Wednesday, April 13, 2011

Sepotong Cerita dari Tanah Australia

Dini hari yang dingin menusuk ini menjadi semakin dingin ketika lantunan nada dari sepotong lagu berjudul Adelaide Sky terlintas di kepala ini. Terbayang dalam benak sebuah daerah indah, kota metropolitan dengan penduduk berperadaban maju, bahkan kini menjadi pusat peradaban akuntansi di dunia. Ya, itulah Benua Australia. Sebuah benua dengan perjalanan yang panjang untuk mencapai kesejahteraannya kini.

Sekilas yang tampak dari Benua Australia memang menimbulkan pertanyaan mengenai peradaban yang sangat “Eropa” mengapa timbul di daerah yang secara geografis sangat dekat dengan Asia Tenggara? Bukan cuma peradabannya ternyata, namun secara keseluruhan penduduknya pun bercirikan fisik Eropa. Sebenarnya apa yang terjadi dengan benua ini? Adakah sedikit ruang di otak kita untuk mengetahui mungkinkah ada penduduk asli di benua tersebut? Lalu dimana keberadaan mereka saat ini?

Hal ini tidak terlepas dari sejarah pendudukan benua Australia oleh bangsa Inggris yang terjadi berabad-abad lalu. Kawasan Australia pernah dilewati dan disinggahi oleh bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Mereka mungkin memicingkan sebelah mata pada saat itu, karena tidak melihat ada keuntungan yang bisa diambil dari daerah yang pada saat itu keberadaannya pun menjadi sebuah perdebatan diantara para ilmuwan dengan para agamawan. Namun hal yang sama tidak terjadi pada bangsa Inggris, ketika James Cook berkunjung dan melaksanakan penelitian atas kawasan ini, ia menilai banyak manfaat yang bisa diraih oleh bangsa Inggris apabila menduduki dan mendirikan koloni di daerah ini, terutama untuk menempatkan para narapidana yang pada saat itu jumlahnya sangat banyak di Inggris, membludak, seiring dengan merdekanya Negara-negara koloni Inggris di Amerika yang dulu digunakan sebagai “rumah” bagi para narapidana, sehingga mereka membutuhkan tempat penampungan lain, demi keamanan dan kenyamanan di Negara monarki tertua di dunia itu.

Ide pembuatan koloni di benua yang baru saja ditemukan itu akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Inggris, berangkatlah mereka berbondong-bondong dengan ribuan narapidana ada di dalam rombongan. Koloni pertama yang dibuka dan menaungi seluruh Australia adalah koloni New South Wales dengan beribukotakan Sidney, nama itu diambil dari nama menteri dalam negeri yang bertanggung jawab dalam pengiriman narapidana ke Australia, yaitu Lord Sidney.

Lalu yang menjadi menarik untuk dibahas adalah apakah mereka langsung menempati daerah baru yang didatanginya? Adakah hambatan-hambatan yang mereka alami dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru saja dikenalnya?

Perlu diketahui bahwa penduduk asli Australia, Suku Aborigin, dikabarkan sudah menetap disana sejak 30.000 tahun yang lalu. Mereka tergolong dalam ras Australoid dengan bercirikan kulit berwarna coklat (hitam kalau terbakar matahari), rambut ikal bergelombang, muka dan tubuh ditumbuhi bulu-bulu yang lebat dahi sempit atau mundur, rongga mata dalam, alis mata menonjol, rahang menonjol, mulut lebar, tulang tengkorak lebar, tinggi badan kira-kira adalah 5 kaki dan 5/6 inci.

Dari ciri-ciri tersebut, dua orang ahli yang bernama Elkin dan Needham menganggap bahwa manusia yang satu kelompok dengan penduduk asli Australia ini adalah Suku Bangsa Toala di Sulawesi, penduduk asli Sumatera, sebagian penduduk Irian, orang Sakai di Malaysia, orang Veddas di Srilanka, dan suku pegunungan asli di India Selatan. Pendapat tersebut sepertinya sesuai dengan bukti telah adanya hubungan orang asli Australia dengan para pelaut dari Makassar (Indonesia).

Dalam sebuah artikel panjang majalah Tempo tanggal 26 September 2004, menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang sangat baik dengan para pelaut Makassar yang mencari teripang di tanah Arnhem tepatnya di Pulau Elcho yang terletak 550 km dari Darwin. Penduduk setempat mengisahkan bahwa perlakuan bangsa Makassar terhadap mereka sangat baik, dihormati haknya sebagai tuan rumah, serta perlakuan baik itu disambut kembali dengan diterimanya para pelaut Makassar untuk menikahi perempuan-perempuan Suku Aborigin. Hingga sampai saat ini pun, keturunan hasil pernikahan-pernikahan tersebut masih menetap disana dan hidup sebagai Suku Aborogin yang selalu mengingat sejarah nenek moyangnya.

Menjadi sebuah kontradiksi ketika sekarang kita mengenal bangsa Australia yang berciri fisik layaknya orang Eropa. Mengapa suku asli yang sudah hidup ribuan tahun di tanah Australia menjadi kaum minoritas dan termarginalkan saat ini?

