Friday, June 21, 2013

Menjadi Guru Inspiratif

Judul               : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis            : J. Sumardianta
Penerbit          : Bentang
Tahun Terbit   : April 2013
Halaman         : 303 halaman

Masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.

Sejak diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005, khalayak Indonesia mengenal konsep profesionalisme atas guru. Bersamaan dengan itu pula, muncul paradigma baru terhadap guru, sebagai tenaga profesional. Demi meraihnya, profesi berciri khas keteladanan itu kini mesti berhadapan dengan sejumlah persyaratan untuk mencapai profesionalitasnya.

Paling tidak, UU meminta guru untuk memenuhi kualifikasi akademik serta beragam kompetensi pendukungnya. Seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang disahkan dalam selembar sertifikat. Untuk menjamin ketercapaiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menciptakan rumusan jitu: sertifikasi dan pendidikan profesi guru.

Program yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 itu dijadikan senjata pamungkas dalam menjawab kebutuhan akan profesionalitas guru. Sebab, jalur menuju profesi guru ikut berubah bersama lahirnya agenda ini. Sehingga tidak boleh ada guru yang alpa mengikutinya. Bila terpaksa itu terjadi, resiko ditanggung sendiri. Ia dinyatakan tidak profesional dan tak mendapat gaji tambahan.

Ingin segera menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu, persiapan dan penyelenggaran program tersebut dilakukan. Kementerian menyediakan jalur sertifikasi untuk mereka yang sudah lima tahun mengajar di sekolah. Iming-iming uang tunjangan sebagai imbalan profesionalitas pun disambut baik oleh sebagian besar guru. Maklum sudah puluhan tahun guru Indonesia hidup dalam belenggu kemelaratan.

Namun, kabar ini segera ditolak oleh Y. Sumardiyanto, pengajar di SMA Kolese John De Britto Jogjakarta. Bagi guru yang sudah 20 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan ini, masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.

Lewat buku perdananya Guru Gokil Murid Unyu, guru yang menggunakan nama pena J. Sumardianta ini mengatakan seberapa pun tinggi kompetensi guru, ia tidak akan mendapat perhatian murid bila tidak bisa menjadi inspirasi dengan menjadi teladan. Bagaimana seorang guru bisa menjadi sumber inspirasi? Minimal, ia tidak mendominasi kelas dengan berceramah sepanjang hari. Senantiasa menjadikan murid sebagai subjek pada kegiatan belajar mengajar.

Untuk memosisikan murid sebagai subjek, Sumardianta mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak dapat terlaksana selama guru-guru masih mengikuti kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah. Sebab, sarat dengan otoritas kelompok dominan yang jelas-jelas bertujuan menunadayakan siswa bukan membebaskan.

Hal ini dapat ditinjau dari pelaksanaan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Kurikulum yang mengklaim diri memiliki semangat pemberian otonomi kepada guru dalam mengembangkan bahan ajar terbukti hanya bualan. Sebab, pemerintah masih memberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Maka, guru dan murid perlu untuk membongkar muatan ideologis yang ada dalam kurikulum dengan melakukan pendidikan yang membebaskan.

Sebagai konklusi atas pendidikan yang membebaskan, Sumardianta kemudian berpulang pada gagasan Paulo Freire. Pedagog asal Brazil yang mengajukan pola pendidikan pemberdayaan manusia melalui pertumbuhan kesadaran. Freire sendiri membagi kesadaran ke dalam tiga ranah. Kesadaran magis, naif, dan kritis.

Manusia berkesadaran magis tidak dapat menemukan kaitan antara ketidakberdayaan dengan struktur sosial ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melingkunginya. Pandangan ini bercorak fatalistis, dengan memosisikan sesuatu yang ada di luar diri manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Seorang fatalis menganggap seluruh hal yang tidak mampu dilakukannya merupakan kodrat Tuhan yang tidak bisa diubah.

