Sunday, November 25, 2012

Manusia, Makhluk yang Berpikir


Dengan segenap langkah pasti Ria keluar dari rumah. Kali ini, ia sudah tak peduli dengan puluhan kilometer yang mesti ditakluk, ia pun berdamai dengan dingin angin malam sambil memacu sepeda motor demi bertemu sang kekasih. Setelah seharian mengadu marah dengan lelakinya, Ria tak kuasa menahan asa, tanpa ragu perempuan dua puluh tahunan ini menuju kediaman pujaan hatinya.

Sepanjang jalan, pikiran Ria melayang. Konsentrasinya tidak tertuju pada tumpukan aspal yang dilintas, otaknya tak henti memikirkan Andi, kekasih yang sedang ditujunya. Masih terngiang makian Andi yang masuk ke telinga Ria atas prakarsa telepon genggam. Tidak kuasa mengacuhnya, air mata Ria berllinang, mengiring perjalanannya.

Tidak lebih dari waktu normal, Ria telah sampai di depan pintu pagar rumah Andi. Dengan gontai diselipi sedikit rasa takut, ia membuka pagar besi yang sudah hampir lima tahun yang lalu, sejak pertama kali ia singgah masih lekat warna catnya. Sambil menatap penuh harap kekasihnya keluar dari rumah tanpa ia harus mengetuk pintu selanjutnya.

Benar saja, dalam hitungan detik, muncul batang hidung Andi dari balik pintu. Ternyata ia sudah mengamati kedatangan Ria dari jendela kamarnya di lantai atas. Tahu apa tujuan kekasihnya datang, Andi mengajak Ria untuk pergi ke taman.

Tidak disangka, lokasi yang dipikir oleh Andi bisa memuncul khidmat dengan suasana sunyi untuk menyelesaikan masalah mereka ramai sekali malam ini. Puluhan muda-mudi tumpah ruah menikmat malam sambil bercengkrama, bernyanyi, bahkan ada yang berolah raga, di bawah temaram sinar bulan.

Namun ramai biarlah menjadi milik taman, malam tetap milik mereka berdua. Di sudut kiri taman Ria dan Andi duduk termangu. Saling menunggu salah satu memulai. Andi, mengawali pembicaraan dengan logikanya yang dibalut nada suara menjulang tinggi. “Ini sudah malam, jarak rumahmu puluhan kilometer dari sini,” katanya. “Saya sudah bilang ditunggu saja sampai besok, kan masih ada waktu biar kita pun lebih tenang.”

Sementara Andi sibuk beretorika, Ria bukan hanya tak kuasa menahan air matanya. Ia pun tidak bisa menahan laju caci maki dari lisannya. Buatnya, Andi sudah cukup keterlaluan menggampangi semua permasalahan yang bagi Ria mesti segera diselesaikan. Bermodal watak keras kepala, perempuan manis berambut sebahu ini terus saja melancarkan aksi protes atas sikap lelakinya yang juga tidak mau kalah.

Geram mendengar ocehan Ria yang bagi Andi sama sekali tidak masuk akal, hanya menimbang perasaan, ia pun mengangkat tangan kanannya. Nampak dari pandangan Ria tatapan Andi yang begitu nanar dengan mata yang mulai memerah. Tangan besar itu, belum turun dari sejak ia mengangkatnya beberapa detik yang lalu. Sambil menahan marah, pening menghampiri Andi, ia hampir saja mendaratkan sebuah tamparan di pipi Ria.

Untungnya, ada jeda sejenak dalam otak Andi setelah menerima stimuli marah dari Ria. Buat George Herbert Mead, Filsuf cum Sosiolog asal Amerika, manusia punya kapasitas untuk berpikir menentukan tindakan setelah mendapatkan sebuah masukan dari luar. Tidak seperti kaum behaviorisme klasik yang menyatakan manusia begitu saja mengeluarkan respon ketika mendapat stimulus tanpa ada proses berpikir.

Menurut Mead, proses berpikir bukan sekadar bagian dari kerja mental yang melibatkan otak individu. Namun, tahap ini justru ditentukan oleh proses sosial yang dialami manusia. Andi mengejawantahkan “dirinya” dalam bentuk lelaki yang sudah ingin menampar perempuannya harus berhadapan dengan definisi dirinya secara sosial.

Di dalam masyarakat, Andi adalah seorang lelaki, kekasih Ria. Untuk posisi itu, sudah dikonsensuskan bahwa sudah semestinya lah ia bertindak sebagai seorang kuat yang melindungi perempuannya, bukan malah menyakitinya. Terlebih, dalam konteks budaya Negara tempat tinggal mereka berdua, posisi perempuan cenderung berada di bawah lindungan dan kungkungan kaum Adam. Makhluk seperti Ria dipandang hanyalah seonggok lemah yang hadir sebagai pelengkap bagi Andi. Makanya, akan terjadi penolakan dari masyarakat bila Andi melanjutkan aksi menampar pipi Ria, apalagi di depan khalayak.

Lewat teori interaksionisme simboliknya, Mead ingin menunjukkan bahwa manusia punya kapasitas hebat untuk berpikir. Namun, kebisaan ini hanya dapat muncul dan dilakukan bila manusia berinteraksi dengan individu lain di dalam konteks sosialnya. Sejenak ia mengesahkan bahwa manusia tidak akan mampu melakukan apa pun tanpa manusia lain, bahkan hal yang paling fundamen: mendefinisikan diri.

Namun, dalam menjelaskan proses berpikir, rasanya Mead mengalpakan sesuatu yang berdiri kuat juga dalam mempengaruhi manusia. Yakni, hal-hal yang bersifat transenden. Seperti sebelumnya pernah dirumus oleh seorang berkebangsaan Austria Sigmund Freud. Ia membagi  kesadaran manusia dalam tiga ranah: Impuls Devian, Ego, dan Superego. Hampir serupa dengan Mead, konsep “I (self)” bekerja layaknya Impuls Devian (ID) dimana manusia ingin tampil sebagai dirinya sendiri atas keingingan-keinginannya. Kemudian ranah itu biasanya tidak berjalan mulus karena mesti berhadapan dengan beberapa hal yang sudah dikonstruksikan secara sosial, yang oleh Freud dimasukkan dalam kategori ego. Dan lebih dari itu, terdapat superego, domain transendental yang biasanya paling kuat memengaruhi manusia. Karena bukan tidak mungkin Andi mengurungkan niat untuk menampar Ria bukan saja karena kode budaya, tetapi ada kode agamis yang banyak bermain disana. Terlebih, Andi dan Ria adalah sepasang beragama yang juga hidup di lingkungan yang banyak mengagungkan hal-hal yang sifatnya KeTuhanan.

Kurnia Yunita Rahayu