Thursday, August 1, 2013

Pemberi Mutu dari Genewa

Awalnya bertujuan untuk memenangi Perang Dunia, kini merembes ke dunia pendidikan.

Senjata yang mutakhir dan efektif memang jadi satu faktor kenapa Blok Barat (Amerika, Inggris, dan Perancis) memenangi Perang Dunia Kedua. Namun, siapa sangka sebelum Blok Barat menang justru senjata mereka sering memakan tuannya? Semasa Perang Dunia Kedua, khususnya di Inggris, banyak sekali ledakan saat perakitan bom di pabrik-pabrik mesiu.

Saking banyaknya kecelakaan, Pemerintah Inggris curiga bahwa prosedur perakitan senjata itu tidak berjalan semestinya. Untuk tindakan pencegahan, terbit standar manajemen BS 5750 yang jadi standar operasional bagi industri untuk menjalankan pabrik dengan utuh. Caranya dengan mendokumentasikan semua prosedur kerja, agar mutu produk dapat terkendali. Hasilnya memuaskan, Blok Barat memenangi Perang.

Senang dengan standar yang dibuat, pada 1946 pemerintah Inggris mengundang 25 negara untuk bertemu di Institut Teknologi London untuk menyosialisasikan standar manajemen BS 5750. Inggris meyakinkan negara lain bahwa standar yang dibuatnya punya banyak faedah supaya industri mampu mengontrol mutu produknya. Kemudian pertemuan tersebut menghasil International Organization for Standardization (ISO) yang resmi berdiri Februari 1947.

Dengan bukti dapat mengendalikan mutu senjata yang mampu memenangi Perang Dunia, ISO ingin berperan sebagai organisasi pemberi restu bermutu secara internasional. Ia kemudian menjelma sebagai mantri bagi perusahaan yang ingin sehat mutunya. “Banyak pihak yang tidak percaya terhadap mutu produk bila tidak punya standar dari ISO,” ujar Syafral, Auditor ISO Lembaga Pemerintahan Non Departemen Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (LPND/BPKP).

Hingga kini organisasi yang punya kantor pusat di Genewa, Swiss ini sudah memiliki 164 negara anggota termasuk Indonesia. Urusan penjaminan mutu juga tidak hanya sebatas manajemen perusahaan melainkan pemusnahan limbah pabrik, manajemen resiko, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kepuasan layanan bagi pelanggan. Ditambah keharusan dalam menaati prosedur yang berlaku.

Makanya, ISO punya beragam fokus standar mutu yang dikode seperti ISO 9000 untuk menajemen mutu, ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial (lebih jelas lihat tabel). ISO 9000 jadi yang paling banyak digunakan karena sifatnya yang fundamental mengenai kesehatan dalam manajemen dengan tujuan menciptakan produk yang laku di pasaran karena berprioritas pada kepuasan konsumen.

ISO 9001 menyediakan satu set prosedur yang mencakup semua proses krusial dalam bisnis. Seperti pengawasan dalam proses pembuatan produk, penyimpanan data dan arsip penting, serta pemeriksaan barang-barang hasil produksi untuk mencari unit-unit yang rusak. Kemudian dilanjut dengan melakukan tindak perbaikan secara efektif.

Ihwal produk yang laku di pasaran, makanya pada 1970-an perusahaan negeri di Indonesia mulai meminta restu bermutu dari ISO. Penyebabnya, saat itu banyak perusahaan asing yang hadir di Indonesia, “standarisasi (internasional) ini mampu membantu perusahaan lokal bersaing dalam dunia perdagangan internasional,” papar Syafral.

Di Indonesia, kemudian ISO mulai merangsek ke semua sektor. Niatnya tak jauh-jauh dari upaya internasionalisasi dan persaingan ekonomi. Belakangan sektor pendidikan kesengsem oleh sertifikat internasional dari ISO. Hal ini dilakukan, karena sektor pendidikan bisa jadi barang dagang yang potensial.

Greget mengenai mutu di dunia pendidikan dimulai saat keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. Dalam peraturan tersebut muncul rumusan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang kemudian mengeluarkan kebijakan agar tiap institusi pendidikan harus menyelenggarakan kegiatan penjaminan mutu. Demi memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen.

