Saturday, August 28, 2010

Nyai Ahmad Dahlan dalam Pendidikan dan Perjuangan kemerdekaan

Wanita yang cerdas dan berwawasan luas, istri yang selalu setia mendampingi suaminya dalam berjuang, serta seorang hamba Allah yang senantiasa bersujud kepada-Nya. Bicara tentang wanita, perjuangan dan pendidikan, tidak sepatutnya kita sebagai generasi muda melupakannya. Ya, dialah Siti Walidah Binti Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Haji Muhammad Hasan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol atau lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan.

Siti Walidah dilahirkan pada tahun 1872 dari rahim seorang ibu yang dikenal dengan nama Nyai Mas, istri dari Kiai Haji Muhammad Fadli, di kampung Kauman, Yogyakarta . Sebagai putri dari seorang ulama yang disegani masyarakat, terlebih lagi ayahnya sebagai Penghulu Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat (nama Yogyakarta waktu itu) menjadikan ia sebagai putri “pingitan”. Kehidupannya ada di dalam lingkungan agamis tradisional, yang menyebabkan pergaulannya sangat terbatas dan tidak boleh mengikuti pendidikan formal. Belajar membaca Al-quran dan ilmu agama saja sudah cukup bagi kaum wanita pada waktu itu. Pendidikan yang didirikan oleh Belanda pun terbatas pada golongan-golongan tertentu.

Walau dengan keadaan yang sangat terbatas itu, beliau tetap memanfaatkannya dengan baik. Beliau adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu agama Islam. Hampir setiap hari, seperti penduduk-penduduk kampung Kauman lainnya Siti Walidah belajar Al-quran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon).
Keinginannya untuk terus belajar ilmu agama menjadi sempurna ketika ia menikah dengan sepupunya, Muhammad darwis, atau yang lebih dikenal dengan nama KH Ahmad Dahlan. Suaminya yang seorang pendiri organisasi Muhammadiyah, organisasi yang aktif dalam pergerakan nasional Indonesia dalam bidang pendidikan membawanya kepada pergaulan dengan para pelopor pergerakan nasional seperti Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Bung Karno, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Dengan meluasnya pergaulan dengan para tokoh pergerakan nasional tersebut, Nyai Ahmad Dahlan menjadi seorang yang berwawasan luas dan berpikiran maju.

Seiring dengan bergejolaknya hasrat para wanita di awal abad ke-20 yang merasa tidak adanya persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum wanita, maka Nyai Ahmad Dahlan pun ikut tampil di dunia emansipasi wanita, sebagai salah satu dari sekian banyak wanita Indonesia yang turut memperjuangkan kesetaraan hak dalam pendidikan. Melihat kenyataan tersebut beliau mulai memikirkan cara-cara untuk memperjuangkan hak-hak para wanita.

Dimulai dengan mengikuti jejak suaminya, KH Ahmad Dahlan, dalam menggerakkan Muhammadiyah untuk menambah ilmu, pengalaman, serta amal baktinya. Beliau mendirikan sebuah perkumpulan pengajian bernama “Sopo Tresno” dalam bahasa Indonesia berarti “Siapa Cinta” pada tahun 1914. Perkumpulan ini tidak hanya membahas hal-hal mengenai agama Islam, tetapi juga mengajarkan pentingnya pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Pengajian Sopo Tresno belumlah menjadi sebuah organisasi dan hanya sebuah kelompok pengajian biasa karena belum mempunyai anggaran dasar, anggaran rumah tangga, serta peraturan-peraturan lainnya.

Kegiatan Sopo Tresno diisi dengan pengkajian agama yang diisi secara bergantian oleh Nyai Ahmad Dahlan dan KH Ahmad Dahlan. Beliau beserta suami, menyampaikan dan membahas ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis yang berisi tentang hak dan kewajiban seorang wanita. Sehingga dengan cara ini diharapkan para wanita dimulai dari anggota –anggota Sopo Tresno akan lebih memahami dan timbul kesadaran akan kewajibannya sebagai wanita, istri, hamba Allah dan warga negara Indonesia.

