat tinggal mereka berdua, posisi perempuan cenderung berada di bawah lindungan dan kungkungan kaum Adam. Makhluk seperti Ria dipandang hanyalah seonggok lemah yang hadir sebagai pelengkap bagi Andi. Makanya, akan terjadi penolakan dari masyarakat bila Andi melanjutkan aksi menampar pipi Ria, apalagi di depan khalayak.

Lewat teori interaksionisme simboliknya, Mead ingin menunjukkan bahwa manusia punya kapasitas hebat untuk berpikir. Namun, kebisaan ini hanya dapat muncul dan dilakukan bila manusia berinteraksi dengan individu lain di dalam konteks sosialnya. Sejenak ia mengesahkan bahwa manusia tidak akan mampu melakukan apa pun tanpa manusia lain, bahkan hal yang paling fundamen: mendefinisikan diri.

Namun, dalam menjelaskan proses berpikir, rasanya Mead mengalpakan sesuatu yang berdiri kuat juga dalam mempengaruhi manusia. Yakni, hal-hal yang bersifat transenden. Seperti sebelumnya pernah dirumus oleh seorang berkebangsaan Austria Sigmund Freud. Ia membagi  kesadaran manusia dalam tiga ranah: Impuls Devian, Ego, dan Superego. Hampir serupa dengan Mead, konsep “I (self)” bekerja layaknya Impuls Devian (ID) dimana manusia ingin tampil sebagai dirinya sendiri atas keingingan-keinginannya. Kemudian ranah itu biasanya tidak berjalan mulus karena mesti berhadapan dengan beberapa hal yang sudah dikonstruksikan secara sosial, yang oleh Freud dimasukkan dalam kategori ego. Dan lebih dari itu, terdapat superego, domain transendental yang biasanya paling kuat memengaruhi manusia. Karena bukan tidak mungkin Andi mengurungkan niat untuk menampar Ria bukan saja karena kode budaya, tetapi ada kode agamis yang banyak bermain disana. Terlebih, Andi dan Ria adalah sepasang beragama yang juga hidup di lingkungan yang banyak mengagungkan hal-hal yang sifatnya KeTuhanan.

Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, October 16, 2012

Dewa


Ara dan Tata sepasang muda yang sedang giat-giatnya mencinta punya cerita khusus soal hubungan yang sudah dijalani sepanjang sepuluh bulan belakangan. Mereka saling cinta meski tidak jarang dimensi hidup yang mempertemukan keduanya diwarnai dengan ragam pertengkaran. Tidak, tidak, bukan ragam, tapi banyak. Mereka memang sering punya waktu untuk berselisih, untuk satu urusan.

Tata, mahasiswi jurusan sejarah yang punya segudang referensi kejadian masa lalu-tidak terkecuali soal urusan percintaan-selalu ingin mencipta kondisi ideal dalam hubungan. Ia seorang perfeksionis yang agak takut pada kegoncangan. Gandrung pada kondisi aman, sebisa mungkin menjauhi sakit hati. Untuk itu, Tata punya banyak standar dalam menghidupi kehidupan, termasuk diberlakukan kepada pasangannya.

Buat Tata, segala hal punya substansi dasar yang bersifat alamiah. Keberadaannya mungkin dinamis. Namun, untuk mencapai perubahannya, dibutuhkan waktu yang begitu lama, karena geraknya sangat lambat. Makanya, dia banyak kecewa bila lelaki yang amat dicintainya, Ara, melakukan hal-hal melenceng dari segala estimasi Tata.

Tak pelak, latar belakang ini menghadirkan pertengkaran berulang dalam hidup mereka. Ara yang tidak kunjung mencapai standar Tata, jadi sasaran empuk marahnya. Maklum, perempuan konon lebih banyak tidak bisa menahan marah ketimbang lelaki.

Menghadapinya, Ara setia di garis pertahanan. Ia mengamini memang sebuah hubungan percintaan dibina bukan untuk sebuah kompetisi. Buatnya-begitupun Tata- kesepakatan untuk punya komitmen lebih dari sekadar teman, dijalani untuk sebuah hidup. Makanya, Ara mengubur jauh-jauh konsep kebahagiaan yang mungkin didapat dari proses memberi dan menerima. Hidup yang sebenarnya, jauh lebih luas ketimbang mekanisasi memberi untuk menerima.

Sebagai hadiah, Ara mempersembahkan sebuah lagu untuk Tata. Memang sama sekali bukan ciptaan atau gubahannya. Dan memang tidak disuguh dengan penampilan khusus dalam suasana romantis. Hanya sebuah pesan rekomendasi buat kekasihnya, “dengarlah lagu Dewa 19, Aku Disini Untukmu,” katanya.

Lagu yang dicipta oleh pentolan grup musik Dewa 19 Ahmad Dhani ini memang banyak menyuguh suasana santai. Mulai dari alunan nadanya yang agak mendayu, hingga lirik-lirik yang termuat. Bagi Dhani, tidak perlu manusia risau dan lelah mencari nilai yang dimillikinya. Karena manusia dan segala dimensi kehidupannya merupakan sebuah kekosongan makna.

Namun, bukan berarti manusia mesti pasrah kemudian menyerah. Justru ini tugas besarnya: manusia harus aktif menentukan makna diri dan hidupnya sendiri. Karena memang hanya dia yang bisa, bukan diberikan orang lain, bukan turun dari langit.

Hal ini sejalan dengan pemikiran filsafat yang berkembang pada masa Ahmad Dhani hidup. Ia memang anak zamannya. Anak kandung dari filsafat eksistensialisme. Salah satu pemikir utama aliran ini adalah seorang berkebangsaan Perancis, Jean Paul Sartre.

Sartre, sapaan akrab filsuf yang banyak menghabiskan waktu luang di kafe-kafe ini mengatakan, manusia tidak memiliki hakikat bawaan, atau yang dikenal dengan esensi. Karena itu, esensinya harus diciptakan sendiri, sebab tidak ada yang menetapkan sebelumnya.

Hal ini bertolak dari sejarah panjang filsafat Barat yang selalu berupaya mengungkap hakikat manusia, namun belum pernah berhasil menemukannya. Maka pada umumnya, kegiatan mencari makna hidup adalah sebuah kesia-siaan. Meski begitu, Sartre bukan seorang nihilis yang meniadakan arti pada segala hal. Tidak bisa tidak, ia pun menyetujui bahwa hidup adalah sebuah proses yang punya arti, namun manusia lah yang menciptanya. Eksis berarti menciptakan kehidupan sendiri.