Lebih serius, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)-sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)-banyak menyisipi perihal mutu pendidikan dalam Rencana Strategis (Renstra) Nasional 2010-2014. Renstra tersebut berfokus soal penjaminan mutu berdasarkan optimalisasi pelayanan. Produk strategisnya berupa Sekolah Standar Nasional.

Kemudian ISO mulai diundang guna memantapkan penjaminan mutu. Kemdikbud mewajibkan Sekolah Standar Nasional memiliki Sertifikat ISO guna melangkah menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). “Sekarang ini (ISO-red) dijadikan nilai jual,” Jelas Syafral.

Di tingkat universitas, pada 2009 terbit pula kebijakan Kemdikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki sertifikat ISO.
Penjaminan mutu melalui ISO dirasa cocok atas konfigurasi liberalisasi pendidikan, yang diusung Indonesia setelah reformasi. Di universitas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) dengan maksud memberi otonomi penuh bagi universitas jadi garis awal.

Berteguh atas semangat kemandirian kampus dalam ranah pendanaan, penolakan RUU-BHP pada Desember 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengendur semangat. Setelahnya muncul kebijakan-kebijakan substitusi seperti Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang malah lebih jujur mempersiapkan universitas menjadi industri pengharap laba.

Konsep liberalisasi pendidikan menjadi sempurna ketika Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU-PT) legal. Dimulailah kegiatan akademis berlogika pasar bebas. Karena, lewat UU-PT, universitas asing kini bisa membuka cabang di Indonesia. Makanya, universitas di Indonesia kini punya tugas tambahan untuk menjual dirinya agar tidak kalah bersaing dengan universitas asing.

“Munculnya universitas asing seharusnya tidak menjadikan PTN rendah diri. Oleh karena itu, harus membuktikan diri dengan meningkatkan kualitas,” terang Nizam, Sekretaris Dewan Dikti. Untuk berada satu panggung dengan universitas asing, muncul kebutuhan standar-standar internasional. Makanya, membeli sertifikat dari ISO jadi langkah instan.

Pernyataan Nizam sejalan dengan target Dikti agar semua program studi di universitas negeri sudah memiliki sertifikat ISO. Maka berbondong universitas negeri membeli sertifikat ISO. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jadi salah satu yang reaksioner ikut-ikutan melabeli diri.

Pada 2009 ada tiga unit yang dibiayai UNJ untuk membeli sertifikat ISO: Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis, Jurusan Bimbingan Konseling, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan. Pada 2011 giliran Jurusan Sejarah, Jurusan Seni Tari, dan Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) yang dihadiahi sertifikat ISO oleh UNJ.  (Baca: Icip-Icip Mutu Internasional)

“Usaha (melalui ISO) ini tidak dapat dipisahkan atas target kampus menuju kancah internasional,” papar Sjafnir Ronisef, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) UNJ. UNJ menggunakan sertifikat ISO 9001-2008 mengenai penjaminan mutu yang didasari atas kepuasan mahasiswa sebagai konsumen mengenai layanan pendidikan di UNJ.

Meski bercita-cita dirinya bisa berkiprah dalam dunia internasional, sebenarnya UNJ belum punya konsep mengenai internasionalisasi, “tentang go international itu belum, saya belum memikirkan jauh kesana,” Kata Rektor UNJ Bedjo Sudjanto. Tapi UNJ tetap berani memasang target, “paling tidak tahun 2017 sudah tercapai,” lanjut Bedjo.

Terlepas silang sengkarut mengenai konsep internasional versi UNJ, paling tidak lewat ISO, UNJ telah menyiapkan dagangannya menuju pasar internasional. Dengan cara ini, UNJ berharap mampu menarik banyak konsumen agar membeli produknya.

Niat dimulai dengan menjual diri dengan baju internasional agar menarik masyarakat menjadi mahasiswa untuk berkuliah di UNJ. “Kita mencari merk, itu penting untuk orang tua dan mahasiswa baru,” kata Sri Harini Ekowati, Kepala Jurusan Bahasa Perancis UNJ menjelaskan motif institusinya ikut program ISO UNJ jilid satu.