Dalam kesadaran naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri bila terjebak dalam situasi keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Sedangkan manusia berkesadaran kritis akan mampu membongkar penyebab keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang terselubung oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagai tindak lanjut, guru punya tugas utama untuk menuntun tiap siswanya menapaki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Untuk mencapai tingkatan kesadaran kritis, mesti dilangsungkan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan murid. Kondisi yang sepenuhnya lepas dari pengendalian satu sama lain. Maka, dalam situasi seperti ini, guru sudah bertransformasi menjadi pendengar yang senantiasa memperhatikan, bukan guru berwatak konvensional yang terus menerus memberi instruksi yang mampu mengubur kreativitas dan karakter murid.Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang kritis sebelum menularkannya kepada para murid.

Poin utama dalam rangka menumbuhkan kesadaran kritis serta karakter yang kuat dalam diri tiap murid adalah dengan memberikan mereka pengajaran yang bermakna atau lebih dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual. Mewujud hal ini, guru mestilah senantiasa memperkaya diri dengan beragam pengetahuan agar bisa merumus pengetahuan yang baru. Hingga pada tingkatan selanjutnya mampu mengaitkan pengajaran yang diberikan kepada kebutuhan hidup sehari-hari.

Dicontohkan oleh J. Sumardianta, sekolah tempatnya mengajar selalu mengadakan program live-in bagi murid-muridnya. Daerah-daerah berpenduduk miskin biasa jadi tujuan. Disana lah murid-murid SMA Kolese John De Britto--yang sebagian besar berasal dari kelas menengah atas--diasah karakternya dengan membiarkan mereka belajar langsung dengan hidup bersama penduduk setempat selama beberapa waktu. Dengan begitu, murid akan mendapatkan pelajaran dari langsung dari kehidupan yang mampu memberikan mereka lebih dari inspirasi.

Buat Sumardianta, untuk menciptakan pendidikan yang ideal, penekanannya terletak pada guru. Dalam hal ini, ia memercayakan perubahan dari dalam diri guru itu sendiri. Yakni dimulai dengan mengubah paradigma mengajar bukan sekadar untuk bekerja mencari nafkah melainkan belajar untuk meraih gelar S-4 (Sukses Sekolah Sejahtera Selamanya). Maka, dibutuhkan guru berkarakter altruis, yang sepenuhnya mengabdi kepada murid.

Perihal inspirasi juga menduduki posisi penting dalam gagasan yang dikemukakan Sumardianta. Oleh karena itu, guru mesti rajin membaca untuk mendapatkan referensi yang menginspirasi dan menuliskannya sebagai bentuk pengejawantahan pengetahuan yang sudah didapat.

Kemampuan menulis memang menjadi andalan guru yang satu ini. Melalui tulisan-tulisannya, ia menunjukkan kepada para murid bahwa dirinya merupakan sosok yang mampu menginspirasi. “Masing-masing guru harus punya nilai lebih. Kalau kita menjadi guru yang datar-datar saja, mohon maaf, tidak bakal ditengok siswa,” tulis Sumardianta di bagian akhir bukunya.

Saking gandrung dan percayanya pada hal-hal yang menginspirasi, Sumardianta membuka seluruh tulisan yang ada di buku ini dengan beragam kutipan dan kisah inspiratif. Baik yang bersumber dari dalam negeri, luar negeri, tokoh-tokoh dunia, hingga kisah-kisah yang diambil dari kitab suci lintas agama. Menjadi satu karakter yang menarik bila dikemudian hari J. Sumardianta menjadikan hal ini sebagai ciri khas tulisannya.

Buku ini cocok dibaca untuk siapa saja, terutama para guru dan calon guru yang haus inspirasi. Lewat tulisan-tulisannya, Sumardianta berhasil membuat pembaca terinspirasi untuk menjadi guru yang bijaksana dan mengabdi kepada murid.

