Saturday, April 14, 2012

Industrialisasi Kultur Akademik

Birokrasi universitas begitu gencar melakukan aksi politis dalam rangka mengintegrasikan psikologi industrial ke dalam nilai, kultur, moral, dan lingkungan kampus.
Tiga buah jarum yang berputar di jam tangan Dina tepat bertengger di angka dua belas. Terik matahari siang itu memanggil-manggilnya untuk segera keluar kelas. Jam kuliah memang sudah selesai. Tanpa ragu, Dina pun melangkahkan kakinya keluar kelas untuk langsung pulang ke rumah.

Dina memang tidak memiliki aktivitas lain di kampus kecuali kuliah. Sudah sibuk dengan kuliah dan segala perintilannya di kelas, ia memilih untuk tidak berorganisasi. Cukup baginya mengaktualisasikan diri di dalam ruang kelas. Hal itu, dijewantahkannya dengan senantiasa mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen-dosen.

Bukan Cuma Dina yang mengambil sikap untuk tidak berorganisasi di kelas. Sebagian besar kawannya memilih melakukan hal yang sama. Alasan mereka pun seragam, ruang kuliah sudah cukup menyita waktu dan keseriusan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah waktu untuk beristirahat sejanak di rumah. Untuk kemudian kembali disibukkan dengan beragam jenis kegiatan yang muncul dari belasan mata kuliah.

Keseragaman sikap yang diambil oleh Dina dan teman-teman sekelasnya, menjadi cerminan kehidupan sebagian besar kehidupan kampus hari ini. Mahasiswa tidak lagi dinamis di luar ruang kelas. Mereka disibukkan dengan kegiatan akademis, namun tidak ada hasil akademis memuaskan, yang dapat dijadikan ukuran kemajuan pendidikan. Rupanya, setelah terbitnya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) di tahun 70-an, muncul lagi berbagai pendisiplinan dan normalisasi di dalam kehidupan kampus.

Pendisiplinan dan normalisasi dijewantahkan dalam tindak represi dan kekerasan akademis, yang bertujuan untuk mengintegrasikan nilai, kultur, moral, dan aturan-aturan yang relevan dengan kepentingan kampus. Seiring dengan makin berkembangnya nilai komersialisasi pendidikan maka kehidupan kampus pun direlasikan dengan kapital.

Hal tersebut dilakukan untuk menjamin situasi temporal berupa stabilitas dalam atmosfer dan situasi sosial kampus. Juga dalam rangka memastikan karakter bawaan dan psikis mahasiswa sebagai pribadi-pribadi yang patuh dan permisif atas segala ketidak adilan. Serta menjadi manusia-manusia yang penuh dengan ketakutan atas ketidakpastian masa depan, namun tetap kreatif agar dapat menunjang produktivitas yang dibutuhkan oleh kapital.

Dalam tataran pelaksanaan, proyek-proyek pendisiplinan di universitas hadir dalam beberapa rupa. Pertama, pembatasan waktu studi. Secara ekonomis, hal ini bertujuan menciptakan produk sarjana dengan kompetensi tertentu secara efisien. Mahasiswa dicipta dalam waktu produksi sesingkat mungkin, hingga menjadi orang-orang yang kompetitif dalam pasar kerja. Serta mendorong pola interaksi sosial dan kultur studi dalam universitas menjadi lebih teralienasi, dan terisolasi satu sama lain. Dalam kondisi normal seperti ini, kontrol dan dominasi dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

Kedua, perubahan kurikulum dan durasi belajar. Dengan menerapkan metode belajar baru yang lebih padat, kemudian membuang beberapa mata kuliah yang dianggap tidak produktif dan hanya memberatkan beban sks. Ketiga, digunakannya metode-metode kontrol secara lebih terintegrasi dan tersentral seperti: KRS elektronik, pengintegrasian sistem perbankan, sampai pada tindak penyusupan intelijen sebagai dosen atau mahasiswa.

Yang terakhir adalah penghapusan otonomi dan hak-hak mahasiswa. Dalam tataran ekstrim, kampus dapat melakukan pelarangan berorganisasi atau pemberangusan serikat mahasiswa. Sehingga kooptasi dalam pemerintahan mahasiswa dapat dilakukan. Pemanfaatan ruang dan waktu akademik resmi pun bisa diperketat. Hal tersebut tentunya merupakan ekspresi terjelas dalam melucuti kebebasan mahasiswa dan memperkuat alienasi dalam relasi sosial sehari-hari.