Sertifikat ISO juga berguna untuk menarik investor agar menanam modal di UNJ. Lagipula, ini linear dengan status PK-BLU UNJ yang banyak memohon dana di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada perusahaan. Kepala Jurusan Seni Tari Didin Supriadi ikut merasakan faedah tersebut melalui ISO UNJ jilid dua, “tidak dipungkiri, dengan ISO kita lebih mudah dapat hibah (dari perusahaan),” ungkapnya.

Saat semua prosedur serta komponen lengkap dan berjalan dengan baik, UNJ percaya, ia akan jadi pedagang yang menghasilkan banyak untung. Asal, jangan pernah lupa, bahwa ilmu dagang lebih banyak menampilkan rugi ketimbang untung.


Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Laporan Utama

Semua Mau Cari Aman

Secara prosedural proyek pengadaan alat penunjang laboratorium berjalan lancar. Mencari aman semua pihak lempar tanggung jawab.

Beberapa kali dihubungi DIDAKTIKA ketua panitia lelang Tri Mulyono benar-benar ogah memberikan komentar, apalagi penjelasan soal proses pelaksanaan proyek pengadaan alat penunjang laboratorium. Ia bersi keras menjelaskan, posisi yang disandang sekadar sebagai pelaksana teknis. Sehingga urusan mark up anggaran semestinya dijelaskan oleh rektor sebagai pembuat kebijakan.

Bagi Tri Mulyono ada pihak lain yang harusnya lebih bertanggung jawab perihal tuduhan ini. “Saya tidak menunjuk secara personal, tapi setidaknya secara kelembagaan, Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum yang bertanggung jawab penuh soal proyek,” tegasnya.

Tuntutan tersebut diperkuat oleh kepala Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi Syachrian. “Setahu saya, (Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum) Pak Suryadi memang yang tanda tangan proyek, lalu Tri Mulyono itu meneruskan pengerjaannya,” kata lelaki lulusan IKIP Jakarta Jurusan Matematika ini.

Sedang Pembantu Rektor II Suryadi, tidak bisa memberi penjelasan atas indikasi keterlibatannya. “Kita lihat saja nanti, karena belum tentu juga,” katanya sambil menjanjikan pertemuan di lain waktu.
Rektor Bedjo sendiri santai menanggapi pertanyaan yang sama. Baginya secara kelembagaan, memang benar ia harus bertanggung jawab. Tetapi dalam proses penyelidikan, tentu akan ditemukan dimana letak penyimpangan terjadi.

Soal teknis, Tri Mulyono beserta keempat orang panitia lelang lainnya sudah melaksanakan seluruh prosedur proyek sesuai Perpres No. 80 Tahun 2003. “Mulai dari pemberitahuan lelang proyek di koran nasional hingga media online sudah dilaksanakan,” ujar Sekretaris Panitia Lelang Ifaturohiah Yusuf.

Rahim proses tersebut melahirkan PT Marell Mandiri sebagai pemenangnya. Ifath sapaan akrab sekretaris panitia lelang, punya alasan kuat atas keputusan timnya. PT Marell Mandiri menang karena punya penawaran harga yang paling murah dan kredibel secara dokumen.

Ditambah tidak ada protes dari perusahaan peserta lelang lainnya menyangkut kemenangan PT Marell Mandiri. Padahal, mereka punya masa sanggah selama tujuh hari untuk mengkritik ketidaksesuaian. “Buktinya nggak ada perusahaan lain yang menyanggah kan?” seloroh Ifath.

Di lain kesempatan sumber DIDAKTIKA yang sering menangani proyek pengadaan barang dan jasa di kampus berujar soal kerjasama perusahaan peserta lelang di belakang panitia. Perusahaan yang berniat memenangkan lelang biasa membagikan fee kepada peserta-peserta lain. “Jadi peserta lain nggak akan protes, karena sebelumnya sudah ada perjanjian pembagian fee,” tegasnya.

