Thursday, August 1, 2013

Pemberi Mutu dari Genewa

Awalnya bertujuan untuk memenangi Perang Dunia, kini merembes ke dunia pendidikan.

Senjata yang mutakhir dan efektif memang jadi satu faktor kenapa Blok Barat (Amerika, Inggris, dan Perancis) memenangi Perang Dunia Kedua. Namun, siapa sangka sebelum Blok Barat menang justru senjata mereka sering memakan tuannya? Semasa Perang Dunia Kedua, khususnya di Inggris, banyak sekali ledakan saat perakitan bom di pabrik-pabrik mesiu.

Saking banyaknya kecelakaan, Pemerintah Inggris curiga bahwa prosedur perakitan senjata itu tidak berjalan semestinya. Untuk tindakan pencegahan, terbit standar manajemen BS 5750 yang jadi standar operasional bagi industri untuk menjalankan pabrik dengan utuh. Caranya dengan mendokumentasikan semua prosedur kerja, agar mutu produk dapat terkendali. Hasilnya memuaskan, Blok Barat memenangi Perang.

Senang dengan standar yang dibuat, pada 1946 pemerintah Inggris mengundang 25 negara untuk bertemu di Institut Teknologi London untuk menyosialisasikan standar manajemen BS 5750. Inggris meyakinkan negara lain bahwa standar yang dibuatnya punya banyak faedah supaya industri mampu mengontrol mutu produknya. Kemudian pertemuan tersebut menghasil International Organization for Standardization (ISO) yang resmi berdiri Februari 1947.

Dengan bukti dapat mengendalikan mutu senjata yang mampu memenangi Perang Dunia, ISO ingin berperan sebagai organisasi pemberi restu bermutu secara internasional. Ia kemudian menjelma sebagai mantri bagi perusahaan yang ingin sehat mutunya. “Banyak pihak yang tidak percaya terhadap mutu produk bila tidak punya standar dari ISO,” ujar Syafral, Auditor ISO Lembaga Pemerintahan Non Departemen Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (LPND/BPKP).

Hingga kini organisasi yang punya kantor pusat di Genewa, Swiss ini sudah memiliki 164 negara anggota termasuk Indonesia. Urusan penjaminan mutu juga tidak hanya sebatas manajemen perusahaan melainkan pemusnahan limbah pabrik, manajemen resiko, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kepuasan layanan bagi pelanggan. Ditambah keharusan dalam menaati prosedur yang berlaku.

Makanya, ISO punya beragam fokus standar mutu yang dikode seperti ISO 9000 untuk menajemen mutu, ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial (lebih jelas lihat tabel). ISO 9000 jadi yang paling banyak digunakan karena sifatnya yang fundamental mengenai kesehatan dalam manajemen dengan tujuan menciptakan produk yang laku di pasaran karena berprioritas pada kepuasan konsumen.

ISO 9001 menyediakan satu set prosedur yang mencakup semua proses krusial dalam bisnis. Seperti pengawasan dalam proses pembuatan produk, penyimpanan data dan arsip penting, serta pemeriksaan barang-barang hasil produksi untuk mencari unit-unit yang rusak. Kemudian dilanjut dengan melakukan tindak perbaikan secara efektif.

Ihwal produk yang laku di pasaran, makanya pada 1970-an perusahaan negeri di Indonesia mulai meminta restu bermutu dari ISO. Penyebabnya, saat itu banyak perusahaan asing yang hadir di Indonesia, “standarisasi (internasional) ini mampu membantu perusahaan lokal bersaing dalam dunia perdagangan internasional,” papar Syafral.

Di Indonesia, kemudian ISO mulai merangsek ke semua sektor. Niatnya tak jauh-jauh dari upaya internasionalisasi dan persaingan ekonomi. Belakangan sektor pendidikan kesengsem oleh sertifikat internasional dari ISO. Hal ini dilakukan, karena sektor pendidikan bisa jadi barang dagang yang potensial.

Greget mengenai mutu di dunia pendidikan dimulai saat keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. Dalam peraturan tersebut muncul rumusan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang kemudian mengeluarkan kebijakan agar tiap institusi pendidikan harus menyelenggarakan kegiatan penjaminan mutu. Demi memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen.

Lebih serius, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)-sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)-banyak menyisipi perihal mutu pendidikan dalam Rencana Strategis (Renstra) Nasional 2010-2014. Renstra tersebut berfokus soal penjaminan mutu berdasarkan optimalisasi pelayanan. Produk strategisnya berupa Sekolah Standar Nasional.

