Wednesday, April 23, 2014

Gagal Eksis

Suatu kali saya tergelitik saat membaca sebuah artikel dalam laman berita www.solopos.com. Pada artikel tersebut, penulis memberikan petunjuk sederhana untuk mengidentifikasi Cabe-cabean. Terma itu memang belum lama memasyarakat, paling tidak awal 2014, digunakan untuk menyebut gadis remaja yang banyak tingkah. Seperti berdandan ala orang dewasa, pacaran sana-sini, hingga jadi hadiah taruhan pebalap motor liar.

Menurut artikel berjudul Begini Cara Mengenali Gadis Cabe-cabean itu , para gadis cabe dapat diidentifikasi melalui penampilan fisik dan perilakunya. Paling awal disebut adalah kawat gigi dan ponsel pintar bermerk Blackberry. Dua ciri ini memang sangat menonjol. Pasalnya, mereka rela memasang pagar kawat meskipun barisan giginya sudah rapih. Sedangkan Blackberry biasanya jadi instrumen andalan cabe-cabean untuk unjuk gigi, dengan memberitakan apapun yang sedang dilakukan dalam akun jejaring sosial dunia maya.

Ciri selanjutnya yakni mengenai riasan wajah. Cabe-cabean dikatakan suka berdandan tak sesuai dengan kebutuhan. Mereka memulas wajah dengan riasan tebal padahal hanya akan pergi ke warung yang jaraknya tak jauh dari rumah. Mereka juga suka menggunakan krim pemutih kulit wajah. Hal ini kemudian menciptakan sebuah gradasi warna pada tubuh mereka, dari muka, leher, tangan dan kaki semua bergerak ke arah yang lebih gelap.

Persoalan warna kulit yang belang-belang dan semakin ke bawah semakin gelap ini mudah saja dimengerti orang lain sebab cabe-cabean suka menggunakan pakaian yang minim. Kaos ketat-kadang tidak berlengan-dan hot pants dapat dikatakan sebagai seragam yang bisa menandai identitas mereka.

Kemudian sebagai remaja, gadis-gadis itu sudah barang tentu suka bergerombol dalam berkegiatan, termasuk ketika mengendarai motor. Mereka biasanya lalu lalang dengan sepeda motor yang ditunggangi tiga orang, sambil asik ngobrol dan tetap sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Gaya berkendara cabe-cabean kadang membuat pengendara lain jengkel. Karena mereka lebih banyak bercanda di jalan tapi juga mengendarai motor dalam kecepatan tinggi. Sehingga tidak jarang justru membahayakan orang lain.