Mengenai data penawaran terkait perusahaan peserta tender, Ifath mengaku sudah tidak menyimpannya, dan sudah diserahkan ke (BAPSI). Namun, hal ini segera dibantah Kepala BAPSI Syachrian, “BAPSI hanya menyimpan dokumen anggaran yang bersumber dari PNBP,” tampiknya.

Ketiadaan data menjadi salah satu alasan bagi Tri Mulyono untuk bungkam. Baginya, sudah tidak ada yang bisa dibicarakan tanpa ada data-data terkait proyek. Lelaki berjanggut tebal ini menjelaskan semua dokumen sudah disita oleh Kejaksaan Agung, “saya mau bicara apa, dokumen saja sudah tidak ada.”

Sementara itu, PT Marell Mandiri sebagai pemenang, di tengah pelaksanaan proyek melakukan pemindahtanganan kerja kepada PT Anugerah Perkasa. Perusahaan yang masih satu konsorsium di bawah Grup Permai milik Nazaruddin. Namun, ihwal pemindahan kerja ini panitia lelang mengaku tidak mengetahuinya. “Bagaimana mau mengawasi kalau mereka kesini atas nama PT Marell Mandiri?” Ifath memprotes.

Sikap yang sama sudah jauh-jauh hari diambil oleh Rektor Bedjo Sujanto sebagai orang yang membentuk panitia lelang. Buatnya, tender sudah dibuka untuk umum dan perusahaan manapun bisa mengikutinya. Tetapi soal pengerjaan secara teknis, ia tidak bisa mengintervensi apalagi soal pemindahtanganan kerja. “Itu urusan perusahaan, sudah bukan urusan UNJ,” kata Bedjo pada Deklarasi Hari Anti Korupsi (9/12/11).

Eksistensi perusahaan pemenang dititik beratkan pada keabsahan dan kelengkapan dokumen. Sehingga tidak ada kecurigaan bahwa perusahan tersebut hanyalah fiktif. Padahal, dalam pemberitaan di media nasional, ditemukan lebih dari satu perusahaan palsu milik Nazaruddin. Secara administratif punya dokumen lengkap, tetapi bentuk nyata perusahaan tidak ada.

Ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, Ifath mengaku bahwa ia tidak tahu-menahu apabila memang PT Marell Mandiri adalah perusahaan fiktif. “Yang penting dokumennya lengkap, barang yang menjadi materi proyek ada, selesai kan?” sergahnya.

Mengalir ke Lima Fakultas
Dalam proyek ini, pengajuan barang harus dilakukan dalam waktu singkat. Karena dananya yang bersumber dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) digelontor DIKTI pada akhir tahun.
Berdasar penelusuran DIDAKTIKA dana ini mengalir ke lima Fakultas, yakni Fakultas Teknik (FT), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Ekonomi (FE), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK).

“Saya memang lupa fakultas apa saja yang dapat, tapi yang pasti paling banyak itu FT dan FMIPA.” Cerita Ifath. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kabag Tata Usaha FT Churiatun Naimah, “semua jurusan di FT dapat kok.” Dekan FIP Karnadi ikut membenarkan soal aliran barang dari proyek itu ke fakultasnya. “Kami (FIP) dapat komputer, lengkapnya bisa dicek di Kabag TU kok,” pungkasnya.

Sarana Penunjang Laboratorium segera diberikan sebagaimana mestinya di lima fakultas tersebut. Namun, seiring dengan munculnya dugaan mark up pada proses pengadaannya, awal 2012 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyisir seluruh laboratorium yang ada di kampus.

Pola kerja yang diterapkan KPK kali ini tidak bersifat Top Down. “KPK datang langsung menemui kajur-kajur atau kepala lab, dan langsung ke laboratorium,” kata Churiatun Naimah.

Pemeriksaan KPK menunjukkan hasil bahwa semua barang sesuai dengan keterangan yang ada di dalam dokumen. PD II Fakultas Ekonomi (FE) Siti Zulaichati bercerita bahwa pemeriksaan dari KPK tetap tidak menunjukkan temuan kejanggalan meski sempat ada barang yang tidak sesuai pengajuan di FE.  “Barang yang sudah tidak diproduksi di pabriknya diganti dengan barang yang kualitasnya sama, jadi kita terima saja,” akunya.

