Sunday, August 31, 2014

Jadilah Dewasa, Seperti Berlin

Entah apa yang dimau oleh pengatur semesta, selama seharian penuh Niko Fischer terus saja mengalami kesialan. Mulai dari pagi hari, ia diusir dari rumah kekasihnya karena salah paham. Niko menolak ajakan sang kekasih untuk menikmati pagi lebih lama berdua karena banyak urusan yang mesti dilakukan, tapi ia tak bisa menjelaskan. Hingga sepanjang hari, Niko tak bisa mendapatkan segelas pun kopi untuk diminum.

Perihal apa yang ingin dilakukan dalam hidupnya, Niko memang tak punya penjelasan. Ia seorang mahasiswa yang sudah dua tahun drop out dari Sekolah Tinggi Hukum di Berlin, Jerman dan harus menemui psikolog untuk dibuatkan analisis kejiwaan terkait pembatalan izin mengemudi. Bagaimana tidak, ia mabuk di jalan, saat sedang mengendarai mobil.

Sekali lagi, Niko memang tak punya penjelasan atas apa yang dilakukan dalam hidupnya. Sebab, ia pun menjalani semua tanpa tujuan. Oleh karena itu, ia tak risau saat dikeluarkan dari kampus, Niko tidak pernah merasa tertarik dengan kuliah hukum.

Kisah pemuda tanpa tujuan hidup ini menampakkan sebuah anomali di negara maju seperti Jerman. Dimana semua orang dan segala urusan berjalan teratur, rapi dan tepat waktu. Namun, ada seorang pemuda anak dari pengacara kenamaan tumbuh tanpa tujuan hidup. Kerjanya hanya berkeliling kota, luntang-lantung tanpa pekerjaan.

Sebagaimana sebuah anomali, bisa jadi kisah ini memang hanya ada dalam film besutan Sutradara Jan Ole Gerster berjudul Oh Boy. Melalui kisah Niko Fischer yang diperankan oleh Tom Schilling, Gerster mengajak kita untuk mengarungi kisah yang tidak lazim terjadi pada pemuda Jerman.

Film berdurasi 88 menit ini mengisahkan 24 jam yang menjadi titik balik dalam hidup pemeran utamanya. Niko baru merasa hidupnya ‘terusik’ saat ayahnya, Walter Fischer (Ulrich Noethen) tidak lagi mengirimkan uang ke rekeningnya. Lalu, pertemuan dengan beberapa orang baru dalam seharian penuh itu berhasil membuka cakrawalanya bahwa dunia ini luas, pun dengan permasalahannya.

Pertama, ia mesti bertemu dengan psikolog (Andreas Schroders) karena dianggap punya gangguan kejiwaan saat melanggar peraturan tak boleh mabuk saat mengemudi. Dalam scene ini, Niko dipaksa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, ada nilai, norma dan peraturan yang membatasi tindak-tanduk warga kota Berlin.

Kedua, sepulang dari kantor psikolog, Niko dikejutkan dengan kedatangan tetangga baru di apartemennya, Karl Speckenbach (Justus von Dohnanyi). Awalnya hanya memberikan semangkuk bakso untuk tanda perkenalan, namun tiba-tiba saja ia menangis tersedu di pundak Niko. Sambil terisak, Speckenbach mengutarakan bahwa ia mengalami masalah seksual tak tertahankan. Istrinya divonis menderita kanker payudara, untuk alasan kesehatan bagian tubuhnya itu mesti diangkat.

Ketiga, di sebuah kafe Niko bertemu dengan teman sekolahnya, Julika Hoffmann (Friederike Kempter). Awalnya, Niko tak mengenali Julika yang tiba-tiba saja menyapanya. Sebab, penampilan Julika berubah drastis. Di masa sekolah, Julika adalah gadis bertubuh gendut yang sering diejek teman-temannya, termasuk Niko. Ia biasa dipanggil Gay Julika atau Elephant Girl. Namun, kini Julika bertubuh langsing, tinggi semampai, berprofesi sebagai pemain teater surealis.