Jika keadaan yang dibentuk oleh kampus sudah merancang mahasiswa semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya, maka tidak heran jika minat berorganisasi pun menurun. Kehidupan berorganisasi dipandang sebagai hidup yang abnormal, dan akan menghambat pencapaian masa depan cerah setelah lulus dari universitas.

Kurnia Yunita Rahayu

Menolak Bias Gender dalam Pendidikan

Nyatanya, bias gender belum hilang meski akses pendidikan sudah tidak memandang seksualitas.
Beberapa hari ini tidak terlihat senyum di wajah Nuniek. Ia risau memikirkan masa depannya. Dia sudah diterima di Jurusan Teknik Mesin sebuah perguruan tinggi negeri. Sayang, orang tuanya tidak menyetujuinya. Padahal surat kelulusannya masuk perguruan tinggi lewat jalur minat dan bakat sudah diterima. Harapan Nuniek untuk dapat mengaktualisasikan minat dan bakatnya, harus segera dikubur.

Orang tua Nuniek bersi keras ingin anaknya masuk jurusan akuntansi. “Biar bisa kerja di bank, dan punya citra perempuan yang cantik dan baik,” tutur ayah Nuniek. Sedang Ibu, punya argumen yang tak mau kalah kuat dari Ayah. “Perempuan itu sudah selayaknya bekerja di tempat yang bersih, bukan berurusan dengan oli, ” ucap Ibu.

Apa yang dialami Nuniek, ternyata juga terjadi pada murid-murid sekolah di Kanada pada sekitar abad ke-17. Di masa itu, terdapat pembatasan terhadap anak perempuan untuk memilih mata pelajaran. Matematika, teknik, dan beberapa mata pelajaran lain yang berhubungan dengan ke-lelaki-an dilarang diambil.

Kenyataan adanya diskriminasi tersebut membawa reaksi perlawanan kaum feminis. Mereka, menyakini pendidikan sudah semestinya terbuka untuk semua orang. Tidak terbatas jenis kelamin dan gender. Mereka memadukan studi feminis dan studi pendidikan, maka jadilah sebuah gagasan yang diberi nama Pedagogi Feminis.

Pedagogi feminis yang mereka gagas ini tidak terbatas hanya pada isu gender, seperti kebanyakan perspektif feminis lainnya, tetapi juga membahas keseluruhan ketidakadilan sosial. Medan kajian dan penerapan pedagogi feminis berada ruang kelas. Hal ini karena ruang kelas diyakini sebagai ruang yang tepat untuk memberikan pemahaman tentang tentang realitas sosial, termasuk ketidakadilan

Salah satu bentuk diskriminasi yang dibahas ialah pencampur-adukan jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin adalah hal kodrati yang tak bisa diubah. Sementara gender, merupakan hal yang dijadikan parameter pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Mengingat Indonesia adalah negara yang multikultur dan multietnis, siswa sangat mungkin berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda. Namun, perspektif pedagogi feminis justru berusaha mengakomodir itu semua.

Kehadiran bias gender dalam dunia pendidikan tidak lain merupakan buah dari proses konstruksi sosial. Salah satunya lewat kurikulum pendidikan. Contohnya, pada buku-buku teks sekolah dasar tertulis ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke pasar, Ayah setiap hari bekerja, ibu tugasnya memasak. Melalui berbagai pendekatan, paradigma tersebut dilanggengkan. Sehingga hal-hal yang sebenarnya tidak adil, menjadi sesuatu yang wajar karena sudah terlalu lama diterapkan.

Sejak zaman kemunculannya hingga konteks hari ini, pembahasan pedagogi feminis masih sangat penting untuk dikaji dan diterapkan. Karena ternyata masalah bias gender belum hilang, meski akses pendidikan bagi perempuan sudah terbuka lebar. Sayangnya, pedagogi feminis tidak mungkin berjalan apabila guru tidak memiliki perspektif terkait keadilan sosial.

Oleh karena itu, untuk membentuk guru-guru yang memiliki perspektif keadilan sosial, kampus-kampus LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)-lah kunci awalnya. Di tengah karut-marut masalah pendidikan di Indonesia, LPTK semestinya memang memiliki determinasi konkrit, untuk mengambil peran besar dalam upaya perubahan masyarakat.

Kurnia Yunita Rahayu