Kegiatan mark up logis terjadi meskipun bukti mikro di fakultas menunjukkan tidak ada kejanggalan. Meski fakultas diberi wewenang untuk menentukan spesifikasi serta jangkauan harga barang, adanya skenario penentuan perusahaan pemenang sekaligus nilai proyek, memunculkan potensi-potensi mark up anggaran.
Mulanya karena panitia lelang yang ditunjuk langsung oleh rektor. “Iya benar, kalau bukan saya siapa lagi yang bisa memilih mereka,” kata Rektor Bedjo. Sementara alasan pemilihannya Bedjo enggan menjelaskan. “Kami memang dibentuk dengan SK Rektor, mengenai alasan pemilihan dan orang-orang di belakangnya, kami tidak tahu,” sambut Ifath menanggapi pernyataan rektor.

Urusan memeriksa barang yang sudah dibeli oleh perusahaan pelaksana proyek jadi hajat panitia penerima dan pemeriksa barang. Tugasnya menimbang jumlah, merk, dan spesifikasi barang apakah sesuai dengan kontrak. “Soal harga itu terserah, bukan urusan panitia penerima barang,” ujar Kabag Perlengkapan FBS Sukirman memaparkan ranah kerja panitia penerima barang.

Kemudian setelah barang dikirim, dibuatlah berita acara tanda sah atas barang-barang yang dikirim. “Yang tanda tangan banyak, ada ketua, sekretaris, anggota,” lanjut Kirman. Dengan spesifikasi kerja seperti itu, maka indikasi mark up terjadi disini memang besar terjadi sebelum panitia proyek menjalankan kerjanya.


Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana

Jejaring Korupsi Nazaruddin hinggap di UNJ

Bermula dari terbongkarnya jejaring proyek M. Nazaruddin, Korupsi UNJ mulai terbongkar. Rektor Bedjo Sudjanto diduga terkait kuat.

November 2011, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Fakhrudin Arbah ketar-ketir. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya harus tersandung kasus korupsi. Buatnya, posisi sebagai Pembantu Rektor yang mengurusi mahasiswa dan kemahasiswaan memang tidak punya banyak kesempatan untuk menyuburkan bibit korupsi.

“Saya stress luar biasa, sampai tidak bisa tidur. Keluarga sampai menyebut saya koruptor, pembohong,” Fakhrudin mengiba. “Belum lagi anak-anak saya yang mendapat tekanan dari teman-teman sekolahnya yang mengetahui berita tersebut.”

Korupsi memang tidak pandang bulu siapa saja bisa didapuk menjadi pembawa risalahnya, termasuk Fakhrudin. Karena kejahatan memang bukan terjadi cuma bermodal niat, tapi kejahatan turut mencipta kesempatan. Fakhrudin masuk dalam pusaran ini.

Mulanya dari sebuah proyek pengadaan alat laptop dan alat penunjang laboratorium. Total nilai proyek tersebut 17 miliar rupiah. Proyek tersebut merupakan proyek tahunan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Proyek ini bermasalah karena muncul dugaan penggelembungan dana sebesar 5 miliar rupiah. Indikasinya muncul karena mulai terungkapnya gurita korupsi yang dilakukan M. Nazaruddin Anggota DPR sekaligus Bendahara Umum Partai Demokrat.

Kasus ini melibatkan dua perusahaan tender milik M. Nazaruddin: PT Marell Mandiri, dan PT Anugerah Nusantara. PT Marell yang memenangi tender proyek tersebut, namun di tengah jalan ia tidak bisa melanjutkan proyek tersebut. Maka hadirlah PT Anugerah Nusantara sebagai pelaksana proyek hingga proyek ini selesai. Dua perusahaan itu satu konsorsium dalam Grup Permai milik M. Nazaruddin.