Eksistensialisme merangsek ke segala lini kehidupan. Satu yang paling banyak mendapat pengaruhnya adalah bidang kesusastraan. Sejak paruh pertama abad ke-20 hingga hari ini, teater-teater banyak menampilkan absurdisme dalam gelarannya. Tujuannya memang menyuguhkan sajian yang irrasional, menampilkan pertunjukan yang nihil makna, agar penonton mau mencipta interpretasinya sendiri. Menemukan kehidupan yang lebih sejati dan mendasar.

Karya-karya beraliran eksistensialis selalu memberikan sajian yang sebagaimana adanya. Melakukan hal-hal seperti sebagaimana adanya. Ini juga yang diinginkan Ara terhadap hubungannya. Ia tak pernah alpa mengingatkan Tata untuk menjalani hidup seperti adanya. Untuk bersama-sama tidak hanya mencipta makna, tetapi melangkah ke tahap yang lebih jauh dan lebih riil: menghidupi hidup.

Aku Disini Untukmu, Dewa 19

Melayang kau cari-cari arti, yang pasti tak kan kau temui. Tak perlu kau nilai-nilai semua, biarlah semua adanya. Kau coba meraba-raba hati, warna gejolak disini. Alirkan semua rahasia, leburkan dalam suasana. Tak usah cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Mungkin memberi arti cinta pada dirimu, aku disini untukmu. Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu. Lupakan sekilas esok hari semua telah terjadi. Aku dan dirimu, tenggelam dalam asa, dan tak ingin lari tanggalkan rasa ini. Cobalah entaskan, pastikan lepas atau terus, semoga perih terbang tinggi di awan.

Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Lepaskan sejenak berat di pundakmu, aku disini untukmu. Pastikan terjawab semua ragu di cintamu, aku disini untukmu.

Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu.


Kurnia Yunita Rahayu

Monday, June 25, 2012

Surat dari Drupadi untuk Putra-putra Ibu Kunti


Maafkan aku, ratu-mu, Kang Mas Yudhistira, sungguh lakuku mencuci rambut dengan kucuran darah Dursasana tidak akan kulakukan jika kekalahanmu di meja judi tidak mempertaruhku. Jika saja kau hanya memberikan seluruh harta dan kuasa Astina Pura kepada Kurawa serta sekutunya, aku tidak akan berucap sumpah seberani ini. Andaikan aku bisa tetap tenang berbaring di tempat tidurku siang itu, ketika kau dikalahkan hidup dan sifat dasar kemanusiaanmu, niscaya aku akan tetap menjadi Drupadi yang di dalam hatinya hanya menghendaki kebahagiaan.

Teruntuk kakanda Arjuna, aku tahu, diam-mu kala siang si balairung perjudian itu, mungkin sudah menyadari egoisnya istrimu ini. Terima kasih, untuk tetap bergeming ketika keluarga Kurawa menyeretku ke depan khalayak dan tidak berhenti mencoba untuk menelanjangiku, meski usahanya dihalangi dewata, dan tetap terjaga kesucianku.

Suamiku, Nakula dan Sadewa, wahai putra Kunti yang memperistri diriku untuk Pandawa bersaudara, percayalah, aku hanyalah seorang perempuan yang tidak pernah melepas hasrat untuk memanjakan diriku sendiri. Aku hanyalah seorang perempuan yang tak pernah rela diperlakukan dengan kasar oleh laki-laki. Sumpah demi nama dewata untuk tindakan yang sadis kepada Dursasana itu, hanyalah bentuk protesku atas perlakuan kasar yang sedikit pun tak pernah kudapat dari suami-suamiku, Pandawa yang lima.

Hey ksatria bumi, wahai Bima, putra Pandu Dewanata. Sungguh tiada satu pun yang mampu menandingi keberanianmu. Demi kehormatan raja-mu, kakanda-mu, suami-ku, Yudhistira yang asa dasar kemanusiaannya sedang dipergunakan oleh Kurawa bersaudara, untuk mengelabuhinya, kau rela mengejar Dursasana hingga ujung kehidupannya. Seperti kebiasaan manusia-manusia di utara bumi, di daratan yang kala itu belum dikenal serta tidak memiliki kerajaan seperti di tanah kita, mereka suka merobek dada lawan tarungnya untuk mengambil jantung yang masih berdegup untuk segera dipersembahkan kepada dewa mereka. Begitu pula yang kau berikan buat membela kehormatan kakanda-mu serta membela-ku.

Engkau rela bertarung melawan Dursasana, merobek kulit, mematah tulang, serta mengambil jantungnya sebagai tanda kemenangan serta bagai seorang bayi yang setahun tidak menyusu ibunya, kau teguk darah segar yang sejenak belum berhenti alirannya.

Hanya kau Bima, suami-ku, putra kedua Ibu Kunti, yang tidak bergeming ketika aku dikasari, dan hampir ditelanjangi. Terima kasih atas segala kegagah-beranianmu yang sedikit reaksioner itu, Kakang. Aku mencintamu, tidak kurang dari ke-empat suamiku yang lain, saudara-saudaramu.

Kepada pemuda rupawan yang sempat berkehendak untuk memperistri Drupadi yang elok ini, wahai pemuda Karna. Sejumput maaf dan segenap sesal kualamatkan kepadamu juga lewat surat ini.

Tidak dapat kuelak rupamu yang begitu tampan sempat menggetarkan rahangku ketika harus mengucap kata di depanmu. Mahirmu dalam memanah, hampir menanding Kanda Arjuna yang sudah bersamadi di tengah kawah Candradimuka untuk dapatkan Pasopatinya. Serta tidak kurang sedikitpun dari Pandawa, wahai pemuda rupawan, kau juga anak yang dilahirkan dari rahim suci Ibu Kunti. 

Meskipun begitu, status sebagai anak yang lahir dari kekhilafan Ibu Kunti dengan lelaki di luar Pandu Dewanata, membuatmu harus diasingkan. Tidak hidup di lingkungan kerajaan, luput dari pengajaran seorang yang arif, Bisma Dewa Bharata. Dan jauh lebih dari itu, kau tidak sempat berkenalan dengan hidup bergelimang harta sejak kecil, apalagi kekuasaan yang tiada tara.

Ketulusan, kepandaian, serta rupamu yang elok saja tidak cukup bekali hidupku, wahai pemuda. Maafkan, aku harus mengatur kekalahanmu dalam sayembara memanah yang digelar ayahku untuk mencari lelaki yang dapat mempersuntingku. Aku butuh diperistri oleh Pandawa, yang tidak saja rupawan dan baik budinya, akan tetapi juga bergelimang harta dan punya akses langsung dengan kekuasaan.

Aku, Drupadi, putri Drupada, perempuan yang banyak dikagumi manusia hingga berabad setelah kematianku, mengakui ini semua demi ketenangan hidupku di alam yang kekal yang kelak kujumpa. Demi segala dosa yang telah kulakukan, kupersembahkan baktiku dengan menyertai Pandawa dalam perang Bharatayudha. Teruntuk dewata yang tidak akan pernah bisa kubohongi dengan laku dan paras semanis apa pun, kuikhlaskan kematian menghampiriku dalam perjalanan menuju puncak Mahameru.