Penampilan baru Julika membuat Niko tertarik. Dalam beberapa jam saja, mereka saling mengenal lebih dekat. Julika banyak bercerita usaha keras untuk mengecilkan tubuh. Ada pengalaman traumatis yang disimpan Julika atas masa kecilnya.

Ketertarikan fisik pun muncul diantara keduanya. Hampir saja Niko dan Julika berhubungan seksual. Namun Niko menolak saat ia tahu motif Julika adalah balas dendam masa lalu. Ia ingin dapat pengakuan bahwa seorang perempuan bertubuh gendut dan tidak menarik pun bisa menaklukkan seorang pria tampan.

Jelang malam, Niko bertemu orang keempat yang memberi pengaruh paling besar dalam mengacak-acak konsep hidup tanpa tujuannya selama ini. Dialah seorang kakek tua (Michael Gwisdek) menghampiri Niko di sebuah bar lalu bercerita panjang tentang masa kecil dan masa lalu bar yang sedang mereka duduki.

Ceritanya sederhana, kakek itu suka bersepeda di sepanjang jalan yang kini dibangun bar. Ia tidak pernah ambil pusing saat orang-orang mengejeknya di jalan waktu ia mengendarai sepeda yang ukurannya terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil. Baginya, yang terpenting adalah ia bisa tetap bersepeda dan membuat orang lain bahagia walaupun dengan cara menertawakannya.

Sampai suatu ketika, jalan tersebut hancur, dipenuhi pecahan kaca hasil perbuatan warga setempat (termasuk ayah sang kakek) yang menimpuki kaca pertokoan. Aku menangis, kata sang kakek, karena apapun yang sudah terjadi disana, dengan pecahan kaca memenuhi jalan seperti ini aku tak akan bisa bersepeda lagi.

Usai menghabiskan ceritanya, habis pula kisah hidup sang kakek. Saat berjalan keluar bar, ia jatuh terkapar di depan pintu. Sontak Niko menolongnya, memanggil ambulans dan membawanya ke rumah sakit. Mungkin, itu kali pertama dalam hidup Niko merasa punya tanggung jawab atas sesuatu. Meski tak mengenal, bahkan nama panggilan sang kakek, ia merelakan diri mendampingi semalaman hingga dokter selesai menangani sakit kakek itu.

Film ini berakhir tanpa memberi tahu apa yang terjadi pada Niko Fischer sesudah menjalani 24 jam yang membuat hidupnya sedikit guncang. Hanya satu yang ditampilkan, di hari berikutnya Niko berhasil minum segelas kopi di sebuah kafe. Hal biasa yang tidak bisa didapatnya selama sehari penuh dan seakan jadi plot dalam film ini.

Namun, ekspresi sendu dari Tom Schilling serta gambar film yang hitam putih berhasil menyampaikan pesan perenungan hidup para tokoh dalam Oh Boy. Alunan musik Jazz dari The Major Minors dan Cherilyn MacNeil di sepanjang film pun berhasil menunjukkan bahwa pergulatan manusia dalam mencari tempat yang tepat untuk hidupnya di dunia ini, selamanya mungkin dilakukan. Sebagaimana lagu-lagu yang indah dan tak pernah usang tak lekang oleh zaman.

Selain itu, Oh Boy juga menampilkan tata kota Berlin secara detil. Mulai dari penempatan bangunan kantor, tempat tinggal, taman kota, pabrik, jalur kereta api, trem, penempatan lampu merah, dan perangkat kota lainnya. Menonton film ini anda dapat memahami tata kota Berlin yang legendaris dalam seketika. Sebagai ibukota negara, memang wajar bila kota ini nampak penuh dengan infrastruktur penunjang kehidupan negara dan masyarakat. Namun semua tersusun dengan teratur dan rapi. Nampak dewasa dengan segala kewibawaan.

Bertolak belakang dengan karakter Niko Fischer yang nampak sedang diejek oleh judul film yang ia merupakan tokoh utamanya. Oh Boy. Ya, Niko benar-benar masih seorang anak lelaki kecil yang malas untuk memikirkan hidup. Semoga 24 jam penuh pengalaman itu bisa membuatnya beranjak!


Kurnia Yunita Rahayu