Kemudian ISO mulai diundang guna memantapkan penjaminan mutu. Kemdikbud mewajibkan Sekolah Standar Nasional memiliki Sertifikat ISO guna melangkah menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). “Sekarang ini (ISO-red) dijadikan nilai jual,” Jelas Syafral.

Di tingkat universitas, pada 2009 terbit pula kebijakan Kemdikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki sertifikat ISO.
Penjaminan mutu melalui ISO dirasa cocok atas konfigurasi liberalisasi pendidikan, yang diusung Indonesia setelah reformasi. Di universitas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) dengan maksud memberi otonomi penuh bagi universitas jadi garis awal.

Berteguh atas semangat kemandirian kampus dalam ranah pendanaan, penolakan RUU-BHP pada Desember 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengendur semangat. Setelahnya muncul kebijakan-kebijakan substitusi seperti Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang malah lebih jujur mempersiapkan universitas menjadi industri pengharap laba.

Konsep liberalisasi pendidikan menjadi sempurna ketika Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU-PT) legal. Dimulailah kegiatan akademis berlogika pasar bebas. Karena, lewat UU-PT, universitas asing kini bisa membuka cabang di Indonesia. Makanya, universitas di Indonesia kini punya tugas tambahan untuk menjual dirinya agar tidak kalah bersaing dengan universitas asing.

“Munculnya universitas asing seharusnya tidak menjadikan PTN rendah diri. Oleh karena itu, harus membuktikan diri dengan meningkatkan kualitas,” terang Nizam, Sekretaris Dewan Dikti. Untuk berada satu panggung dengan universitas asing, muncul kebutuhan standar-standar internasional. Makanya, membeli sertifikat dari ISO jadi langkah instan.

Pernyataan Nizam sejalan dengan target Dikti agar semua program studi di universitas negeri sudah memiliki sertifikat ISO. Maka berbondong universitas negeri membeli sertifikat ISO. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jadi salah satu yang reaksioner ikut-ikutan melabeli diri.

Pada 2009 ada tiga unit yang dibiayai UNJ untuk membeli sertifikat ISO: Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis, Jurusan Bimbingan Konseling, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan. Pada 2011 giliran Jurusan Sejarah, Jurusan Seni Tari, dan Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) yang dihadiahi sertifikat ISO oleh UNJ.  (Baca: Icip-Icip Mutu Internasional)

“Usaha (melalui ISO) ini tidak dapat dipisahkan atas target kampus menuju kancah internasional,” papar Sjafnir Ronisef, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) UNJ. UNJ menggunakan sertifikat ISO 9001-2008 mengenai penjaminan mutu yang didasari atas kepuasan mahasiswa sebagai konsumen mengenai layanan pendidikan di UNJ.

Meski bercita-cita dirinya bisa berkiprah dalam dunia internasional, sebenarnya UNJ belum punya konsep mengenai internasionalisasi, “tentang go international itu belum, saya belum memikirkan jauh kesana,” Kata Rektor UNJ Bedjo Sudjanto. Tapi UNJ tetap berani memasang target, “paling tidak tahun 2017 sudah tercapai,” lanjut Bedjo.

Terlepas silang sengkarut mengenai konsep internasional versi UNJ, paling tidak lewat ISO, UNJ telah menyiapkan dagangannya menuju pasar internasional. Dengan cara ini, UNJ berharap mampu menarik banyak konsumen agar membeli produknya.

Niat dimulai dengan menjual diri dengan baju internasional agar menarik masyarakat menjadi mahasiswa untuk berkuliah di UNJ. “Kita mencari merk, itu penting untuk orang tua dan mahasiswa baru,” kata Sri Harini Ekowati, Kepala Jurusan Bahasa Perancis UNJ menjelaskan motif institusinya ikut program ISO UNJ jilid satu.

Sertifikat ISO juga berguna untuk menarik investor agar menanam modal di UNJ. Lagipula, ini linear dengan status PK-BLU UNJ yang banyak memohon dana di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada perusahaan. Kepala Jurusan Seni Tari Didin Supriadi ikut merasakan faedah tersebut melalui ISO UNJ jilid dua, “tidak dipungkiri, dengan ISO kita lebih mudah dapat hibah (dari perusahaan),” ungkapnya.

Saat semua prosedur serta komponen lengkap dan berjalan dengan baik, UNJ percaya, ia akan jadi pedagang yang menghasilkan banyak untung. Asal, jangan pernah lupa, bahwa ilmu dagang lebih banyak menampilkan rugi ketimbang untung.


Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Laporan Utama

No comments:

Post a Comment