Kepada semua perempuan di zaman setelahku, jadilah Drupadi yang tidak hanya elok rupa, tetapi juga suci hati dan perbuatanmu.

Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, June 19, 2012

Juni, Juni, Juni, tolong jangan pergi..
Aku (mencinta) Juni.

Friday, June 15, 2012

Perempuan bukanlah semata-mata dilahirkan, melainkan proses menjadi.
Aku (menjadi) perempuan.

Wednesday, June 13, 2012

Lekas pulang..
Percaya deh, Sumatera nggak pernah lebih indah dari Jawa. 

Tuesday, June 12, 2012

Lewat Sembilan Tahun

Lebih dari itu semua, ada hidup yang akan lebih tertutup bagimu untuk mengerti. Ada hidup yang bersekat tebal dengan canda tawa riang masa pubertasmu. Ada hidup yang selalu dihalangi berbagai kenyamanan saat kau berkumpul dengan kawan sebayamu. Ada hidup yang baru akan dan bisa kau mengerti setelah kau temukan siapa dirimu.

Selamat, ya. Satu lagi tahapan sekolahmu telah berhasil dilalui dengan baik. Jenjang pendidikan yang diwajibkan oleh pemerintah sudah selesai kau tempuh, selesai, memuaskan. Sembilan tahun yang sudah lewat semoga bukan cuma lembaran usang yang siap dilipat rapi di dalam kotak lalu mengirimnya ke Bantar Gebang. Meski tumpukan buku dan kertas yang kau gunakan selama sembilan tahun itu akan segera kugiring dalam bara api. 

Lewat sembilan tahun, belajar di sekolah. Berstatus sebagai pelajar. Diajar berbagai mata pelajaran, yang kupikir, maaf, tidak akan membantumu hadapi hidup. Pemerintah memang curang, setengah-setengah bekali warganya buat jalani hidup di Negara yang diaturnya. Lewat sembilan tahun, belum akan ada yang bisa dilakukan.

Maka itu, mereka merancang satu lagi anak tangga yang harus dipijaki, sebelum sampai pada puncak capaian pendidikan: perguruan tinggi. Anak tangga yang satu itu, ah, bukan sulit kan kau dapat. Bekal yang terkumpul dalam waktu lewat sembilan tahun itu  mampu mengantarmu ke sekolah manapun yang kau pilih. Sekarang, tugaskan jari telunjukmu untuk memilih, kemudian ikuti saja kemana arah yang ia tuju.

Namun, ada satu hal yang harus kuingatkan padamu tentang masa sembilan tahun yang sudah kau lewat ini. Capaianmu yang sebenarnya bukanlah data statistik yang meski sudah baik, masih kau umpat karena merasa kurang puas. Yang jadi tujuanmu bukanlah seberapa populer sekolah menengah yang akan kau pilih beberapa hari lagi. 

Lebih dari itu semua, ada hidup yang akan lebih tertutup bagimu untuk mengerti. Ada hidup yang bersekat tebal dengan canda tawa riang masa pubertasmu. Ada hidup yang selalu dihalangi berbagai kenyamanan saat kau berkumpul dengan kawan sebayamu. Ada hidup yang baru akan dan bisa kau mengerti setelah kau temukan siapa dirimu.

Untukmu yang siap menjumpa indahnya hidup, terlelaplah di dalamnya, tenggelamlah bersama hiruk-pikuknya. Usah kau pikirkan hidup yang kusebut-sebut lebih kejam dari nenek sihir dalam cerita dongeng di negeri manapun di seluruh penjuru dunia. Ini memang masamu, saat yang tepat untuk menikmat waktumu.

Jangan biarkan kulit wajahmu berkerut sebelum tiba waktunya. Raihlah segala yang bisa kau raih. Bernyanyilah sampai seluruh dunia menyertai senandungmu. Berlarilah sampai kau tahu bahwa duniamu tiada pernah punya ujung. Hiduplah, dan jangan pernah berpikir untuk tidak hidup di dalam dunia manusia dan kemanusiaanmu. 

Akan tetapi, ada satu permintaanku: berjanjilah, untuk tetap memanusiakan dirimu, dan untuk melawan siapapun yang berani mencerabutnya dari dalam dirimu.

Buat Adikku, dari Mbak-mu,

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, May 25, 2012

Selamat 48, UNJ!

Empat puluh delapan tahun perjalanan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)  menorehkan banyak guratan dalam sejarahnya. Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), tentunya banyak guru yang dihasilkan. Selain itu, sedikit beromantisme, satu-satunya kampus negeri yang berdiri di ibukota ini, juga banyak menelurkan gagasan yang kemudian dilanjutkan menjadi kebijakan pendidikan nasional.

LPTK yang sudah berdiri sejak tahun 1964 ini, mencapai tingkat sempurna dalam metamorfosis bentuknya. Mulai dari sebuah institut yang membidangi ilmu-ilmu kependidikan hingga menjadi sebuah universitas, yang menaungi beragam disiplin ilmu di luar kependidikan. Akan tetapi, perluasan mandat yang diterima oleh IKIP Jakarta pada tahun 1999, ternyata berimbas pada ketiadaan orientasi bagi institusi ini.

IKIP Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi UNJ, tidak lagi memproduksi gagasan yang berpengaruh dalam dunia pendidikan nasional. Proses pembelajaran hanya menghasilkan insan-insan yang berkemampuan mereproduksi pengetahuan. Institusi ini, mandul gagasan pendidikan. Begitu pula dengan disiplin ilmu di luar kependidikan. Hingga belasan tahun kelahirannya, belum ada hasil penelitian maupun prestasi yang bisa menjadi ukuran keberhasilan. Jadi tidak berlebihan untuk dikatakan, institusi ini tidak memiliki arah jelas yang akan dituju setelah konversinya.

Salah satu faktor yang menyebabkan miskinnya gagasan dari para civitas academica adalah melemahnya budaya akademik. Mahasiswa UNJ kini dilenakan dengan berbagai aktivitasnya di dalam ruang kelas. Sibuk dengan begitu banyak tugas, juga tertekan dengan pembatasan masa studi yang diberlakukan kampus. Imbasnya, tidak ada lagi keinginan untuk menggaungkan budaya baca, tulis, dan diskusi. Karakter psikis bawaan yang tumbuh adalah bagaimana bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang singkat, tanpa harus menghidupkan kampus dengan budaya akademik.

