Wednesday, March 20, 2013

Egois


Untuk pendengar musik musiman seperti saya, menggenggam hard disk berkapasitas satu tera bit membuat kekhawatiran over capacity tidak akan muncul. Karena meski cuma pendengar musiman, koleksi yang saya punya cukup banyak. Menyoal khasanah bermusik pun luas, hampir sempurna. Maklum, dulu saya masuk kategori maniak. Mengenai perubahan intensitas menggelutinya, saya tidak tahu persis bagaimana membahasakannya. Sebab terjadi dekonstruksi atas diri yang cukup dalam. Celakanya, hingga hari ini muncul kesulitan untuk mengkonstruksikannya kembali. Terjadi sebuah stagnasi. Dalam situasi yang sangat asing.

Keterasingan yang saya maksud tidak serumit ketika Karl Marx merumus alienasi yang terjadi pada manusia akibat adanya akumulasi kapital pada segelintir orang. Batasnya sudah saya buat dan jelas: ada situasi tidak mengenal diri sendiri. Saya tumbuh sebagai pribadi yang bermasalah dalam proses menjadi diri sendiri.

Termasuk persentuhan dengan musik. Malam ini, satu persatu folder dalam hard disk saya buka. Maksud dan tujuannya menghibur diri. Mencari pegangan untuk menguatkan diri, melalui stimulus karya para musisi. Sebab diri sedang ada di ambang batas tak menentu: antara mengorbankan hati untuk bertanggung jawab atas perilaku terlalu banyak menggunakan hati. Untuk memikirkan diri sendiri. Atau memertahankan hati.

Memang sama sekali bulan salah hati. Karena hati tidak bisa berjalan sendiri. Mungkin ia seperti ilmu pengetahuan, hanya mengikuti kehendak si empunya, sang pengguna. Meski banyak orang menganjurkan untuk mengguna hati, saya percaya, hati pun senantiasa menerima impuls-impuls dari luar, yang mencipta banyak keinginan. Makanya hati tak akan lagi bisa murni.

Di saat yang bersamaan saya telah memilih keduanya, mau bertanggung jawab tetapi tidak mau membiarkan secuil pun hati ini menjadi bopeng. Saya mau aman. Kondisi di sekitar tetap stabil, dan hati saya tidak terusik. Picik sekali. Jahat sekali.

Sekali ini tidak ada lagi yang membiarkan kepicikan ini atas nama apapun. Baik itu toleransi, pengertian, kasih sayang, apalagi cinta. Saya pun bertanya-tanya, mengapa? Saya yang sadar betul kepicikan itu sering hadir karena kebodohan tidak bisa mengendalikan diri sendiri, bisa jadi sedang mencipta sebuah kejahatan yang jauh lebih beringas ketimbang korupsi. Sudah sadar saya ini, tapi tetap saja terus melakukannya.

Tidak ada satu pembenaran pun yang bisa dibenar-benarkan untuk mendukung saya. Termasuk niat untuk berlindung di balik dendang lagu-lagu. Setelah saya tilik satu persatu dari koleksi yang lumayan banyak itu. Tidak ada lagu bertemakan seorang melakukan kebodohan yang sudah ia sadari itu sangat bodoh. Satu-satunya yang melakukannya hanya saya. Ya, cuma saya di Galaksi Bima Sakti yang tahu di tahunya, ada sebuah bodoh. Tetapi tetap melakukan hal tersebut.

Celaka betul, bukan hanya sekali dua kali hal itu dilakukan. Tetapi sudah berulang kali, dan saya mulai curiga bahwa ia sudah berusaha curi-curi lisensi untuk jadi watak pribadi. Sebab ia bisa saja langsung saya lakukan tanpa pikir panjang. Tanpa pertimbangan apapun, kecuali kepuasan diri.

Lagi-lagi ada satu kecurigaan: jangan-jangan saya tidak waras. Ada gangguan psikologis dan biologis. Kerja dan koordinasi saraf-saraf dengan otak dan hati terlalu cepat meledak, dan cepat pula proses analisis apakah langkah meledak itu kontekstual dengan situasi yang dihadapi. Betul-betul celaka, hasil analisis kilat pribadi itu selalu mengatakan bahwa saya keliru. Jadi pada saat yang hampir bersamaan, saya sudah meledak kemudian ledakan tersebut tidak kontekstual.

Saya yang mendamba stabilitas lantas mau memperbaiki kesalahan di saat itu juga. Egois sekali. Tidak ada kata yang pantas ditulis kecuali lima huruf dalam konsep khas psikologi itu. Keegoisan itu kemudian mau saya limpahkan pada karya musisi dunia. Ternyata mereka menolaknya. Tidak bisa saya dapati lagu yang bisa memenuhi tujuan tersebut.

Musisi dunia sudah menolak saya….

Maka saya tidak punya tempat lagi untuk lari. Kini tersisa pilihan tanggung jawab dengan segala kesakitannya. Semesta tidak akan peduli seberapa dahsyat sakit itu. Yang dia tahu, manusia punya kuasa atas dirinya sendiri. Untuk menentukan hidupnya sendiri. Makanya, mesti bisa mempertanggung jawabkan semuanya sendiri.

Kurnia Yunita Rahayu

Monday, March 18, 2013

talking to the moon

at night when the stars 
light on my room
i sit by my self
talking to the moon, trying to get to you
in hopes you're on the other side talking to me too
oh, am i a fool who sits alone, talking to the moon 
do you ever hear me calling?