Dalam sebuah pertemuan di rumah Nyai Ahmad Dahlan yang dihadiri oleh para pengurus Muhammadiyah timbullah sebuah gagasan untuk menjadikan Sopo Tresno sebagai organisasi wanita yang mapan. Dan akhirnya atas usulan Haji Fakhruddin, digantilah nama Sopo Tresno menjadi “Aisyiyah”. Maka pada tanggal 22 April 1917, organisasi Aisyiyah diresmikan dan diketuai oleh Siti Bariyah. Upacara peresmian dilaksanakan bertepatan dengan diselenggarakannya Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang untuk pertama kalinya dilaksanakan oleh organisasi Muhammadiyah secara besar dan meriah. Lalu pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah sebagai lembaga khusus perempuan di bidang pendidikan.

Dalam organisasi ini, Nyai Ahmad Dahlan memperkenalkan pemikiran bahwa wanita pun memiliki hak untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Beliau juga turut menentang praktik kawin paksa. Pada masa itu, pemikiran Nyai Ahmad Dahlan tidak mudah diterima oleh masyarakat luas. Jalan yang ditempuhnya untuk mengajarkan pemikiran baru kepada wanita bisa dibilang penuh dengan tantangan. Dengan semangat menyetarakan hak wanita dalam hal pendidikan khususnya, Nyai Ahmad Dahlan dan para pengurus Aisyiyah lainnya terus berjuang tanpa kenal lelah untuk meruntuhkan kepercayaan kolot yang menyebut aksi mereka “melanggar kesusilaan wanita”. Perjuangannya dan para pengurus Aisyiyah lainnya pun membuahkan hasil, sedikit demi sedikit masyarakat mulai menerima pemikirannya.

Nyai Ahmad Dahlan memilih untuk mengajari masyarakat dengan karya yang nyata. Beliau mendirikan sekolah-sekolah putri, kursus ilmu agama, serta terus menjalankan program pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu didirikan juga rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah untuk kaum wanita.
Usaha-usaha Nyai Ahmad Dahlan ini didukung penuh oleh Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang sudah mengakar di masyarakat bahkan disebut sebagai organisasi pembaharu, Muhammadiyah selanjutnya mulai berperan dalam mengembangkan dunia pendidikan bagi kaum wanita, merespon isu-isu tentang wanita, dan memberdayakannya dalam bidang pendidikan dan pelayanan sosial.

Selanjutnya atas perannya yang begitu besar terhadap Aisyiyah dan Muhammadiyah, beliau disebut sebagai Ibu Aisyiyah dan juga Ibu Muhammadiyah.
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945-1946 beliau terus melakukan perjuangannya untuk bangsa Indonesia walaupun dalam keadaan sakit-sakitan. Perjuangannya semata-mata dilakukan agar bangsa Indonesia khususnya kaum perempuan lebih maju dalam bidang pendidikan, sosial, dan terbebas dari penjajahan. Beliau membuktikan bahwa dengan semangat Islam, dapat mendorong kemerdekaan serta majunya kaum wanita Indonesia.

Perjuangan beliau dalam menyadarkan perempuan tentang pentingnya arti pendidikan dalam kehidupan, serta turut mendidik bangsa Indonesia dalam melawan penjajah merupakan alasan yang sangat tepat bagi pemerintah untuk menganugrahkan bintang anumerta pada Nyai Ahmad Dahlan dan mengelompokkan beliau sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan surat Presiden no. 042/TK/TH 1971 tanggal 22 September 1971.

Wednesday, August 11, 2010

Aku dan keinginanku

Cukup bagiku melihat kebahagiaan kalian:
Senyum yang melebar,
Sorot mata yang berbinar,
Tawa riang yang terdengar,
Celoteh lucu yang terlontar.
Cukup bagiku merasakan semuanya dengan memperhatikan hal-hal itu tanpa ikut serta melakukan semua itu.
Karena aku, harus tetap pada jalanku. Biarlah aku mencari jati diriku. Dan tidak terlambat bagiku, memahami siapa diriku.

--aku, menyikapi keinginanku

Monday, August 9, 2010

UNJ

UNJ, memang sama sekali bukan universitas impian saya. Namun saya berdoa, semoga disana terdapat jalan-jalan terbaik untuk meraih semua impian saya...

--aku, diterima di Universitas Negeri Jakarta jurusan pendidikan sejarah