Melemahnya budaya akademik nyata juga memarjinalkan dan mengalienasi mahasiswa dari lingkungan sosialnya. Segelintir mahasiswa saja yang paham bahwa di akhir tahun 2011 lalu, dua pejabat kampus terlibat kasus korupsi. Pembantu Rektor III dan seorang dosen Jurusan Teknik Sipil disahkan sebagai tersangka penggelembungan anggaran proyek pengadaan laptop dan sarana penunjang laboratorium. Tentunya, adanya kasus ini menjadi hal yang memalukan bagi universitas. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menutupi kebenaran. Terlebih lagi, membahas soal korupsi bukan hanya bicara moral. Akan tetapi ada pola kerja dan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya penggelembungan dana proyek tersebut.

Munculnya kasus korupsi juga tidak bisa dilepaskan dengan sistem PK-BLU (Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum) yang sudah sejak tahun 2009 diberlakukan di UNJ. Titik tekan dalam kebijakan ini adalah pemberlakuan otonomi kampus. Otonomi yang dilakukan, sangat riskan terhadap munculnya oligarki kekuasaan dalam tubuh rektor. Khususnya dalam kasus ini, Bedjo Sujanto yang dikabarkan ada “main” dengan pihak perusahaan yang menangani proyek, bisa leluasa mengatur pembagian jabatan di bawahnya dengan berbagai resiko.

Otonomi yang dilakukan kampus, adalah otonomi dalam pengelolaan keuangan. Dengan disahkan serta dilaksanakannya PK-BLU di kampus pendidikan ini, maka tidak heran jika pada tahun 2011, biaya kuliah naik sekitar 60% dari tahun sebelumnya. Bahkan, sejumlah 217 mahasiswa baru UNJ 2011 yang sudah dinyatakan diterima, harus hengkang karena tidak mampu melunasi biaya kuliah, dan pihak kampus angkat tangan menyikapinya. Kewenangan yang diberikan pemerintah kepada universitas untuk mencari dana sendiri dalam pembiayaan kegiatannya, sungguh merupakan bentuk nyata dari swastanisasi perguruan tinggi negeri.

Rasionalisasi yang digunakan dalam kenaikan biaya kuliah adalah sehubungan dengan pembangunan fisik yang sedang gencar dilakukan oleh kampus. Gedung megah dan tinggi yang jadi prioritas utama kampus jelas-jelas tidak berpihak pada mahasiswa penyandang ketunaan. Berbagai usulan serta protes sudah dilancarkan oleh mahasiswa. Hingga di tahun 2011, mahasiswa dari  berbagai jurusan membentuk sebuah aliansi yang berkonsentrasi memperjuangkan soal-soal aksesibilitas.

Beragam ketidak beresan yang terjadi di UNJ ini mungkin akan sampai pada titik nadir jika tidak ada perubahan dan perbaikan. Untuk itu, mahasiswa sebagai stake holder  harus segera turun tangan untuk melawan kondisi ini. Dengan melakukan aksi pemogokan, mungkin para pemangku kebijakan kampus baru bisa sadar atas segala yang mencerabut mahasiswa dari akar-akar kemanusiaannya.

Tulisan ini hadir bukan sebagai aksi penyerangan atau menjadi sekedar alternatif dalam memeriahkan rangkaian acara ulang tahun UNJ yang ke-48. Terlebih saya hadir sebagai mahasiswa. Momen perayaan 48 tahun ini harus bisa merefleksi kondisi nyata kampus. Serta sesegera mungkin melakukan perubahan untuk pendidikan, yang sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Selamat 48, UNJ!

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, April 14, 2012

Industrialisasi Kultur Akademik

Birokrasi universitas begitu gencar melakukan aksi politis dalam rangka mengintegrasikan psikologi industrial ke dalam nilai, kultur, moral, dan lingkungan kampus.
Tiga buah jarum yang berputar di jam tangan Dina tepat bertengger di angka dua belas. Terik matahari siang itu memanggil-manggilnya untuk segera keluar kelas. Jam kuliah memang sudah selesai. Tanpa ragu, Dina pun melangkahkan kakinya keluar kelas untuk langsung pulang ke rumah.

Dina memang tidak memiliki aktivitas lain di kampus kecuali kuliah. Sudah sibuk dengan kuliah dan segala perintilannya di kelas, ia memilih untuk tidak berorganisasi. Cukup baginya mengaktualisasikan diri di dalam ruang kelas. Hal itu, dijewantahkannya dengan senantiasa mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen-dosen.

Bukan Cuma Dina yang mengambil sikap untuk tidak berorganisasi di kelas. Sebagian besar kawannya memilih melakukan hal yang sama. Alasan mereka pun seragam, ruang kuliah sudah cukup menyita waktu dan keseriusan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah waktu untuk beristirahat sejanak di rumah. Untuk kemudian kembali disibukkan dengan beragam jenis kegiatan yang muncul dari belasan mata kuliah.

Keseragaman sikap yang diambil oleh Dina dan teman-teman sekelasnya, menjadi cerminan kehidupan sebagian besar kehidupan kampus hari ini. Mahasiswa tidak lagi dinamis di luar ruang kelas. Mereka disibukkan dengan kegiatan akademis, namun tidak ada hasil akademis memuaskan, yang dapat dijadikan ukuran kemajuan pendidikan. Rupanya, setelah terbitnya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) di tahun 70-an, muncul lagi berbagai pendisiplinan dan normalisasi di dalam kehidupan kampus.

Pendisiplinan dan normalisasi dijewantahkan dalam tindak represi dan kekerasan akademis, yang bertujuan untuk mengintegrasikan nilai, kultur, moral, dan aturan-aturan yang relevan dengan kepentingan kampus. Seiring dengan makin berkembangnya nilai komersialisasi pendidikan maka kehidupan kampus pun direlasikan dengan kapital.

Hal tersebut dilakukan untuk menjamin situasi temporal berupa stabilitas dalam atmosfer dan situasi sosial kampus. Juga dalam rangka memastikan karakter bawaan dan psikis mahasiswa sebagai pribadi-pribadi yang patuh dan permisif atas segala ketidak adilan. Serta menjadi manusia-manusia yang penuh dengan ketakutan atas ketidakpastian masa depan, namun tetap kreatif agar dapat menunjang produktivitas yang dibutuhkan oleh kapital.

Dalam tataran pelaksanaan, proyek-proyek pendisiplinan di universitas hadir dalam beberapa rupa. Pertama, pembatasan waktu studi. Secara ekonomis, hal ini bertujuan menciptakan produk sarjana dengan kompetensi tertentu secara efisien. Mahasiswa dicipta dalam waktu produksi sesingkat mungkin, hingga menjadi orang-orang yang kompetitif dalam pasar kerja. Serta mendorong pola interaksi sosial dan kultur studi dalam universitas menjadi lebih teralienasi, dan terisolasi satu sama lain. Dalam kondisi normal seperti ini, kontrol dan dominasi dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

Kedua, perubahan kurikulum dan durasi belajar. Dengan menerapkan metode belajar baru yang lebih padat, kemudian membuang beberapa mata kuliah yang dianggap tidak produktif dan hanya memberatkan beban sks. Ketiga, digunakannya metode-metode kontrol secara lebih terintegrasi dan tersentral seperti: KRS elektronik, pengintegrasian sistem perbankan, sampai pada tindak penyusupan intelijen sebagai dosen atau mahasiswa.