Cabe-cabean juga disebut kerap melakukan aksi penipuan atas identitas fisiknya karena mereka akrab dengan teknologi. Tak banyak memang yang teknologi yang mereka akrabi. Satu yang paling dekat adalah aplikasi penyunting foto yang bisa dipasang di telepon genggam. Karena aplikasi tersebut mampu membuat mereka nampak lebih cantik. Dengan mengubah warna kulit, menyamarkan noda-noda yang tertangkap kamera serta memperbaiki beberapa bentuk wajah yang kurang enak dilihat. Maka dalam foto, gadis cabe bisa hadir sangat berbeda dengan tampilan aslinya.
Tampilan memukau dalam foto tentu jadi instrumen berikutnya yang digunakan dalam memperjuangkan eksistensi diri. Lagi-lagi lewat akun jejaring sosial dunia maya, foto suntingan tersebut disebarluaskan. Dengan begitu, tak sulit mendapatkan perhatian dari banyak orang. Tidak jarang juga cabe-cabean dapat pasangan dari interaksi di akun jejaring sosial.
Bila sudah mendapat pasangan kemudian resmi berstatus pacaran, cabe-cabean segera memenuhi ruang-ruang publik untuk memadu kasih. Mulai dari ruang terbuka hijau, pinggir jalan dan jembatan selalu mereka singgahi. Kebiasaan ini mungkin jadi awal bagaimana gadis cabe pada tingkatan selanjutnya bisa masuk ke arena balap liar. Bukan untuk beradu cepat dalam mengendarai motor, namun sebagai hadiah taruhan bagi pemenang balapan.
Dari sini pula istilah cabe-cabean mengemuka. Konotasinya agak berbeda dengan cabe rawit yang sempat populer sekitar 15 tahun lalu. Anak-anak cabe rawit adalah mereka yang berusia belia tapi punya sederet bakat yang membuat mereka lebih pintar, cerdas dan punya prestasi lebih dibandingkan anak-anak seusianya. Walaupun sama diterminkan dengan cabe, cabe-cabean merupakan sebuah akronim dari Cewek ABG Bisa diEwe. Yang artinya perempuan-perempuan belia, di bawah umur, tapi sudah bisa diajak melakukan aktivitas seksual.
Kemunculan terma cabe-cabean dengan cepat jadi sorotan seluruh media massa. Ditampilkan sebagai sosok muda mengesalkan sebab punya kelakukan berstigma negatif dalam masyarakat. Maka tidak heran, mereka kini jadi bulan-bulanan masyarakat yang menganggap dirinya lebih bermartabat. Diolok-olok, dianggap murahan dan dijauhi dalam pergaulan.
Padahal, cabe-cabean merupakan korban dalam masyarakat yang telah masuk dalam jerat kapitalisme. Yang menciptakan beragam barang penunjang gaya hidup, dari yang paling sederhana hingga sangat rumit. Ditambah peran media massa yang juga menjajakan produk-produk tersebut, menampilkan banyak alternatif, sehingga kaum muda dapat menentukan pilihan atas barang-barang yang akan dikonsumsi.
Dari titik ini kemudian muncul upaya-upaya untuk mendapatkan objek material penunjang gaya hidup tersebut. Sebab, gaya hidup dapat mendefinisikan identitas, sikap, nilai dan posisi sosial seseorang melalui segala properti yang ia miliki. Dalam budaya konsumeris, identitas memang jadi persoalan serius, karena yang dikembangkan melulu identitas hasil konstruksi sosial yang dibuat oleh para elit budaya. Sehingga dalam atmosfer ini, nampak tidak ada ruang bagi kesadaran diri untuk menuju identitas yang otentik.
Pada abad ke-19, Karl Marx mengatakan bahwa pengejaran atas produk-produk penunjang gaya hidup itu sendiri dimotivasi oleh fetisisme komoditas. Fetisisme merupakan sikap mengkultuskan sebuah objek tertentu, lantaran dianggap memiliki kekuatan dari dalam dirinya. Akibatnya, nilai substansial dari sesuatu menghilang, hingga yang ada hanyalah nilai tukar semata. Jika dikaitkan dengan komoditi, maka yang dimaksud adalah pemujaan atas produk-produk yang punya pesona memikat.
Sebagaimana cabe-cabean yang menggunakan segala produk di luar konteks fungsionalnya, mulai dari kawat gigi yang semula hadir untuk merapikan posisi gigi manusia yang kadang tumbuh tak beraturan, bagi cabe-cabean hanyalah seutas kawat yang berfungsi sebagai pemanis diri. Begitu pula Blackberry yang kegunaannya dipersempit sekadar untuk menghidupi akun jejaring sosial dunia maya. Belum lagi riasan wajah tebal yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Seluruhnya digunakan untuk menunjukkan bahwa gadis cabe mampu membeli barang-barang tersebut dan selanjutnya akan menentukan identitasnya.
Beragam perilaku cabe-cabean yang diidentifikasi banyak media massa ini menunjukkan fetisisme komoditas bekerja dalam lingkup penandaan sosial. Kemudian, Jean Baudrillard banyak bicara mengenai hal tersebut, melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh Marx dua abad lalu. Buat Baudrillard dalam aturan nilai penandaan, hanya ada dua keterangan yakni fungsionalitas dan peragaan yang dilebih-lebihkan. Keduanya dapat menjadi bagian dalam sebuah objek yang sama sehingga yang terjadi adalah sebuah keserampangan dengan bungkus fungsionalitas.
Saat peragaan yang dilebih-lebihkan ini menumbuhkan keinginan seseorang terhadap sebuah produk, maka produk tersebut menjadi bersifat fetish. Karena konsep kapitalisme telah melahirkan kebutuhan-kebutuhan palsu dalam diri manusia. Maka, jalan untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi itu adalah dengan menciptakan sibstitusi semacam gaya hidup, estetika, ritual, prestise serta identitas simbolik di balik pemilikan sebuah komoditi. Sehingga kepuasan yang dimiliki pun sebenarnya imajiner.
Dengan begitu, maka jelas bahwa pilihan dan selera manusia sebenarnya sudah dimanipulasi, sehingga sudah tidak ada lagi diri yang otentik. Apa yang dikejar oleh manusia tidaklah didasari oleh kebutuhan melainkan keinginan untuk menduduki posisi sosial tertentu.  
Pola konsumsi yang tidak didasari kesadaran inilah yang telah mengkonstruksi fetisisme. Sedangkan fetisisme bekerja dengan membangun kelas kapital yang berkuasa merencanakan pola konsumsi serta melahirkan kelas menengah dalam jumlah yang banyak untuk mengikuti pola hidup yang dibuatnya. Maka, apa yang dicipta oleh fetisisme sejatinya adalah sebuah diferensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah yang jarak sosial antara keduanya terus dikendalikan oleh kelas atas.
Cabe-cabean bukanlah sampah masyarakat, ia merupakan sebuah fenomena anak muda yang mengalami kegagalan  bereksistensi dan kehilangan otentisitas diri. Apabila perilaku dan masyarakat cabe-cabean makin meluas, para pemilik modal akan makin puas terbahak dan makin banyak generasi muda yang tersungkur.
Kurnia Yunita Rahayu