Tuesday, October 16, 2012

Dewa


Ara dan Tata sepasang muda yang sedang giat-giatnya mencinta punya cerita khusus soal hubungan yang sudah dijalani sepanjang sepuluh bulan belakangan. Mereka saling cinta meski tidak jarang dimensi hidup yang mempertemukan keduanya diwarnai dengan ragam pertengkaran. Tidak, tidak, bukan ragam, tapi banyak. Mereka memang sering punya waktu untuk berselisih, untuk satu urusan.

Tata, mahasiswi jurusan sejarah yang punya segudang referensi kejadian masa lalu-tidak terkecuali soal urusan percintaan-selalu ingin mencipta kondisi ideal dalam hubungan. Ia seorang perfeksionis yang agak takut pada kegoncangan. Gandrung pada kondisi aman, sebisa mungkin menjauhi sakit hati. Untuk itu, Tata punya banyak standar dalam menghidupi kehidupan, termasuk diberlakukan kepada pasangannya.

Buat Tata, segala hal punya substansi dasar yang bersifat alamiah. Keberadaannya mungkin dinamis. Namun, untuk mencapai perubahannya, dibutuhkan waktu yang begitu lama, karena geraknya sangat lambat. Makanya, dia banyak kecewa bila lelaki yang amat dicintainya, Ara, melakukan hal-hal melenceng dari segala estimasi Tata.

Tak pelak, latar belakang ini menghadirkan pertengkaran berulang dalam hidup mereka. Ara yang tidak kunjung mencapai standar Tata, jadi sasaran empuk marahnya. Maklum, perempuan konon lebih banyak tidak bisa menahan marah ketimbang lelaki.

Menghadapinya, Ara setia di garis pertahanan. Ia mengamini memang sebuah hubungan percintaan dibina bukan untuk sebuah kompetisi. Buatnya-begitupun Tata- kesepakatan untuk punya komitmen lebih dari sekadar teman, dijalani untuk sebuah hidup. Makanya, Ara mengubur jauh-jauh konsep kebahagiaan yang mungkin didapat dari proses memberi dan menerima. Hidup yang sebenarnya, jauh lebih luas ketimbang mekanisasi memberi untuk menerima.

Sebagai hadiah, Ara mempersembahkan sebuah lagu untuk Tata. Memang sama sekali bukan ciptaan atau gubahannya. Dan memang tidak disuguh dengan penampilan khusus dalam suasana romantis. Hanya sebuah pesan rekomendasi buat kekasihnya, “dengarlah lagu Dewa 19, Aku Disini Untukmu,” katanya.

Lagu yang dicipta oleh pentolan grup musik Dewa 19 Ahmad Dhani ini memang banyak menyuguh suasana santai. Mulai dari alunan nadanya yang agak mendayu, hingga lirik-lirik yang termuat. Bagi Dhani, tidak perlu manusia risau dan lelah mencari nilai yang dimillikinya. Karena manusia dan segala dimensi kehidupannya merupakan sebuah kekosongan makna.

Namun, bukan berarti manusia mesti pasrah kemudian menyerah. Justru ini tugas besarnya: manusia harus aktif menentukan makna diri dan hidupnya sendiri. Karena memang hanya dia yang bisa, bukan diberikan orang lain, bukan turun dari langit.

Hal ini sejalan dengan pemikiran filsafat yang berkembang pada masa Ahmad Dhani hidup. Ia memang anak zamannya. Anak kandung dari filsafat eksistensialisme. Salah satu pemikir utama aliran ini adalah seorang berkebangsaan Perancis, Jean Paul Sartre.

Sartre, sapaan akrab filsuf yang banyak menghabiskan waktu luang di kafe-kafe ini mengatakan, manusia tidak memiliki hakikat bawaan, atau yang dikenal dengan esensi. Karena itu, esensinya harus diciptakan sendiri, sebab tidak ada yang menetapkan sebelumnya.

Hal ini bertolak dari sejarah panjang filsafat Barat yang selalu berupaya mengungkap hakikat manusia, namun belum pernah berhasil menemukannya. Maka pada umumnya, kegiatan mencari makna hidup adalah sebuah kesia-siaan. Meski begitu, Sartre bukan seorang nihilis yang meniadakan arti pada segala hal. Tidak bisa tidak, ia pun menyetujui bahwa hidup adalah sebuah proses yang punya arti, namun manusia lah yang menciptanya. Eksis berarti menciptakan kehidupan sendiri.

Eksistensialisme merangsek ke segala lini kehidupan. Satu yang paling banyak mendapat pengaruhnya adalah bidang kesusastraan. Sejak paruh pertama abad ke-20 hingga hari ini, teater-teater banyak menampilkan absurdisme dalam gelarannya. Tujuannya memang menyuguhkan sajian yang irrasional, menampilkan pertunjukan yang nihil makna, agar penonton mau mencipta interpretasinya sendiri. Menemukan kehidupan yang lebih sejati dan mendasar.

Karya-karya beraliran eksistensialis selalu memberikan sajian yang sebagaimana adanya. Melakukan hal-hal seperti sebagaimana adanya. Ini juga yang diinginkan Ara terhadap hubungannya. Ia tak pernah alpa mengingatkan Tata untuk menjalani hidup seperti adanya. Untuk bersama-sama tidak hanya mencipta makna, tetapi melangkah ke tahap yang lebih jauh dan lebih riil: menghidupi hidup.

Aku Disini Untukmu, Dewa 19

Melayang kau cari-cari arti, yang pasti tak kan kau temui. Tak perlu kau nilai-nilai semua, biarlah semua adanya. Kau coba meraba-raba hati, warna gejolak disini. Alirkan semua rahasia, leburkan dalam suasana. Tak usah cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Mungkin memberi arti cinta pada dirimu, aku disini untukmu. Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu. Lupakan sekilas esok hari semua telah terjadi. Aku dan dirimu, tenggelam dalam asa, dan tak ingin lari tanggalkan rasa ini. Cobalah entaskan, pastikan lepas atau terus, semoga perih terbang tinggi di awan.

Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Lepaskan sejenak berat di pundakmu, aku disini untukmu. Pastikan terjawab semua ragu di cintamu, aku disini untukmu.

Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu.


Kurnia Yunita Rahayu