Monday, June 25, 2012

Surat dari Drupadi untuk Putra-putra Ibu Kunti


Maafkan aku, ratu-mu, Kang Mas Yudhistira, sungguh lakuku mencuci rambut dengan kucuran darah Dursasana tidak akan kulakukan jika kekalahanmu di meja judi tidak mempertaruhku. Jika saja kau hanya memberikan seluruh harta dan kuasa Astina Pura kepada Kurawa serta sekutunya, aku tidak akan berucap sumpah seberani ini. Andaikan aku bisa tetap tenang berbaring di tempat tidurku siang itu, ketika kau dikalahkan hidup dan sifat dasar kemanusiaanmu, niscaya aku akan tetap menjadi Drupadi yang di dalam hatinya hanya menghendaki kebahagiaan.

Teruntuk kakanda Arjuna, aku tahu, diam-mu kala siang si balairung perjudian itu, mungkin sudah menyadari egoisnya istrimu ini. Terima kasih, untuk tetap bergeming ketika keluarga Kurawa menyeretku ke depan khalayak dan tidak berhenti mencoba untuk menelanjangiku, meski usahanya dihalangi dewata, dan tetap terjaga kesucianku.

Suamiku, Nakula dan Sadewa, wahai putra Kunti yang memperistri diriku untuk Pandawa bersaudara, percayalah, aku hanyalah seorang perempuan yang tidak pernah melepas hasrat untuk memanjakan diriku sendiri. Aku hanyalah seorang perempuan yang tak pernah rela diperlakukan dengan kasar oleh laki-laki. Sumpah demi nama dewata untuk tindakan yang sadis kepada Dursasana itu, hanyalah bentuk protesku atas perlakuan kasar yang sedikit pun tak pernah kudapat dari suami-suamiku, Pandawa yang lima.

Hey ksatria bumi, wahai Bima, putra Pandu Dewanata. Sungguh tiada satu pun yang mampu menandingi keberanianmu. Demi kehormatan raja-mu, kakanda-mu, suami-ku, Yudhistira yang asa dasar kemanusiaannya sedang dipergunakan oleh Kurawa bersaudara, untuk mengelabuhinya, kau rela mengejar Dursasana hingga ujung kehidupannya. Seperti kebiasaan manusia-manusia di utara bumi, di daratan yang kala itu belum dikenal serta tidak memiliki kerajaan seperti di tanah kita, mereka suka merobek dada lawan tarungnya untuk mengambil jantung yang masih berdegup untuk segera dipersembahkan kepada dewa mereka. Begitu pula yang kau berikan buat membela kehormatan kakanda-mu serta membela-ku.

Engkau rela bertarung melawan Dursasana, merobek kulit, mematah tulang, serta mengambil jantungnya sebagai tanda kemenangan serta bagai seorang bayi yang setahun tidak menyusu ibunya, kau teguk darah segar yang sejenak belum berhenti alirannya.

Hanya kau Bima, suami-ku, putra kedua Ibu Kunti, yang tidak bergeming ketika aku dikasari, dan hampir ditelanjangi. Terima kasih atas segala kegagah-beranianmu yang sedikit reaksioner itu, Kakang. Aku mencintamu, tidak kurang dari ke-empat suamiku yang lain, saudara-saudaramu.

Kepada pemuda rupawan yang sempat berkehendak untuk memperistri Drupadi yang elok ini, wahai pemuda Karna. Sejumput maaf dan segenap sesal kualamatkan kepadamu juga lewat surat ini.

Tidak dapat kuelak rupamu yang begitu tampan sempat menggetarkan rahangku ketika harus mengucap kata di depanmu. Mahirmu dalam memanah, hampir menanding Kanda Arjuna yang sudah bersamadi di tengah kawah Candradimuka untuk dapatkan Pasopatinya. Serta tidak kurang sedikitpun dari Pandawa, wahai pemuda rupawan, kau juga anak yang dilahirkan dari rahim suci Ibu Kunti. 

Meskipun begitu, status sebagai anak yang lahir dari kekhilafan Ibu Kunti dengan lelaki di luar Pandu Dewanata, membuatmu harus diasingkan. Tidak hidup di lingkungan kerajaan, luput dari pengajaran seorang yang arif, Bisma Dewa Bharata. Dan jauh lebih dari itu, kau tidak sempat berkenalan dengan hidup bergelimang harta sejak kecil, apalagi kekuasaan yang tiada tara.

Ketulusan, kepandaian, serta rupamu yang elok saja tidak cukup bekali hidupku, wahai pemuda. Maafkan, aku harus mengatur kekalahanmu dalam sayembara memanah yang digelar ayahku untuk mencari lelaki yang dapat mempersuntingku. Aku butuh diperistri oleh Pandawa, yang tidak saja rupawan dan baik budinya, akan tetapi juga bergelimang harta dan punya akses langsung dengan kekuasaan.

Aku, Drupadi, putri Drupada, perempuan yang banyak dikagumi manusia hingga berabad setelah kematianku, mengakui ini semua demi ketenangan hidupku di alam yang kekal yang kelak kujumpa. Demi segala dosa yang telah kulakukan, kupersembahkan baktiku dengan menyertai Pandawa dalam perang Bharatayudha. Teruntuk dewata yang tidak akan pernah bisa kubohongi dengan laku dan paras semanis apa pun, kuikhlaskan kematian menghampiriku dalam perjalanan menuju puncak Mahameru.

Kepada semua perempuan di zaman setelahku, jadilah Drupadi yang tidak hanya elok rupa, tetapi juga suci hati dan perbuatanmu.

Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, June 19, 2012

Juni, Juni, Juni, tolong jangan pergi..
Aku (mencinta) Juni.

Friday, June 15, 2012

Perempuan bukanlah semata-mata dilahirkan, melainkan proses menjadi.
Aku (menjadi) perempuan.

Wednesday, June 13, 2012

Lekas pulang..
Percaya deh, Sumatera nggak pernah lebih indah dari Jawa. 

Tuesday, June 12, 2012

Lewat Sembilan Tahun

Lebih dari itu semua, ada hidup yang akan lebih tertutup bagimu untuk mengerti. Ada hidup yang bersekat tebal dengan canda tawa riang masa pubertasmu. Ada hidup yang selalu dihalangi berbagai kenyamanan saat kau berkumpul dengan kawan sebayamu. Ada hidup yang baru akan dan bisa kau mengerti setelah kau temukan siapa dirimu.

Selamat, ya. Satu lagi tahapan sekolahmu telah berhasil dilalui dengan baik. Jenjang pendidikan yang diwajibkan oleh pemerintah sudah selesai kau tempuh, selesai, memuaskan. Sembilan tahun yang sudah lewat semoga bukan cuma lembaran usang yang siap dilipat rapi di dalam kotak lalu mengirimnya ke Bantar Gebang. Meski tumpukan buku dan kertas yang kau gunakan selama sembilan tahun itu akan segera kugiring dalam bara api. 

Lewat sembilan tahun, belajar di sekolah. Berstatus sebagai pelajar. Diajar berbagai mata pelajaran, yang kupikir, maaf, tidak akan membantumu hadapi hidup. Pemerintah memang curang, setengah-setengah bekali warganya buat jalani hidup di Negara yang diaturnya. Lewat sembilan tahun, belum akan ada yang bisa dilakukan.

Maka itu, mereka merancang satu lagi anak tangga yang harus dipijaki, sebelum sampai pada puncak capaian pendidikan: perguruan tinggi. Anak tangga yang satu itu, ah, bukan sulit kan kau dapat. Bekal yang terkumpul dalam waktu lewat sembilan tahun itu  mampu mengantarmu ke sekolah manapun yang kau pilih. Sekarang, tugaskan jari telunjukmu untuk memilih, kemudian ikuti saja kemana arah yang ia tuju.

Namun, ada satu hal yang harus kuingatkan padamu tentang masa sembilan tahun yang sudah kau lewat ini. Capaianmu yang sebenarnya bukanlah data statistik yang meski sudah baik, masih kau umpat karena merasa kurang puas. Yang jadi tujuanmu bukanlah seberapa populer sekolah menengah yang akan kau pilih beberapa hari lagi. 

Lebih dari itu semua, ada hidup yang akan lebih tertutup bagimu untuk mengerti. Ada hidup yang bersekat tebal dengan canda tawa riang masa pubertasmu. Ada hidup yang selalu dihalangi berbagai kenyamanan saat kau berkumpul dengan kawan sebayamu. Ada hidup yang baru akan dan bisa kau mengerti setelah kau temukan siapa dirimu.

Untukmu yang siap menjumpa indahnya hidup, terlelaplah di dalamnya, tenggelamlah bersama hiruk-pikuknya. Usah kau pikirkan hidup yang kusebut-sebut lebih kejam dari nenek sihir dalam cerita dongeng di negeri manapun di seluruh penjuru dunia. Ini memang masamu, saat yang tepat untuk menikmat waktumu.

Jangan biarkan kulit wajahmu berkerut sebelum tiba waktunya. Raihlah segala yang bisa kau raih. Bernyanyilah sampai seluruh dunia menyertai senandungmu. Berlarilah sampai kau tahu bahwa duniamu tiada pernah punya ujung. Hiduplah, dan jangan pernah berpikir untuk tidak hidup di dalam dunia manusia dan kemanusiaanmu. 

Akan tetapi, ada satu permintaanku: berjanjilah, untuk tetap memanusiakan dirimu, dan untuk melawan siapapun yang berani mencerabutnya dari dalam dirimu.

Buat Adikku, dari Mbak-mu,

Kurnia Yunita Rahayu