Ternyata ada sebuah catatan yang hanya sedikit jumlahnya, dan sering terlupakan oleh masyarakat dunia. Sejarah pembantaian dan pemusnahan penduduk asli Australia dimulai saat pembukaan koloni Tasmania. Catatan menyebutkan bahwa dilakukan kekerasan atas penduduk asli Tasmania oleh sekelompok pendatang kulit putih. Dalam waktu 50 tahun saja mereka dapat memusnahkan satu kelompok manusia yang dijuluki “Homo Tasmanianus”.

Pada dasarnya penduduk asli Tasmania bukanlah orang yang suka berperang. Namun naluri mempertahankan dirinya harus muncul ketika mereka kedatangan serombongan orang baru yang sama sekali tidak dikenalnya. Dalam pikiran penduduk asli, kedatangan mereka dianggap akan mengancam eksistensi mereka, ada semacam ancaman secara tidak langsung yang dikhawatirkan bahkan ketika para pendatang sekedar menginjakkan kakinya di bumi leluhur mereka. Hal tersebut disambut dengan baik oleh bangsa Inggris, mereka pun memiliki kecondongan yang sama, menganggap para penduduk asli adalah orang-orang yang tidak akan membuka diri dan akan menghalangi niat mereka untuk menempati tanah yang akan mereka olah dan miliki.

Dan dimulai lah penerapan hukum rimba di daratan Tasmania, terjadi sebuah penindasan atas kaum yang lebih lemah. Dalam hal ini, para pendatang Inggris memiliki keunggulan persenjataan dan taktik. Sementara para penduduk asli Tasmania yang latar belakangnya saja masih hidup dalam zaman batu, hanya memiliki niat dan tekad yang bulat untuk mempertahankan daerah yang menjadi tempat melangsungkan hidupnya. Hal ini menjadi jelas ketika kenyataan yang terjadi dalam waktu 50 tahun saja sudah musnah seluruh penduduk asli Tasmania. Memang tidak ada yang bisa dipersalahkan dalam permusuhan kedua kelompok penduduk ini, mereka sama-sama berjuang untuk kepentingan hidupnya masing-masing.

Dengan demikian maka nyatalah bahwa pembukaan koloni Inggris di Australia tidak berjalan dengan mulus dan damai, ada sejarah kelam yang memang hanya sedikit catatan mengenai hal itu. Hal yang mungkin belum dapat dimaafkan oleh para penduduk asli yang tersisa di Pulau Elcho. Dari penuturan salah satu penduduk yang mengatakan bahwa sejak dulu, orang-orang Inggris memperlakukan mereka seperti binatang sehingga sampai saat ini pun perlakuan mereka sangat tidak ramah dan cenderung kasar apabila kedatangan tamu orang Eropa.

Kedudukan penduduk asli pun jelas tergeser dengan adanya orang-orang Eropa yang semakin maju saja peradabannya. Selain itu mereka pun dapat memanfaatkan sumber daya alam Australia sampai menjadi Negara maju sekarang ini, sementara penduduk asli sampai sekarang juga masih hidup dalam ketradisionalannya.
Kini yang perlu ditekankan adalah, untuk alasan apa pun kekerasan terhadap manusia apalagi sampai membunuh dan melenyapkan sekelompok manusia dari peradaban adalah sebuah hal yang patut dipersalahkan. Memang pada zaman itu mungkin belum ada orang yang bisa bahkan belum terpikirkan untuk memperjuangkan hak asasinya di hadapan lembaga dunia, akan tetapi sejarah ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai hak hidup sesama manusia.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, April 9, 2011

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.


Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca hal. 473

Monday, April 4, 2011

Bilakah suatu saat nanti kami harus terbujur, berbaring, terkubur dan terus terpendam di dalam tanah, tenggelam bersama lenyapnya peradaban.

Kami berdoa semoga para arkeolog dari zaman apapun nantinya, akan menemukan artefak cinta kami.

Menjelaskan ke seluruh dunia bahwa pernah ada dua insan yang saling jatuh cinta.


Di suatu waktu manis, ketika aku merayunya melalui pesan singkat.

Kurnia Yunita Rahayu
Aku ingin menulis sebuah esei..

Rutinitas?

Rutinitas ini akan sampai pada titik "membunuh" apabila aku hanya mengikutinya.

Seperti sebuah kapasitor, sepertinya manusia juga akan sampai pada titik saturasinya. Ketika yang sebenarnya sangat disukai dilakukan berulang-ulang, dengan cara yang sama, melalui topik yang sama, sampai pada tingkat kelelahan yang menggila.

Bagaimana cara agar aku, kamu, kita, dan mereka tidak hidup hanya mengikuti arus? Rasanya sangat ideal seorang manusia mengharapkan hal macam ini. Namun kupikir ini penting, agar segala hal yang dikerjakan menjadi maksimal, aliran darah menderas secara normal, dan alunan nada analisis kehidupan menjadi semakin tajam.

Oh jadi apa ini yang ideal bagiku? Menginginkan hidup yang tidak terduga? Bukankah Dia pun sudah merancang makhluknya sebagai yang hanya dapat mengikuti rencanaNya? Jadi bagian mana dari hidup ini yang dapat aku sebut sebagai rutinitas? Jika semua tak bisa aku ketahui dengan pasti, lalu mengapa ada cetusan ide untuk menggunakan kata rutinitas?