Yang terakhir adalah penghapusan otonomi dan hak-hak mahasiswa. Dalam tataran ekstrim, kampus dapat melakukan pelarangan berorganisasi atau pemberangusan serikat mahasiswa. Sehingga kooptasi dalam pemerintahan mahasiswa dapat dilakukan. Pemanfaatan ruang dan waktu akademik resmi pun bisa diperketat. Hal tersebut tentunya merupakan ekspresi terjelas dalam melucuti kebebasan mahasiswa dan memperkuat alienasi dalam relasi sosial sehari-hari.

Jika keadaan yang dibentuk oleh kampus sudah merancang mahasiswa semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya, maka tidak heran jika minat berorganisasi pun menurun. Kehidupan berorganisasi dipandang sebagai hidup yang abnormal, dan akan menghambat pencapaian masa depan cerah setelah lulus dari universitas.

Kurnia Yunita Rahayu

Menolak Bias Gender dalam Pendidikan

Nyatanya, bias gender belum hilang meski akses pendidikan sudah tidak memandang seksualitas.
Beberapa hari ini tidak terlihat senyum di wajah Nuniek. Ia risau memikirkan masa depannya. Dia sudah diterima di Jurusan Teknik Mesin sebuah perguruan tinggi negeri. Sayang, orang tuanya tidak menyetujuinya. Padahal surat kelulusannya masuk perguruan tinggi lewat jalur minat dan bakat sudah diterima. Harapan Nuniek untuk dapat mengaktualisasikan minat dan bakatnya, harus segera dikubur.

Orang tua Nuniek bersi keras ingin anaknya masuk jurusan akuntansi. “Biar bisa kerja di bank, dan punya citra perempuan yang cantik dan baik,” tutur ayah Nuniek. Sedang Ibu, punya argumen yang tak mau kalah kuat dari Ayah. “Perempuan itu sudah selayaknya bekerja di tempat yang bersih, bukan berurusan dengan oli, ” ucap Ibu.

Apa yang dialami Nuniek, ternyata juga terjadi pada murid-murid sekolah di Kanada pada sekitar abad ke-17. Di masa itu, terdapat pembatasan terhadap anak perempuan untuk memilih mata pelajaran. Matematika, teknik, dan beberapa mata pelajaran lain yang berhubungan dengan ke-lelaki-an dilarang diambil.

Kenyataan adanya diskriminasi tersebut membawa reaksi perlawanan kaum feminis. Mereka, menyakini pendidikan sudah semestinya terbuka untuk semua orang. Tidak terbatas jenis kelamin dan gender. Mereka memadukan studi feminis dan studi pendidikan, maka jadilah sebuah gagasan yang diberi nama Pedagogi Feminis.

Pedagogi feminis yang mereka gagas ini tidak terbatas hanya pada isu gender, seperti kebanyakan perspektif feminis lainnya, tetapi juga membahas keseluruhan ketidakadilan sosial. Medan kajian dan penerapan pedagogi feminis berada ruang kelas. Hal ini karena ruang kelas diyakini sebagai ruang yang tepat untuk memberikan pemahaman tentang tentang realitas sosial, termasuk ketidakadilan

Salah satu bentuk diskriminasi yang dibahas ialah pencampur-adukan jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin adalah hal kodrati yang tak bisa diubah. Sementara gender, merupakan hal yang dijadikan parameter pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Mengingat Indonesia adalah negara yang multikultur dan multietnis, siswa sangat mungkin berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda. Namun, perspektif pedagogi feminis justru berusaha mengakomodir itu semua.

Kehadiran bias gender dalam dunia pendidikan tidak lain merupakan buah dari proses konstruksi sosial. Salah satunya lewat kurikulum pendidikan. Contohnya, pada buku-buku teks sekolah dasar tertulis ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke pasar, Ayah setiap hari bekerja, ibu tugasnya memasak. Melalui berbagai pendekatan, paradigma tersebut dilanggengkan. Sehingga hal-hal yang sebenarnya tidak adil, menjadi sesuatu yang wajar karena sudah terlalu lama diterapkan.

Sejak zaman kemunculannya hingga konteks hari ini, pembahasan pedagogi feminis masih sangat penting untuk dikaji dan diterapkan. Karena ternyata masalah bias gender belum hilang, meski akses pendidikan bagi perempuan sudah terbuka lebar. Sayangnya, pedagogi feminis tidak mungkin berjalan apabila guru tidak memiliki perspektif terkait keadilan sosial.

Oleh karena itu, untuk membentuk guru-guru yang memiliki perspektif keadilan sosial, kampus-kampus LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)-lah kunci awalnya. Di tengah karut-marut masalah pendidikan di Indonesia, LPTK semestinya memang memiliki determinasi konkrit, untuk mengambil peran besar dalam upaya perubahan masyarakat.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, March 24, 2012

Sekolah Berkeadilan Sosial

Judul : Serikat Islam Semarang dan Onderwijs
Penulis           : Tan Malaka
Penerbit         : Pustaka Kaji
Tahun Terbit : 2011
Halaman        : 61 Halaman 

Jangan ajarkan kami soal a,b,c yang abstrak, karena yang harus diselesaikan adalah masalah-masalah konkrit.

Harapan rakyat pribumi untuk bisa mengenyam pendidikan hampir menemui titik terang. Digelontorkannya kebijakan Politik Etis (1901) oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda seakan jadi jawaban. Edukasi, irigasi, dan emigrasi diharap jadi jalan balas budi, atas apa yang telah rakyat berikan selama beratus tahun.

Jalan pendidikan bagi rakyat mulai terbuka. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih  bisa didapat. Sistem sekolah yang dibuat terbagi dalam dua jalur. Eropa totok dan pribumi. Dua perbedaan mendasar dari kedua jalur itu, terlihat jelas. Penggunaan bahasa pengantar, dan durasi sekolah. 

Sekolah anak-anak Eropa jelas menujukan muridnya pada keterampilan kerja otak. Sementara sekolah pribumi, setingginya membentuk lulusan sebagai juru tulis di kantor-kantor kolonial. Nilai Politik Etis yang diharap memberi masa depan cerah. Nyata hanya mereproduksi manusia-manusia yang digunakan untuk melanggengkan kepentingan pemerintah kolonial.