Sebenarnya indikasi korupsi sudah tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak semester pertama 2011 Namun, penyidikan selama 4 bulan tersebut terhenti karena KPK tidak banyak menemukan bukti yang memeperkuat. Baru pada November 2011 Kejaksaan Agung kembali memeriksa kasus ini dan mendapati Fakhrudin sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Tri Mulyono ketua Proyek sebagai tersangka dalam kasus ini.

Lewat surat perintah penyidikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 untuk Fakhrudin, dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011 untuk Tri Mulyono, mereka berdua resmi menjadi tersangka. “Saya kaget, saya belum sekalipun dipanggil oleh Kejagung tapi nama saya sudah disebut sebagai tersangka,” seloroh Fakhrudin.
Urusan menjadi komando dalam sebuah proyek harusnya jadi hajat Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, namun kampus mendapat proyek ini saat rektor Bedjo Sudjanto baru memenangi kembali kursi Rektor UNJ untuk kedua kali menyebabkan hal itu tidak terjadi.

Dalam periode kedua sebagai Rektor UNJ ada struktur yang berubah Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sebelumnya dijabat Syarifudin kini jadi milik Suryadi. “Pak Suryadi sendiri tidak bisa dijadikan PPK karena belum resmi menjabat, sedangkan Pak Syarifudin karena sudah lengser dan sudah banyak pegang proyek,” Bedjo Sudjanto mengklarifikasi pada acara Deklarasi Hari  Anti Korupsi (9/12) 2012.
Maka datanglah jabatan PPK sekonyong-konyong ke ruangan Fakhrudin. “Fakhrudin itu seorang yang lugu dan jujur, makanya jabatan ini disemat kepadanya.” lanjut Bedjo Sudjanto. ”Walaupun saya tahu ia tidak mengerti perihal teknis proyek.”

Fakhrudin yang ditunjuk langsung oleh Bedjo pun tidak bisa banyak berkutik. Ia yang mengaku sejak mengajar di UNJ pada 1984 tidak pernah mau berurusan dengan soal keuangan, kali ini menjadi orang linglung, “sekali ini saya tidak tahu kenapa menyetujui untuk menjadi PPK, saya seperti terbius,” ujar Fakhrudin.

Posisi Fakhrudin sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebenarnya rawan untuk dijadikan seorang PPK dalam sebuah proyek. Bukan cuma tentang posisi tapi juga soal kapasitasnya. Selain tidak pernah sekalipun berurusan dengan proyek ia juga tidak terdaftar sebagai pejabat yang tersertifikasi untuk menangani sebuah proyek pengadaan barang.

Sementara itu Tri Mulyono, dosen fakultas Teknik yang berduet bersama Fakhrudin sebagai tersangka kasus ini ogah berkomentar mengenai keterlibatannya, “saya tidak mau berkomentar karena saya cuma pelaksana teknis,” katanya kepada DIDAKTIKA (31/07).

Janggal Dari Awal
Selasa (6/12) 2012 Fakhrudin bercerita banyak kepada mahasiswa dalam rapat dengan pimpinan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membahas agenda studi banding UKM. Di sela-sela acara tersebut ia meluangkan waktu untuk mengklarifikasi kasus yang menimpa dirinya. “Ada (tanggapan) yang enak saya dengar, kemudian saya semakin teguh untuk menghadapi ini. Tapi ada juga yang membuat saya nggak bisa tidur,” katanya.

Sebelum datang, Fakhrudin mengaku menemui Rektor Bedjo untuk menjelaskan niatnya untuk bertemu mahasiswa dan menjelaskan kasus ini. Awalnya, Bedjo ragu-ragu akan kehadiran Fakhrudin untuk menjelaskan kasus ini, “kenapa berhadapan dengan mahasiswa? Nanti bisa nggak menyampaikan?” Ujar Fakhrudin menirukan Bedjo Sudjanto.

Sepak terjang Fakhrudin dalam proyek ini dimulai setelah keluar Surat Keputusan (SK) Kemendiknas atas nama Sekretaris Jendral Kemendiknas Dodi Nandika Nomor 5138/A.A3/KU/2010. Tertanggal 21 Januari 2010, ia resmi menjadi PPK proyek pengadaan sarana penunjang laboratorium.

