Tuesday, April 9, 2013

Mendongengkan Kehidupan

Judul: Gadis Jeruk
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Yuliani Lupito
Penerbit: Mizan Pustaka
Cetakan: Juli 2011 (Gold Edition)
Tebal: 256 hlm

Apa jadinya bila seorang yang sudah mangkat belasan tahun lalu kembali hadir di suatu malam dan mengajakmu berbincang? Bahasan apa yang bisa mempertemukan dua orang dari dimensi dunia yang berbeda? Sekejap saja membayangkan, rasanya aku sudah ingin lari. Takut-takut dia datang dan bicara dengan gigi taring yang sudah memanjang lagi runcing. Sebentar saja aku sudah ingin menarik selimut untuk sembunyi. Jangan-jangan dia siap mencekikku dengan jemarinya yang berkuku-kuku tajam.

Untungnya imajinasi sekejap itu tidak jadi kenyataan saat Georg Roed menghadapi kedatangan Jan Olav, ayahnya yang sudah meninggal sebelas tahun lalu. Karena sang ayah tiba lewat sepucuk surat. Sebuah tulisan panjang yang sudah disiapkannya sehari sebelum pergi ke alam baka.

Sebelum mangkat, Jan Olav punya beberapa hal yang ingin disampaikan kepada Georg. Namun, ia sendiri kebingungan bagaimana pesannya bisa dimengerti oleh balita berumur 3,5 tahun. Makanya, ia menangguhkan pesan tersebut, hingga anak tunggalnya berusia 15 tahun. Surat itu pun disimpan, di sebuah tempat yang tak ia beritahukan secara langsung pada ahli warisnya.

Keputusan Jan Olav menangguhkan penyampaian pesan itu nampaknya tepat. Sebab, bagaimana bisa Georg 3,5 tahun dapat mengerti kisah cinta panjang yang dituturkan sang ayah dalam suratnya. Seorang psikolog asal Swiss Jean Piaget pun sudah jauh-jauh hari mengingatkan: balita seusia Georg sedang berada di tahap perkembangan operasional konkret. Sejauh itu, koordinasi komponen biologis dan psikis pada tubuhnya baru menerima hal-hal yang bisa dijangkau indera. Belum mampu berpikir abstrak, apalagi diajak menyelami kisah cinta yang ditulis ayahnya.

Secara sengaja, Jan Olav membeberkan kisah masa lalunya semasa menjadi mahasiswa kedokteran. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis yang ditemui di sebuah trem. Muda, cantik, mempesona dan identik. Gadis itu membawa sekantong penuh buah jeruk.

Namun sayang, pertemuan pertama Jan Olav dengan gadis pujaannya tidak berlangsung baik. Tak sengaja ia menumpahkan seluruh jeruk bawaan sang gadis dan mendapat bonus ucapan dari si gadis, “kamu, sinting!” Setelah kejadian yang berlangsung begitu cepat tersebut, gadis yang tak sempat ia ketahui namanya segera turun di stasiun terdekat. Ia hilang.

Merasa bersalah, Jan Olav ikut turun di stasiun berikutnya. Ia berjalan kesana kemari, memeriksa satu persatu orang yang ditemui, apakah si gadis yang jeruknya telah ia tumpah ruahkan di dalam trem. Sayang, hingga hari berakhir, tak ia dapatkan gadis yang ingin sekali ia tahu namanya, sekaligus bila ia tidak tersinggung Jan Olav mau mengganti kerugian atas jeruk-jeruknya, atau sekadar untuk mengucap maaf.

Sejak saat itu, Jan Olav terus mencari Gadis Jeruknya ke seluruh penjuru kota bahkan lintas negara. Sambil menggunakan nalar kedokterannya, ia mencoba mendiagnosis seluruh gejala yang ditampilkan gadisnya. Beragam terkaan ia semat sambil menghubung-hubungkan tempat apa yang kira-kira cocok dengan diagnosanya. Mulai dari sudut-sudut kota, kafetaria, pasar buah, bahkan hingga ke Spanyol tempat jeruk-jeruk itu tumbuh.

Dalam pencarian itu, beberapa kali Olav bertemu dengan Gadis Jeruknya secara kebetulan meski tanpa kata-kata. Hingga satu pertemuan di malam Natal yang menjadi tanda bahwa cinta Olav bersambut. Gadis Jeruk punya perasaan yang sama, namun memintanya untuk menunggu selama enam bulan untuk tidak bertemu, agar enam bulan setelahnya mereka bisa bersama setiap hari. Gadis Jeruk membuat sebuah aturan untuk kehidupan cinta mereka. Buatnya, dalam hidup manusia perlu untuk merindu.

Keteguhan hati Jan Olav mencari dan menanti gadisnya ditulis apik dan mengalir oleh penulis asal Norwegia, Jostein Gaarder dalam buku karyanya berjudul Gadis Jeruk. Lewat pencarian Jan Olav atas gadisnya, Gaarder mengajak pembaca berkeliling Eropa dengan menyuguhkan deskripsi geografis kota-kota Eropa secara detil.

Namun, kisah tersebut hanyalah sebuah awal kepada perbincangan soal hidup yang ingin disuguhkan oleh Gaarder. Melalui kisah ini, paling tidak ia ingin mengajak pembaca memikirkan apa yang ada ketika ruang dan waktu belum tercipta. Apa yang mengisi jagat raya sebelum dentuman besar membentuknya. Akankah ia tetap hadir bila satu saja prakondisi menujunya gagal dilaksanakan. Masih mungkinkah seorang balita 3,5 tahun bernama Georg bisa menghirup udara bumi ketika Jan Olav dan Gadis Jeruk tak mau lagi mematuhi aturan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk memadu kasih?

Dan apabila jabang bayi Georg harus menentukan pilihan untuk hidup apa yang akan ia pilih? Atas hal tersebut dengan yakin Georg-sebagai representasi manusia-telah menjatuhkan pilihan untuk menjalani kehidupan dengan segala konsekuensi yang mesti diterima.

Bahkan untuk memasuki alam hidup, manusia tidak hanya tinggal memilih. Melainkan mesti berkompetisi dengan ribuan sel lain untuk menjadi janin. Kita tidak lain dari sperma pemenang yang berhasil menyelesaikan kompetisi ketika sampai di ovum.

Maka, tidak ada satu kejadian pun yang terjadi secara kebetulan. Semua yang ada merupakan prakondisi yang memang mesti disiapkan untuk sampai di tujuan akhir.

Namun, bila manusia dan seluruh jagat raya sudah ada di titik akhirnya, apakah yang akan terjadi kemudian? Karena tidak pernah ada konsensus mengenai apa yang terjadi setelah kematian, Jan Olav pun masih menggunakan cara-cara manusia untuk menyampaikan pesan kepada anaknya bahkan setelah ia mati.
Lewat surat tersebut, Gaarder dalam sosok Olav gundah akan kemana kita setelah kematian? Ketika semua tidak ada, akankan ada sebuah ‘ada’?

Di tengah resah Gaarder memberikan tesis jitu kepada pembaca sekalian. Buatnya, hidup adalah dongeng. Rangkaian cerita yang mengalir dengan sebuah alur dan memiliki aturan-aturan khas, dimana kita tak perlu mempertanyakan dan mesti menurutinya. Sebagaimana Cinderella yang mesti rela meninggalkan pesta dini hari demi hidup bersama pangeran selamanya. Sebagaimana Jan Olav yang hatinya berdarah-darah lantaran menahan rindu tidak bertemu, sebaga syarat untuk hidup bersama dengan Gadis Jeruknya.

Kurnia Yunita Rahayu