Berangkat dari realitas ini, maka mulai bermunculan ide-ide untuk membuat sekolah yang berpihak pada rakyat. Sekolah-sekolah partikelir, begitu kiranya disebut. Salah satunya Tan Malaka dengan Sekolah Serikat Islam-nya. Tahun 1921, muncul brosur tulisan Tan Malaka yang berjudul S.I. Semarang dan Onderwijs, berisi penjelasan tentang sekolah yang didirikan serta dikelolanya. 

Sekolah Serikat Islam Semarang didirikan untuk anak-anak pengurus serta aktivis Serikat Islam dan kaum kromo lainnya. Didirikan pada tahun 1921, atas permintaan dari ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, Semaun. Ia memilih Tan Malaka atas dasar latar belakang pendidikannya. Tan Malaka memang seorang revolusioner yang memiliki kecendrungan di bidang pendidikan. Hal ini tidak lepas dari latar belakangnya sebagai lulusan sekolah guru di Bukit Tinggi, dan sempat meneruskan Sekolah Tinggi Guru di Haarlem, Belanda. 

Semaun dan Tan Malaka sepakat untuk mendirikan sekolah yang berbasis ideologi kerakyatan. Menurut Tan Malaka, “kekuasaan kaum modal terdiri atas didikan yang berdasar kemodalan. Kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.” Sadar akan kondisi ketertindasan rakyat, sekolah Serikat Islam dibentuk dengan tujuan lulusannya dapat menafkahi dirinya sendiri dan keluarga, serta membantu pergerakan rakyat.

Sekolah Serikat Islam menjadi representasi dari pola pikir Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) Tan Malaka. Pola-pola anti kolonial diterapkan. Soal-soal pertukangan, menjahit, pidato, berorganisasi, serta ide-ide kemerdekaan diajarkan disini. Selain itu, anak-anak pun dianjurkan untuk aktif tampil di vergadering-vergadering agar lebih banyak bersentuhan dengan rakyat. Dengan begitu mereka paham masalah dan apa-apa yang dirasakan oleh rakyat. 

Intelektual lulusan Sekolah Serikat Islam adalah orang-orang yang mencintai rakyatnya, Bukan para akademisi yang membentuk ruang eksklusif bagi kalangannya sendiri. 

Kontekstual dan Menjawab Tantangan

Netralitas atas pendidikan merupakan sebuah kenaifan. Tidak ada pendidikan yang membawa pengetahuan secara objektif. Selalu ada berbagai alasan mengapa sebuah pengetahuan bisa muncul. Sejarah pun menjawabnya dengan satu benang merah, relasi dengan kelompok dominan.

Kecendrungan dominasi kapital makin merajalela. Untuk menghadapi itu, pertama Tan Malaka membekali murid sekolah Serikat Islam dengan amunisi untuk mencari penghidupan dunia kemodalan. Membaca, menulis, hitung, masih diyakini sebagai kuncinya. 

Yang kedua murid-murid perlu diberi ruang untuk menikmati setiap fase perkembangannya. Sekolah govermen dengan berbagai kesibukan akademisnya nyata telah merepresi anak. Kewajiban untuk menghapal berbagai bahasan, pekerjaan rumah yang diberikan, membentuk anak-anak dengan satu kesibukan sepanjang hari, yaitu belajar. Sehingga teralienasi dari lingkungan sosialnya, kemudian potensial menjadi manusia-manusia berwatak individual.

Pada dasarnya, anak memang suka bermain dan berkumpul. Dalam perkumpulan itu, murid-murid sekolah Tan Malaka membentuk organisasi-organisasi kecil dari permainannya. Sengaja Tan tidak mengintervensi mereka dalam menentukan arah serta peraturan-peraturan. “Kita bukan hendak membentuk mereka menjadi gromopon, kita mau, supaya dia berpikir dan berjalan sendiri,” (Tan Malaka:1921).

Ketiga, membentuk kesadaran bahwa kelak mereka memiliki kewajiban terhadap kaum-kaum kromo lainnya. Sekolah govermen mendidik murid dengan menihilkan rasa cinta kepada rakyat. Melupakan kewajiban untuk menaikkan derajat orang-orang miskin. Didikan seperti ini melahirkan sebuah kelas baru yang terpisah dari rakyat, yang kemudian disebut terpelajar. 

Satu hal lagi yang turut membidani kelahiran kaum “terpelajar” adalah adanya pemisahan kerja otak dengan kerja tangan. Sekolah biasa, dianggap hanya untuk mencari kepandaian otak saja. Sementara kerja tangan dianggap sebagai yang rendahan. 

Maka untuk mengatasi kondisi seperti ini, hal pertama yang dilakukan di sekolah adalah melepas paradigma bahwa kaum kromo dengan pekerjaan tangannya itu rendah. Kebencian tak beralasan kepada mereka segera dihilangkan. Kemudian mengintimkan hubungan dengan kaum melarat.

Mandiri Mereproduksi Guru

Permintaan pendirian Sekolah Serikat Islam di beberapa kota makin gencar. Hal ini tentunya karena secara pembiayaan cenderung lebih murah, dan secara pematerian dapat memberi lebih dari sekolah govermen. Namun, satu masalah yang mencuat adalah soal kekurangan guru.

Sedikit orang melamar sebagai guru di Sekolah Serikat Islam. Terutama lulusan kweekschool, mereka belum melirik menjadi guru disana. Bukan besar gaji yang jadi persoalan, namun lebih kepada haluan yang berbeda. 

Mengatasi hal ini, Sekolah Serikat Islam mandiri memproduksi guru. Dipekerjakanlah anak-anak lulusan sekolah ongko loro. Lulusan sekolah ongko loro sudah berkompeten dalam baca, tulis, hitung, dan beberapa ilmu lain. Sehingga mereka bisa diperbantukan untuk mengajar sekolah rendah.

Juga dilakukan pemberdayaan atas mereka. Setelah mengajar sekolah rendah pagi sampai siang hari, mereka diberi kursus pedagogi sore harinya. Bicara kesejahteraan, penghasilan yang progresif mereka terima, sesuai dengan tingkat kursus dan kelas yang diajar.

Lulusan Sekolah Serikat Islam memang dirancang untuk menjadi pemimpin yang revolusioner. Para pemuda yang lulus kursus S.I. Semarang bisa menjadi guru S.I. lainnya. Pun jalan mereka sudah terbuka untuk memimpin rakyat. Kemampuan menjadi pembela perkumpulan politik sudah dimiliki. Karena ilmu-ilmu macam itu, sudah diteori dan dipraktikkan di Sekolah Serikat Islam.

Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, March 13, 2012

Berpikir Itu Seperti Otot


Judul Film : Dangerous Minds

Rilis          : 1995

Produksi   : Hollywood Picture

Sutradara  : John N. Smith

Pemain      : Michelle Pfeifer, George Dzundza, Courtney B. Vance, Robin   Bartlett, Beatrice Winde

Berbagai ide berbahaya dalam pendidikan ditampilkan dalam film ini.