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, June 14, 2013

Raih Prestise Lewat Sabung Ayam

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, seorang Antropolog asal Amerika Serikat “digerebek” di sebuah desa di Bali. Konon, ia yang kala itu ditemani istrinya, dikejar-kejar oleh segerombol polisi, karena ikut menonton warga setempat yang sedang menyabung ayam. Meski mencoba berkelit, polisi tak henti menginterogasi. Hingga identitasnya terungkap, lelaki yang kemudian dikenal bernama Clifford Geertz beserta istri adalah profesor yang ingin mengamati praktek-praktek sosial masyarakat di Bali, guna memahami sistem nilai dan pengetahuan yang berkembang disana.

Ayam Jago, dan acara Sabung-Ayam segera jadi perhatian Geertz. Pasalnya, kebiasaan masyarakat Bali yang satu ini jarang sekali dilirik oleh para ilmuwan. Padahal, menurutnya “seperti apa” orang Bali sesungguhnya mampu diungkap lewat berbagai unsur yang terkandung dalam sabung ayam.

Segera saja ia mengidentifikasi satu persatu makna yang ada di balik bentuk fisik sabung ayam dan unsur-unsurnya. Geertz memulainya dengan Ayam Jago (Jantan). Spesies hewan yang dijadikan petarung di arena sabung ini merupakan ungkapan simbolik atas ego lelaki yang narsistis terungkap dalam pengertian Aesopia. Kemudian, ayam itu adalah ungkapan dari apa yang dianggap oleh orang Bali sebagai pembalikan langsung, secara estetis, moral, dan metafisis, dari status manusia, yakni kebinatangan. Makanya, beberapa praktek budaya masyarakat Bali banyak melakukan hal tersebut, ritual simbolik sebagai perlambang untuk meninggalkan tingkah laku yang serupa dengan hewan. Semisal, mengikir gigi agar tidak nampak seperti taring, menjadi ritus pokok bagi remaja yang sudah memasuki masa pubertas.

Sabung Ayam bukan cuma soal keberadaan hewan, ritus ini dilakukan oleh masyarakat Bali dengan sebuah sistem yang ketat. Untuk hal ini, Geertz mengatakan bahwa orang Bali tidak pernah melakukan segala sesuatu secara sederhana, sehingga selalu berusaha membuat sesuatu secara rumit. Salah satunya mewujud dalam peraturan tentang taruhan. Berdasarkan hasil penelitian Geertz, terdapat dua macam pertaruhan. Pertama, taruhan pusat tunggal yang bersifat kolektif. Taruhan ini statusnya resmi, dilengkapi dengan ragam peraturan, dibuat antara kedua pemilik Ayam Jago, dengan wasit sebagai pengawas dan saksi publik, dan tentunya nilai taruhan relatif besar. Kedua, taruhan pinggiran di sekeliling ring, sifatnya individual, spontan, ada tawar menawar antar penonton.

Adanya sistem tersebut, memungkinkan kemunculan pertarungan dengan nilai taruhan yang tinggi. Sehingga tiap peserta sabung ayam mesti mempersiapkan binatang-binatang yang lebih baik, perawatan ekstra, nafsu berkelahi, dsb. Sederhananya, harus ada usaha lebih untuk membuat pertandingan menjadi benar seimbang. Untuk mencipta pertandingan yang menarik, pertandingan yang “dalam”.

Meski keuntungan besar jadi taruhan, hal ini bukan fokus dari orang Bali ketika menyabung ayam. Terdapat aroma solidaritas yang lebih kuat dari perihal ekonomi. Mereka datang secara bersama-sama untuk mencari kenikmatan, masuk ke dalam hubungan yang lebih menjanjikan sebuah kesakitan nantinya. Sebab, bukan lagi material yang jadi ukuran, kini dalam pertandingan mendalam, yang dipertaruhkan adalah penghargaan, kehormatan, martabat, kemuliaan, dan status.

Dalam sabung ayam, hirarki status orang Bali dipindah ke dalam susunan pertandingan. Sebab, seperti yang dituliskan Geertz, secara psikologis hal itu adalah representasi Aesopian dari kedirian jantan yang ideal, agak narsistis. Sementara secara sosiologis, sabung ayam menjadi representasi yang sama-sama Aesopian dari bidang-bidang ketegangan kompleks yang disebabkan oleh interaksi yang terkendali, membisu, seremonial, namun semua itu dirasakan mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ayam jantan bisa menjadi pengganti kepribadian milik mereka, cerminan binatang dari bentuk psikis. Namun, sabung ayam dengan sengaja dibuat sebagai matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok-kelompok yang bersilangan, bertumpang tindih, sangat terpadu, seperti desa, kelompok marga, persatuan irigasi, dan kasta.

Dengan sangat apik, Geertz mendeskripsikan bagaimana sistem makna yang dilahirkan dari ritus sabung ayam menentukan perilaku masyarakat Bali. Berkat sabung ayam, ikatan kekerabatan Orang Bali makin erat, karena tiap orang dari tiap marga pasti mendukung Ayam Jago dari kelompok marganya. Lebih dari sekadar mendukung, mereka juga pasti ikut serta dalam taruhan terpusat.

Namun, di balik ini, rasanya Geertz terlalu asyik mengidentifikasi simbol kemudian memahami sistem makna di baliknya. Mulai dari ayam, setelah bicara jauh soal ayam dan makna yang dibawanya kepada masyarakat Bali, ia tidak menjelaskan mengapa hewan tersebut menjadi penting di Bali. Baik mengguna perspektif fungsional atau doktrin agama, tidak terdapat penjelasan mengenai kemunculan ayam sebagai hewan yang merepresentasi kekuatan lelaki.

Kemudian, Geertz nampaknya membiarkan penelitiannya lepas dari unsur politis. Sabung ayam ia sebut mampu mengungkap identitas orang Bali, sekaligus merepresentasi kekuatan kaum lelaki. Ada kecendrungan meminggirkan kaum perempuan, yang tentunya sejalan dengan budaya patriarki dan sistem kekerabatan patrilineal yang kuat mengakar di Bali.

Terakhir, buat Geertz, sabung ayam adalah hubungan-hubungan status. Dan hubungan-hubungan status adalah soal hidup dan mati bagi masyarakat Bali. Prestise adalah sebuah bisnis teramat serius yang paling mencolok di Bali, baik di desa, keluarga, ekonomi, maupun negara. Hal ini merupakan sebuah perpaduan khas peringkatan gelar Polinesia dan kasta-kasta Hindu, dimana hierarki kebanggaan merupakan tulang punggung moral dari masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, tentunya ada kecendrungan untuk melanggengkan dominasi kasta dominan dalam pertandingan sabung ayam. Karena secara teknis pertandingan, tidak ada Ayam Jago dari kasta berbeda dijadikan lawan tanding. Ayam yang kuat, dirawat secara khusus, dan berpotensi untuk menang hanya akan muncul dari kelompok kasta yang mapan secara keuangan. Maka soal status dan prestise yang membanggakan, tidak akan pernah mampir di kelompok kasta yang punya tingkat kesejahteraan pas-pasan.

Kurnia Yunita Rahayu

Sunday, June 9, 2013

Kidung Cinta Bapak Amir



Kidung cinta Bapak Amir
Sayu-sayu terdengar dari balik jendela timur.

Kidung cinta Bapak Amir
Mengendap-endap dalam kepulan asap dari dandang yang dipakai ibu memasak nasi.

Kidung cinta Bapak Amir
Ah, tidak terdengar romantis sama sekali.

Seperti sajak murahan yang dibuat untuk menunjukkan bahwa ia berada di titik produktif.

Hahaha, Bapak Amir ingin nampak produktif? 

Darimana, bahkan kemampuan dasar untuk membuat penisnya berdiri saja tak dimiliki, apalagi buat menyembur sperma ke liang vagina ibu, menyentuh titik terdalam dan mencipta orgasme?

Hahaha, pecundang betul si Bapak Amir.

Eits, sebentar, sebentar, darimana pula aku punya muka untuk mempecundangi Bapak Amir secara psikis karena ia tak bisa ereksi? Tidakkah aku malu padanya, bahkan aku dan semua orang memanggilnya Bapak Amir. 

Si Amir sudah berumur delapan pula tahun ini.

Aih, aih, kalau begitu bisa gagal upayaku mempecundanginya.

Diam-diam niatanku memang sangat besar.

Maka selamatlah Bapak Amir, sesegera mungkin ia bisa melanjutkan kidungnya.

Kidung cinta penuh asa untuk keluarga.

Kidung cinta penuh mesra dalam dekap semesta.

Hahahahahaha, maaf, maaf, Bapak Amir, aku tidak bisa menghalang tawa untuk keluar dari mulutku.

Pipiku sudah terlampau menggelembung saat menahannya, salah-salah nanti banyak liur yang muncrat bila aku memaksa tutup mulut.

Amir itu kan muncul karena teknologi. Entah benih darimana delapan tahun lalu dibenamkan ke dalam rahim ibu. Dengan suntikan besar yang terlampau menyakiti ibu saat ditusukkan ke tubuhnya.

Dan kau, Bapak Amir, setuju setengah hati waktu diminta menandatangani dokumen pelegalannya. 

Kamu terlalu sentimentil waktu itu. Ingin sekali punya anak.

Entah apa alasanmu bersikukuh ingin beranak saat itu. Padahal ibu tidak ambil pusing, meski tidak acuh pula.

Kamu terlalu memaksa, demi prestise, demi harga diri!

Bahkan perihal kemunculan benih dalam rahim ibu pun kau rahasiakan!

Kamu ingin tampil jantan di muka publik. Menggandeng tangan perempuan hamil. Membelikan baju dan susu buat ibu yang perutnya kian hari kian membuncit. Siaga siang dan malam menjaga dan memenuhi kebutuhan ibu. Menciumi perutnya waktu si Amir terasa menendang-nendang dari dalam.

Ahhh, pahlawan kau, Bapak Amir!

Lelaki siaga, lelaki penuh perhatian, lelaki super!

Hmmm, puas kamu, Bapak Amir? Sudah puas? Senangkah hatimu? Dapatkah senyum hadir di tiap harimu kini?

Kamu sudah jadi lelaki super. Lelaki super yang tidak punya modal pribadi dalam rangka menjadikan dirimu super. Eits, maaf aku terlalu mengecilkanmu, justru modal pribadimu sungguh besar, yakni sebuah kemampuan: mengobjektifikasi ibu.

Sudah kubilang sejak awal, untuk ereksi saja kamu tidak bisa. Tetapi masih ingin tampil perkasa, tampil bijak sebagai bapak, padahal menyusahkan ibu.

Bukan, bukan ibu keberatan sembilan bulan mengandung Amir, bukan ibu lelah mengurus Amir, bukan ibu jengah menanti orgasme yang tak kunjung bisa hadir ketika penismu mencoba masuk liang vagina ibu. Tapi kamu yang terlampau menggunakan ibu untuk memenuhi obsesimu. Untuk menjadi lelaki ideal idaman masyarakat. 

Kini ibu hanya bisa mengikuti katamu, menjadi objek atas segala keinginanmu. Dan ibu tidak pernah protes akan hal itu. Karena ibu, sejatinya sama denganmu, Bapak Amir, manusia yang setia pada norma, penurut budaya. 

Bapak Amir, mendekatlah, perhatikan, sejak satu jam yang lalu ada seorang lelaki yang tidak beranjak dari hadapan cermin. Menangis, mencaci, meronta, kemudian tertawa. Dengarkan baik-baik ucapannya, tidakkah sama dengan segala upayaku mempecundangimu? Simak dengan seksama gerak bibirnya, tidakkah seirama dengan gerak bibirmu?

Kurnia Yunita Rahayu