Thursday, August 1, 2013

Jejaring Korupsi Nazaruddin hinggap di UNJ

Bermula dari terbongkarnya jejaring proyek M. Nazaruddin, Korupsi UNJ mulai terbongkar. Rektor Bedjo Sudjanto diduga terkait kuat.

November 2011, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Fakhrudin Arbah ketar-ketir. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya harus tersandung kasus korupsi. Buatnya, posisi sebagai Pembantu Rektor yang mengurusi mahasiswa dan kemahasiswaan memang tidak punya banyak kesempatan untuk menyuburkan bibit korupsi.

“Saya stress luar biasa, sampai tidak bisa tidur. Keluarga sampai menyebut saya koruptor, pembohong,” Fakhrudin mengiba. “Belum lagi anak-anak saya yang mendapat tekanan dari teman-teman sekolahnya yang mengetahui berita tersebut.”

Korupsi memang tidak pandang bulu siapa saja bisa didapuk menjadi pembawa risalahnya, termasuk Fakhrudin. Karena kejahatan memang bukan terjadi cuma bermodal niat, tapi kejahatan turut mencipta kesempatan. Fakhrudin masuk dalam pusaran ini.

Mulanya dari sebuah proyek pengadaan alat laptop dan alat penunjang laboratorium. Total nilai proyek tersebut 17 miliar rupiah. Proyek tersebut merupakan proyek tahunan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Proyek ini bermasalah karena muncul dugaan penggelembungan dana sebesar 5 miliar rupiah. Indikasinya muncul karena mulai terungkapnya gurita korupsi yang dilakukan M. Nazaruddin Anggota DPR sekaligus Bendahara Umum Partai Demokrat.

Kasus ini melibatkan dua perusahaan tender milik M. Nazaruddin: PT Marell Mandiri, dan PT Anugerah Nusantara. PT Marell yang memenangi tender proyek tersebut, namun di tengah jalan ia tidak bisa melanjutkan proyek tersebut. Maka hadirlah PT Anugerah Nusantara sebagai pelaksana proyek hingga proyek ini selesai. Dua perusahaan itu satu konsorsium dalam Grup Permai milik M. Nazaruddin.

Sebenarnya indikasi korupsi sudah tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak semester pertama 2011 Namun, penyidikan selama 4 bulan tersebut terhenti karena KPK tidak banyak menemukan bukti yang memeperkuat. Baru pada November 2011 Kejaksaan Agung kembali memeriksa kasus ini dan mendapati Fakhrudin sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Tri Mulyono ketua Proyek sebagai tersangka dalam kasus ini.

Lewat surat perintah penyidikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 untuk Fakhrudin, dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011 untuk Tri Mulyono, mereka berdua resmi menjadi tersangka. “Saya kaget, saya belum sekalipun dipanggil oleh Kejagung tapi nama saya sudah disebut sebagai tersangka,” seloroh Fakhrudin.
Urusan menjadi komando dalam sebuah proyek harusnya jadi hajat Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, namun kampus mendapat proyek ini saat rektor Bedjo Sudjanto baru memenangi kembali kursi Rektor UNJ untuk kedua kali menyebabkan hal itu tidak terjadi.

Dalam periode kedua sebagai Rektor UNJ ada struktur yang berubah Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sebelumnya dijabat Syarifudin kini jadi milik Suryadi. “Pak Suryadi sendiri tidak bisa dijadikan PPK karena belum resmi menjabat, sedangkan Pak Syarifudin karena sudah lengser dan sudah banyak pegang proyek,” Bedjo Sudjanto mengklarifikasi pada acara Deklarasi Hari  Anti Korupsi (9/12) 2012.
Maka datanglah jabatan PPK sekonyong-konyong ke ruangan Fakhrudin. “Fakhrudin itu seorang yang lugu dan jujur, makanya jabatan ini disemat kepadanya.” lanjut Bedjo Sudjanto. ”Walaupun saya tahu ia tidak mengerti perihal teknis proyek.”

Fakhrudin yang ditunjuk langsung oleh Bedjo pun tidak bisa banyak berkutik. Ia yang mengaku sejak mengajar di UNJ pada 1984 tidak pernah mau berurusan dengan soal keuangan, kali ini menjadi orang linglung, “sekali ini saya tidak tahu kenapa menyetujui untuk menjadi PPK, saya seperti terbius,” ujar Fakhrudin.

Posisi Fakhrudin sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebenarnya rawan untuk dijadikan seorang PPK dalam sebuah proyek. Bukan cuma tentang posisi tapi juga soal kapasitasnya. Selain tidak pernah sekalipun berurusan dengan proyek ia juga tidak terdaftar sebagai pejabat yang tersertifikasi untuk menangani sebuah proyek pengadaan barang.

Sementara itu Tri Mulyono, dosen fakultas Teknik yang berduet bersama Fakhrudin sebagai tersangka kasus ini ogah berkomentar mengenai keterlibatannya, “saya tidak mau berkomentar karena saya cuma pelaksana teknis,” katanya kepada DIDAKTIKA (31/07).