Louanne Johnson muda, cantik, dan energik. Berbekal gelar sarjana Bahasa Inggris dan beragam pengalaman kerja sebelumnya, ia memutuskan diri untuk melamar pekerjaan sebagai guru. Beragam pekerjaan pernah dilakoninya, mulai dari public relation, pemasaran, hingga angkatan laut Amerika Serikat. Kompetensinya terakreditasi dengan baik di semua bidang, kecuali satu, bidang pendidikan. Ia hampir mendapat sertifikasi sebagai tenaga pendidik, namun hal itu terhenti karena ia menikah dan membantu pekerjaan suaminya. Malang tak dapat ditolak, belum bertahun usia perkawinannya, semua harus retak, ia bercerai.

Ia diterima sebagai guru di sekolah tempatnya melamar. Tidak tanggung-tanggung, diterima sebagai guru penuh, bukan sekedar paruh waktu. Louanne ditempatkan untuk mengajar di Academy Class. Kelas dengan murid-murid istimewa, cerdas, penuh gairah belajar, dan selalu tertantang untuk terus maju. Setidaknya begitu yang dipaparkan Carla, asisten kepala sekolah yang menerima lamaran Louanne.

Hari pertama mengajar, Louanne datang dengan penuh semangat. Berpakaian rapi dan lengkap laiknya seorang guru. Mempersiapkan kurikulum dan berbagai bahan ajar. Namun, apa yang didapatinya sungguh di luar ekspektasi.

Academy Class dipenuhi oleh anak-anak berkulit hitam, ya paling tidak mereka anak-anak miskin dari Amerika Latin. Perilakunya juga mengagetkan Louanne. Hari pertamanya, disambut dengan murid-murid yang asik bernyanyi dengan memukul-mukul meja sesuka hati. Mereka menantang Louanne apakah bisa bertahan di kelas mereka. Karena guru sebelumnya pun memutuskan untuk keluar akibat tidak tahan dengan sikap mereka. Tidak berhenti pada hal itu, seorang murid pun berani menggoda Louanne, meleceh keperempuanannya. Beberapa menit saja ia masuk di kelas itu, ia benar memutuskan diri untuk keluar. Kepergiannya dari kelas diiringi lemparan kertas dari seluruh murid.

Di luar kelas, ia mencari sahabat yang merekomendasikannya untuk melamar di sekolah ini, Hal Griffith. Louanne  geram mendapati Griffith yang dapat mengajar secara normal di kelas sebelahnya. Ia memaksa Griffith keluar. Geram, marah, mengadu ia pada Griffith. Tak terima atas penjelasan Carla, ia menuntut penjelasan lebih dari Griffith. Griffith pun memberitahukan bahwa Academy Class terdiri dari anak-anak dengan kompetensi akademik yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi mereka seperti itu, bukan tanpa sebab, mereka merupakan anak-anak yang berangkat dari beragam masalah sosial.

Tidak terima atas keadaan ini, Louanne terpikir untuk menyerah. Namun, kata-kata Griffith senantiasa menjadi angin yang mengipas bara semangatnya untuk terus menyala. “All you gotta do is get their attention, or quit!” tegas Griffith.

Berangkat dari keinginan murninya untuk mengajar, Louanne pun tekun mempelajari buku-buku disiplin asertif. Berbagai fenomena dan perilaku murid di kelas ia dapatkan dan pelajari sebelum masuk ke kelas. Paham akan sesuatu yang harus dilakukan, ia pun berangkat ke sekolah, mengajar, dengan semangat yang baru.

Bukan cara-cara ajaib  dengan metode rumit dan canggih yang ia lakukan hari itu. Hari itu, ia justru datang untuk menjadi bagian dari murid-muridnya di kelas. Dengan berpakaian yang sama dengan gaya murid-murid, ia mencoba memahami mereka dari bagian terluarnya.

Gaya para murid yang brutal, menginspirasi Louanne untuk tidak mengajar subjek yang menjadi disiplin ilmunya terlebih dahulu, Bahasa Inggris. Dengan bekal pengalamannya sebagai anggota Angkatan Laut Amerika Serikat, ia memulai pelajaran hari itu dengan materi Karate. Ya, Karate. Salah satu cabang bela diri yang berasal dari negara Jepang. Nyata melalui Karate, murid-murid begitu tertarik, karena pada dasarnya mereka pun suka berkelahi.

Sejatinya, Louanne memiliki pola yang sama dengan Paulo Freire ketika ditugasi untuk melakukan pemberantasan buta huruf di Guinea Bissau. Freire tidak mau mengajar, memberantas buta huruf di masyarakat sebelum mempelajari masyarakat itu sendiri. Ia harus menjadi bagian dari masyarakat, untuk memahami apa yang dirasakan, dan bisa menyusun apa yang akan dilakukan untuk melepas situasi yang menekan.

Murid-murid Academy Class kaya akan masalah sosial. Emilio yang berlatar keluarga broken home, miskin. Callie gadis misterius yang harus bekerja di supermarket setiap pulang dari sekolah. Duller dan Lionel keluarganya tidak setuju dengan sekolah, karena dianggapnya tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi hidup mereka. Dari keadaan ini, Louanne mencoba untuk mengenal mereka satu persatu. Dengan berbagai pendekatan baik yang persuasif, hingga yang adiktif.

Ide-ide Berbahaya

Gambaran bahaya sistem pendidikan di Amerika, digambarkan jelas dalam film ini. Pertama, adanya pemisahan  kelas untuk siswa-siswi berkompetensi akademik rendah dan memiliki beragam masalah sosial. Mereka dikelompokkan menjadi satu kelas. Hal ini tentu mengalienasi mereka dari lingkungannya. Teman-teman di sekolah melihat mereka sebagai siswa rendahan. Pun di masyarakat, mereka dianggap sekelompok manusia berkelakuan minus.  Keberadaan kelas ini bukan terlihat sebagai tempat untuk mendidik malah lebih mirip dengan penjara anak-anak.

Kedua, kelas ini mampu mengusir guru standar yang mengajar di kelas mereka. Kecenderungan guru pada umumnya adalah menyamaratakan perlakuannya terhadap siswa. Pendekatan yang dilakukan, sama kepada semua anak didiknya. Padahal ada beberapa situasi yang mengharuskan guru melakukan pendekatan berbeda terhadap siswanya. Terkait latar belakang kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Seperti anak-anak di Academy Class.