Di lapangan Fakhrudin cuma bertindak sebagai asesor, saya tidak menyusun (dokumen). Jadi kalau dalam menyusun disitu memang ada salah, ya saya sebenarnya salah tanda tangan, karena saya nggak pernah baca. Ndak mungkin baca, kalau baca pun nggak ngerti juga,” katanya lugu.

Atas persetujuan-persetujuan yang dilakukannya, ia mengaku mendapat honor proyek yang memang dijatahkan oleh Rektor Bedjo. “Honor yang saya peroleh berdasar Surat Keputusan Rektor 500.000 per bulan dipotong pajak jadi 425.000,” aku Fakhrudin. “Saya bekerja diberi tambahan masa tidak ada penghasilan tambahan.” Di lain kesempatan, Fakhrudin menolak bila dikatakan ia menerima fee atas proyek tersebut. “Saya tidak menerima fee apapun,” aku Fakhrudin kepada Didaktika.

Dalam kerja-kerjanya Fakhrudin tidak sendiri, ia punya tim pengadaan barang di bawah koordinasinya, data yang didapat dari Kejaksaan Agung, panitia pengadaan barang ini sudah disahkan melalui SK Rektor Nomor 11.B/SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010. Mereka adalah Tri Mulyono (Ketua), Ifaturohiah Yusuf (Sekretaris), Suwandi (anggota), M. Abud Robiudin (anggota), dan Andi Irawan Sulistyo (anggota).

Idealnya, dalam sebuah proyek pengadaan barang panitia lelang dibentuk oleh PPK. Namun, dalam kasus ini Rektor Bedjo yang memilih. Pun penunjukkannya dilakukan lebih dahulu ketimbang pemilihan PPK. Makanya kemudian muncul indikasi keterlibatan Rektor Bedjo dalam kasus ini.

Hal ini diperkuat dengan adanya pengakuan Ahmad Rifai, pengacara Mindo Rosalina Manulang koordinator PT Marell Mandiri perusahaan yang terkait dalam kasus ini, “Rosa mengaku disuruh Nazar menemui Rektor UNJ pada 2010. Maksud pertemuan itu untuk proyek pengadaan Alat Laboratorium dan peralatan penunjang Laboratorium pendidikan,” Kata Rifai dikutip dari Koran Tempo, 15 Februari 2012.
“Dalam proyek kampus Nazar memang melakukan banayak lobi-lobi untuk meloloskan proyeknya,” tambah Ade Irawan Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada DIDAKTIKA (19/2). “Ia melobi Badan Anggaran (Banggar), anggota DPR, orang Dikti, termasuk pejabat kampus.”

Saat dikonfirmasi, Bedjo Sudjanto mengaku pernah bertemu dengan Nazruddin membahas perihal proyek, “saya pernah bertemu Nazaruddin dulu di sini (Gedung Rektorat),” Aku Bedjo. Namun, Bedjo membantah bahwa pertemuannya dengan Nazaruddin membicarakan kasus korupsi yang yang menimpa UNJ, “waktu itu ia (Nazaruddin) datang sebagai orang PP, ya kami membicarakan proyek PP.” Bedjo mengklarifikasi.

Bedjo juga menjamin ia tidak pernah mengintruksi untuk melakukan tindakan korupsi kepada bawahannya, “sekarang yang bisa membuktikan bahwa itu kasus korupsi siapa?” tukas Bedjo. Rektor Bedjo sendiri tak mau ambil pusing atas kasus ini, atau indikasi keterlibatannya. Proses pengusutan yang berlarut bisa menenangkan hati Bedjo. “Hingga saat ini kan belum terbukti,” tampik Bedjo.

Sementara itu, Fakhrudin belakangan merasa semakin tegar menjalani kasus yang berlarut-larut ini sendirian, “saya merasa dikorbankan disini, bila kemudian ada pelaku yang bermain di belakang itu benar-benar di luar pengetahuan saya,” ujarnya lirih. “Saya mau bawa Rektor sebenarnya, tapi tidak bisa karena namanya tidak ada.”

Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana