Monday, May 23, 2011

Pendidikan Semu di Indonesia

Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, besar kemungkinan mereka dan kita setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.

Mencerdaskan kehidupan bangsa memang merupakan sebuah tujuan mulia dari pendidikan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Realisasi dari pernyataan tersebut pun sangat dinanti dan diinginkan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kenal status dan golongan, kita semua beramai – ramai menggantungkan cita – cita setinggi langit untuk mendapat hari esok yang lebih gemilang melalui dunia pendidikan sebagai medianya.

Berbondong – bondong lulusan SMA dan sederajat mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi dengan berbagai jenis seleksi masuk. Tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan hanya untuk membeli formulir yang bahkan tidak ada jaminan sama sekali untuk bisa diterima di perguruan tinggi. Namun, semua ini dilakukan dengan semangat yang membara-bara karena mereka ingin mencicipi manisnya kehidupan di dunia kampus.

Bagi anak – anak yang didukung oleh kemampuan orang tua yang mencukupi, mereka akan masuk ke perguruan tinggi yang menerapkan sistem jam belajar reguler, mulai dari pagi dan berakhir di sore hari, disertai dengan berbagai oraganisasi mahasiswa yang disediakan oleh lembaga, yang diharap dapat menyalurkan minat dan bakat serta aspirasi mahasiswa untuk mengkritisi keadaan di sekitarnya. Namun, bagaimana dengan anak – anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah? Mereka yang memiliki kesungguhan niat akan tetap mengejar pendidikannya walaupun dengan resiko mereka harus bekerja di luar jam belajar.

Dilatarbelakangi oleh banyaknya siswa – siswi yang lulus dari SMA atau sederajat memilih untuk bisa bekerja terlebih dahulu dan kemudian baru membiayai kuliah dengan hasil keringatnya sendiri, memicu menjamurnya universitas swasta yang menyediakan program kelas karyawan. Dalam hal ini mereka memfasilitasi anak – anak Indonesia yang sudah berstatus sebagai karyawan untuk bisa tetap kuliah di hari Sabtu dan Minggu.

Inisiatif tersebut, melahirkan begitu banyak perguruan tinggi di Indonesia, yang menurut Dr. Umasih jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai lebih dari 4000 lembaga dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Melihat fenomena seperti ini, tergambar jelas ada usaha dari pihak swasta atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan sampai ke jenjang yang setinggi – tingginya.

Namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar banyak dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan mungkin cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini. Dan hal ini menjadi pemandangan yang sangat lumrah bagi penduduk ibukota. Memang tidak bisa dipungkiri, tidak semua universitas melakukan hal seperti itu, namun universitas swasta yang memenuhi standar pun memungut biaya dengan jumlah setinggi langit.

Sepertinya pendidikan di perguruan tinggi kini telah mengalami penyempitan makna. Sarjana bagi sebagian besar orang, hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakangnya. Kuliah bermakna rutinitas yang harus ditempuh sebelum mendapatkan pekerjaan yang mapan. Setelah bekerja lalu akan berdatangan uang-uang yang dapat memenuhi segala kebutuhan. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?

Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, mengapa yang terpikir melulu hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Apakah fenomena hari ini sudah mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945?

Pasti banyak sekolah-sekolah serta perguruan tinggi yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi.

Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, May 21, 2011

Soeharto: Kesadaran Sejarah yang Memperkuat Kekuasaannya

Jumat, 20 Mei 2011. Setelah mengikuti dua sesi diskusi di ruangan sejuk sekretariat Bemj Sejarah dengan salah satu acaranya adalah bedah buku: Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru karangan Eep Saefulloh Fatah, dapat disimpulkan beberapa hal yang akan saya bagi disini.

Buku tersebut mencoba merekonstruksi konflik politik yang terjadi selama masa Orde Baru dengan tiga peristiwa yakni peristiwa Malari 1974, Petisi 50 tahun 1980, serta Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984. Untuk meredam segala konflik politik yang terjadi serta dalam rangka mengamankan pembangunan, yang sangat digencarkan oleh Presiden Soeharto pada saat itu, maka atas nama stabilitas politik otokratis dan ekonomi pragmatis dipraktekkanlah sebuah manajemen konflik. Dalam ketiga kasus tersebut, yang menjadi formula utama dalam manajemen konflik rezim Orde Baru adalah represi dan manipulasi.

Eep Saefulloh Fatah dalam buku ini mencoba menggambarkan bagaimana Orde Baru memenjarakan aktivis-aktivis mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa Malari 1974 dan Tanjung Priok 1980, serta bagaimana terjadinya pelumpuhan politik, bisnis, dan karir orang-orang yang ikut berkontribusi dalam Petisi 50. Represi dan manipulasi yang dijalankan secara apik dengan dukungan biaya yang juga tidak sedikit ternyata malah membawa Orde Baru pada fase kebangkrutannya.

Terlepas dari seluruh keadaan yang jauh dari nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada masa pemerintahan Sang Jenderal Besar tersebut, saya ingin mengungkap beberapa hal penting yang bisa dicermati dari era pemerintahannya.

Pertama, beliau menyadari fungsi penting militer sebagai pelindung negara. Bersatunya mahasiswa dan militer pada tahun 1966 ternyata dapat menjatuhkan tahta Ir. Soekarno, seorang Pemimpin Besar Revolusi, penggagas ide Demokrasi Terpimpin yang masa jabatannya hanya akan berakhir ketika kematian menghampirinya, bisa dikalahkan oleh persatuan mahasiswa dan militer. Peran Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat, memuluskan jalannya untuk menyatukan pihak ABRI dengan pemerintah. Ketika Pemerintah sudah bersatu dengan militer, niscaya sulit untuk diruntuhkan.

Kedua, Soeharto dengan gagasan pembangunannya juga berhasil menarik para pengusaha untuk bergantung pada pemerintah. Jadi pada saat itu, apabila para pengusaha ingin bisnisnya lancar maka dekati pemerintah. Bukan seperti yang terjadi hari ini, peran pengusaha berbalik terhadap pemerintah. Pemerintah seperti orang bodoh yang mengangguk-angguk saja pada pemilik modal. Modal berkuasa, kapitalisme makin gencar, kesejahteraan rakyat? Makin menjadi impian..

Ketiga, politik stabilitas berhasil membuat rakyat tidak sadar akan kebobrokan negaranya. Di masa 32 tahun kepemipinannya, beliau memprioritaskan "kenyangnya" perut rakyat. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, maka rakyat cenderung merasa aman, stabil, dan harusnya mereka beralih ke arah yang lebih jauh yaitu memikirkan negara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya seluruh rakyat mempercayakan urusan negara sepenuhnya kepada pemerintah. Karena apa?

Keempat, pendapat ini menjawab pertanyaan di atas. Rezim Orde Baru salah satu kesuksesannya adalah berhasil membuktikan bahwa pemerintahlah yang berkuasa atas negara ini. Pemerintah bagaikan macan yang dapat menunjukkan taring-taringnya dalam menyelesaikan seluruh persoalan negara.

Banyak yang bisa dipelajari pemerintah sekarang dari Orde Baru. Bukan dari sisi penyelewengannya, namun yang terpenting adalah manajemen negara yang dapat membuktikan peran serta kekuatan pemerintah. Niscaya, apabila pemerintah terus saja tidak berwibawa akan terjadi banyak pemberontakan dan ketidakstabilan di negeri ini.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, May 14, 2011

Celoteh dalam Kesendirian

Satu pernyataan paling egois yang pernah saya dengar adalah


"pokoknya jangan nyakitin orang deh kalau kita sendiri nggak mau disakitin"

Berlaku positif ternyata hanya untuk kepentingan diri sendiri, saya kira merupakan sebuah keegoisan.



And all i can taste is this moment
And all i can breathe is your life
Cause sooner or later it's over
I just don't wanna miss you tonight


Kaum intelektual muda seharusnya berani menyampaikan apapun pendapatnya meskipun belum memiliki dasar teori yang tepat. Berbeda pendapat atau berbeda pemikiran itu sangat wajar. Yang mengherankan adalah ketika tidak bisa membantah pemikiran orang lain kemudian segera menetapkan bahwa itu merupakan sebuah kegiatan indoktrinasi. Sarannya adalah, jadilah intelektual yang berani, bebaskan pikiran dari belenggu apapun, biarkan mulutmu menggelontorkan seluruh hal yang kau setujui. Jangan hanya menjadi pengecut dengan menggunjingkan pemikiran dari orang-orang yang tidak kau setujui.


Bicara lagi mengenai pendidikan dan dunia kampus, tolong ciptakan kehidupan kampus yang bersih. Dimulai dari kamar mandi yang bersih, koridor kelas yang bersih, pun pemikiran yang bersih dari segala sampah.


Berbagi pekerjaan dalam sebuah tim itu penting, merasa lebih kompeten itu juga penting. Namun satu hal yang lebih penting, percaya pada rekan satu tim akan memperkokoh pondasi persahabatan.


Begitu banyak tugas di satu sisi memberikan pelatihan kepada mahasiswa untuk biasa bekerja keras. Namun tidakkah para penggagas kurikulum ini menyadari, bahwa hal tersebut menghambat pengabdian yang harusnya dilakukan oleh mahasiswa. Lupakah mereka pada Tri Dharma Perguruan Tinggi?


Presiden makin giat meluaskan politik pencitraannya di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Secara tidak langsung hal ini berhasil menguak mental bangsa Indonesia yang masih mementingkan kulit dibandingkan dengan isi. Kenyataan ini nampak juga pada dunia pendidikan tinggi, negara ini memproduksi semakin banyak sarjana yang hanya memiliki modal ijazah, tanpa kompetensi yang sesuai dengan gelar kesarjanaannya.


Sejarah membuktikan bahwa pada masa awal renaissance teknologi dibuat dengan menjunjung ideologi social utility of science. Dan hari ini saya menjadi setuju bahwa tidak ada sesuatu hal pun yang diciptakan di dunia ini dengan bebas nilai, termasuk seni. Karena ketika kita menyatakan seni untuk seni dan memperjuangkan seni yang bebas nilai, sesungguhnya sedang terjadi pemaksaan masuknya sebuah nilai pada seni tersebut.



Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, May 3, 2011

Pendangkalan Makna serta Tujuan Pendidikan

Memperingati dan memaknai hari pendidikan nasional bukan hanya melaksanakan upacara bendera.
Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.

Sehubungan dengan momentum hari pendidikan nasional, mari kita bercermin, tataplah wajah pendidikan di Indonesia hari ini. "Mencerdaskan kehidupan bangsa"... Kalimat itu begitu akrab di telinga seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut sangat diinginkan oleh semua rakyat Indonesia, dari kalangan apa pun. Namun kini, apakah pendidikan sudah mencapai tujuannya yang begitu mulia itu? Jawabannya sungguh relatif. Banyak orang yang bisa dikategorikan sebagai pintar di Indonesia ini. Tidak jarang anak-anak Indonesia meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Sains Internasional. Hal ini membuktikan bahwa di satu sisi, pendidikan yang dilaksanakan sudah berhasil.

Lalu kembali ada yang harus dipertanyakan? Banyaknya prestasi yang diraih tersebut mengapa tidak diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan bangsa? Jawabannya sederhana, karena pendidikan terlaksana secara tidak merata. Memang sangat menyedihkan rasanya hidup menjadi rakyat miskin di negara ini, tidak pernah ada kebijakan yang menyentuh mereka. Pun jika kebijakan itu ada, entah mengapa dan bagaimana hal-hal mulia tersebut hanya akan menjadi mimpi indah belaka.

Pemerataan pendidikan diusahakan dengan didirikannya banyak perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi di negara ini mencapai lebih dari 4000 lembaga, dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Sekali lagi ini merupakan usaha pihak swasta, atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini memiliki tujuan yang sangat mulia, namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, hanya disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini.
Sepertinya arti pendidikan di perguruan tinggi telah mengalami penyempitan makna. Sarjana kini hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakang kita. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?

Adanya penggolongan rintisan sekolah bertaraf internasional pun begitu mengganggu idealisme pendidikan. Tidakkah kita ingat pendidikan di masa kolonial Belanda yang mengkotak-kotakkan lembaga pendidikan. Sekolah Pribumi, Sekolah Cina, dan Sekolah Eropa. Adanya penggolongan tersebut memperuncing perbedaan diantara penduduk Hindia Belanda dan memang ditujukan untuk meminggirkan peran pribumi dari tanah leluhurnya sendiri. Lalu keberadaan Sekolah Lokal, Sekolah Standar Nasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tidakkan merupakan usaha yang sama dengan yang dilakukan para penjajah di masa lalu, namun dilaksanakan dengan metode baru saat ini, dan betapa pedihnya ini merupakan kebijakan dari orang Indonesia sendiri.

Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, terutama yang duduk di kursi pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan seperti hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Pasti banyak sekolah-sekolah yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi?

Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya dan tidak terbatasi oleh uang.

Kurnia Yunita Rahayu