Beruntung Academy Class kedatangan Louanne  Johnson yang diperankan apik oleh Michelle Pfeiffer. Ia datang dengan segudang ide untuk belajar bersama mereka. Idenya untuk mengenal lebih jauh pribadi mereka dapat dianggap berbahaya pula. Louanne berani melebur diri dalam situasi siswa dengan beragam latar belakang masalah sosial. Kebanyakan dari mereka adalah bagian dari gangster-gangster dengan kehidupan yang keras.

Nilai pendidikan kritis pun ditampilkan dalam film yang disutradarai oleh John M. Smith ini. Materi yang dibawakan oleh Louanne saat mengajar bukan berasal dari rumusan baku ataupun kurikulum. Ia berangkat melalui puisi, yang menampilkan syair-syair beresensi pantang menyerah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi Academy Class yang penuh dengan masalah sosial.

Louanne menekankan kepada siswa-siswanya bahwa kerja keras dalam belajar adalah kunci keberhasilan. Menurut Louanne, berpikir itu seperti otot. “If you want it to be really powerful, you got to work it out. Each new fact, give you another choice. Each new idea builds another muscle. And its those muscles that are gonna make you really strong. Those are your weapons in this unsafe world.”

Kurnia Yunita Rahayu

Sunday, March 4, 2012

Maya

Maya, kau rekam semua jejak. Baik yang ingin diingat, maupun dibuang.

Sejujurnya, benar aku ingin menjauh diri darimu, Maya.

Saturday, February 25, 2012

Aku, mengamininya

Semoga kita tidak bertemu titik, 

Terima kasih, ya. Suka sekali dengan analogimu.

Sunday, February 5, 2012

Selalu

Selalu, menghabis pagi dengan memutar lagu-lagu dari urutan main yang sudah saya kelompokkan dengan apik. Saya tidak terlalu mengikuti deras arus perkembangan musik dalam negeri maupun mancanegara. Selalu, saya menyebut musik dan lirik pilihan itu sebagai lagu sepanjang masa, sepanjang masa akan saya suka, dan persetan dengan yang lain.

Meski berkutat dengan hal yang selalu, saya sempatkan waktu untuk melirik urutan main lain yang tersimpan di harddisk. Saya dapati beberapa lagu disimpan oleh kakak lelaki. Unik, dia punya karakter lagu khas yang disuka. Karakter utamanya yaitu tidak ada lagu dari tahun 2000-an. Ya, dia pecinta musik yang berkiprah di bawah 2000-an, katakanlah dia seorang dengan selera musik jadul. 


Bicara selera bermusik, saya dan kakak punya gairah musik yang sama kuat. Kami senang menghabis waktu, suara, dan uang di tempat-tempat karaoke yang beberapa tahun belakangan begitu populer. Dan, ada beberapa lagu yang pasti kami nyanyikan apa pun situasinya, bagaimana pun iklim hati. Salah satunya lagu ini, yang saya putar lebih dari dua puluh kali pagi ini.
This Romeo is bleeding, but you can't see his blood, it's nothing but some feelings, that this old dog kicked up.
It's been raining since you left me, now I'm drowning in the flood, you see I've always been a fighter, but without you I give up. Now I can't sing a love song, like the way it's meant to be, well, I guess I'm not that good anymore, but baby, that's just me. 
And I will love you, baby - Always, and I'll be there forever and a day - Always, i'll be there till the stars don't shine, till the heavens burst and the words don't rhyme, and I know when I die, you'll be on my mind, and I'll love you - Always 
Now your pictures that you left behind, are just memories of a different life, some that made us laugh, some that made us cry. One that made you have to say goodbye. What I'd give to run my fingers through your hair
To touch your lips, to hold you near. When you say your prayers try to understand, I've made mistakes, I'm just a man.
When he holds you close, when he pulls you near
When he says the words you've been needing to hear
I'll wish I was him that those words were mine
To say to you till the end of time
Yeah, I will love you baby - Always
And I'll be there forever and a day - Always 
If you told me to cry for you
I could
If you told me to die for you
I would
Take a look at my face
There's no price I won't pay
To say these words to you 
Well, there ain't no luck
In these loaded dice
But baby if you give me just one more try
We can pack up our old dreams
And our old lives
We'll find a place where the sun still shines 
And I will love you, baby - Always
And I'll be there forever and a day - Always
I'll be there till the stars don't shine
Till the heavens burst and
The words don't rhyme
And I know when I die, you'll be on my mind
And I'll love you - Always
Bon Jovi, Always

Selalu, teriris, ketika mendendangkan alunan musiknya, mengucap liriknya. Lebih dari sekedar bernyanyi dan selera bermusik. Bon Jovi mampu hadirkan gairah mencinta yang abadi. Berbahagialah orang-orang yang dicintai. Berbahagialah kalian yang mencinta, selalu. Ketulusan yang dihadirkan, merenyuh siapa pun yang mendengar. Harapan dan keinginan ada dalam cinta, selalu seumur hidup. Ketulusan dan kesetiaan mampu mengalahkan kematian bahkan, saya yakin itu, percaya itu. Hiduplah dalam cinta, selalu.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, February 4, 2012

Aku, Kamu, Bebas!

Lagi-lagi menghilang, lagi-lagi tidak menulis. Belakangan ini saya pun agak kesal dengan otak ini. Jarang bisa diajak berdamai, malah lupa akan hal-hal yang terdaulat, disuka. Banyak kegiatan dilakukan, mobilitas makin tinggi. Banyak hal baru didapat, tapi tak pelak beribu macam juga terlewat, terlantar, terlepas. Entahlah, lepas delapan belas bulan ruang hidup baru saya berlangsung. Dalam delapan belas itu saya terus mencoba menjadi manusia. Meraih kembali hak-hak otonom atas diri yang bertanggung jawab.

Bukan menghilang sekedar lari dari hidup, namun benar hidup baru saya jalani. Kecendrungan untuk menyendiri kini dipaksa dikikis, demi tugas. Tugas membentuk manusia. Terdengar sangat sombong dan arogan, namun begitulah. Hari-hari saya kini dihabiskan untuk merumus teori-teori pembentukan manusia. Bahan utama untuk memproses tugas tersebut adalah interaksi sosial. Mungkin poin ini yang membuat jadi berat. Kesulitan karena kecendrungan menikmati diri sendiri sangat mendominasi diri.

Ada satu hal menarik dalam perumusan tersebut yang saya nikmati. Tidak lain pembebasan diri sendiri lah yang sebenarnya sedang saya lakukan. Tentunya proses penciptaan teori tersebut dilakukan bersama dengan mereka yang mau dibentuk, kami bersama menentu kebutuhan, menyusun sintesa. Teori tidak secara arogan saya tentukan sendiri, karena saya tidak berada di luar mereka. Kita ini sama, sama-sama harus keluar dari hegemoni pihak dominan. Bersama melakukan pembebasan.

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, January 13, 2012

Bahayanya adalah, saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang saya suka, apa yang saya ingin.