Janggal Dari Awal
Selasa (6/12) 2012 Fakhrudin bercerita banyak kepada mahasiswa dalam rapat dengan pimpinan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membahas agenda studi banding UKM. Di sela-sela acara tersebut ia meluangkan waktu untuk mengklarifikasi kasus yang menimpa dirinya. “Ada (tanggapan) yang enak saya dengar, kemudian saya semakin teguh untuk menghadapi ini. Tapi ada juga yang membuat saya nggak bisa tidur,” katanya.

Sebelum datang, Fakhrudin mengaku menemui Rektor Bedjo untuk menjelaskan niatnya untuk bertemu mahasiswa dan menjelaskan kasus ini. Awalnya, Bedjo ragu-ragu akan kehadiran Fakhrudin untuk menjelaskan kasus ini, “kenapa berhadapan dengan mahasiswa? Nanti bisa nggak menyampaikan?” Ujar Fakhrudin menirukan Bedjo Sudjanto.

Sepak terjang Fakhrudin dalam proyek ini dimulai setelah keluar Surat Keputusan (SK) Kemendiknas atas nama Sekretaris Jendral Kemendiknas Dodi Nandika Nomor 5138/A.A3/KU/2010. Tertanggal 21 Januari 2010, ia resmi menjadi PPK proyek pengadaan sarana penunjang laboratorium.

Di lapangan Fakhrudin cuma bertindak sebagai asesor, saya tidak menyusun (dokumen). Jadi kalau dalam menyusun disitu memang ada salah, ya saya sebenarnya salah tanda tangan, karena saya nggak pernah baca. Ndak mungkin baca, kalau baca pun nggak ngerti juga,” katanya lugu.

Atas persetujuan-persetujuan yang dilakukannya, ia mengaku mendapat honor proyek yang memang dijatahkan oleh Rektor Bedjo. “Honor yang saya peroleh berdasar Surat Keputusan Rektor 500.000 per bulan dipotong pajak jadi 425.000,” aku Fakhrudin. “Saya bekerja diberi tambahan masa tidak ada penghasilan tambahan.” Di lain kesempatan, Fakhrudin menolak bila dikatakan ia menerima fee atas proyek tersebut. “Saya tidak menerima fee apapun,” aku Fakhrudin kepada Didaktika.

Dalam kerja-kerjanya Fakhrudin tidak sendiri, ia punya tim pengadaan barang di bawah koordinasinya, data yang didapat dari Kejaksaan Agung, panitia pengadaan barang ini sudah disahkan melalui SK Rektor Nomor 11.B/SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010. Mereka adalah Tri Mulyono (Ketua), Ifaturohiah Yusuf (Sekretaris), Suwandi (anggota), M. Abud Robiudin (anggota), dan Andi Irawan Sulistyo (anggota).

Idealnya, dalam sebuah proyek pengadaan barang panitia lelang dibentuk oleh PPK. Namun, dalam kasus ini Rektor Bedjo yang memilih. Pun penunjukkannya dilakukan lebih dahulu ketimbang pemilihan PPK. Makanya kemudian muncul indikasi keterlibatan Rektor Bedjo dalam kasus ini.

Hal ini diperkuat dengan adanya pengakuan Ahmad Rifai, pengacara Mindo Rosalina Manulang koordinator PT Marell Mandiri perusahaan yang terkait dalam kasus ini, “Rosa mengaku disuruh Nazar menemui Rektor UNJ pada 2010. Maksud pertemuan itu untuk proyek pengadaan Alat Laboratorium dan peralatan penunjang Laboratorium pendidikan,” Kata Rifai dikutip dari Koran Tempo, 15 Februari 2012.
“Dalam proyek kampus Nazar memang melakukan banayak lobi-lobi untuk meloloskan proyeknya,” tambah Ade Irawan Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada DIDAKTIKA (19/2). “Ia melobi Badan Anggaran (Banggar), anggota DPR, orang Dikti, termasuk pejabat kampus.”

Saat dikonfirmasi, Bedjo Sudjanto mengaku pernah bertemu dengan Nazruddin membahas perihal proyek, “saya pernah bertemu Nazaruddin dulu di sini (Gedung Rektorat),” Aku Bedjo. Namun, Bedjo membantah bahwa pertemuannya dengan Nazaruddin membicarakan kasus korupsi yang yang menimpa UNJ, “waktu itu ia (Nazaruddin) datang sebagai orang PP, ya kami membicarakan proyek PP.” Bedjo mengklarifikasi.

Bedjo juga menjamin ia tidak pernah mengintruksi untuk melakukan tindakan korupsi kepada bawahannya, “sekarang yang bisa membuktikan bahwa itu kasus korupsi siapa?” tukas Bedjo. Rektor Bedjo sendiri tak mau ambil pusing atas kasus ini, atau indikasi keterlibatannya. Proses pengusutan yang berlarut bisa menenangkan hati Bedjo. “Hingga saat ini kan belum terbukti,” tampik Bedjo.

Sementara itu, Fakhrudin belakangan merasa semakin tegar menjalani kasus yang berlarut-larut ini sendirian, “saya merasa dikorbankan disini, bila kemudian ada pelaku yang bermain di belakang itu benar-benar di luar pengetahuan saya,” ujarnya lirih. “Saya mau bawa Rektor sebenarnya, tapi tidak bisa karena namanya tidak ada.”

Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana

No comments:

Post a Comment