Friday, June 14, 2013

Raih Prestise Lewat Sabung Ayam

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, seorang Antropolog asal Amerika Serikat “digerebek” di sebuah desa di Bali. Konon, ia yang kala itu ditemani istrinya, dikejar-kejar oleh segerombol polisi, karena ikut menonton warga setempat yang sedang menyabung ayam. Meski mencoba berkelit, polisi tak henti menginterogasi. Hingga identitasnya terungkap, lelaki yang kemudian dikenal bernama Clifford Geertz beserta istri adalah profesor yang ingin mengamati praktek-praktek sosial masyarakat di Bali, guna memahami sistem nilai dan pengetahuan yang berkembang disana.

Ayam Jago, dan acara Sabung-Ayam segera jadi perhatian Geertz. Pasalnya, kebiasaan masyarakat Bali yang satu ini jarang sekali dilirik oleh para ilmuwan. Padahal, menurutnya “seperti apa” orang Bali sesungguhnya mampu diungkap lewat berbagai unsur yang terkandung dalam sabung ayam.

Segera saja ia mengidentifikasi satu persatu makna yang ada di balik bentuk fisik sabung ayam dan unsur-unsurnya. Geertz memulainya dengan Ayam Jago (Jantan). Spesies hewan yang dijadikan petarung di arena sabung ini merupakan ungkapan simbolik atas ego lelaki yang narsistis terungkap dalam pengertian Aesopia. Kemudian, ayam itu adalah ungkapan dari apa yang dianggap oleh orang Bali sebagai pembalikan langsung, secara estetis, moral, dan metafisis, dari status manusia, yakni kebinatangan. Makanya, beberapa praktek budaya masyarakat Bali banyak melakukan hal tersebut, ritual simbolik sebagai perlambang untuk meninggalkan tingkah laku yang serupa dengan hewan. Semisal, mengikir gigi agar tidak nampak seperti taring, menjadi ritus pokok bagi remaja yang sudah memasuki masa pubertas.

Sabung Ayam bukan cuma soal keberadaan hewan, ritus ini dilakukan oleh masyarakat Bali dengan sebuah sistem yang ketat. Untuk hal ini, Geertz mengatakan bahwa orang Bali tidak pernah melakukan segala sesuatu secara sederhana, sehingga selalu berusaha membuat sesuatu secara rumit. Salah satunya mewujud dalam peraturan tentang taruhan. Berdasarkan hasil penelitian Geertz, terdapat dua macam pertaruhan. Pertama, taruhan pusat tunggal yang bersifat kolektif. Taruhan ini statusnya resmi, dilengkapi dengan ragam peraturan, dibuat antara kedua pemilik Ayam Jago, dengan wasit sebagai pengawas dan saksi publik, dan tentunya nilai taruhan relatif besar. Kedua, taruhan pinggiran di sekeliling ring, sifatnya individual, spontan, ada tawar menawar antar penonton.

Adanya sistem tersebut, memungkinkan kemunculan pertarungan dengan nilai taruhan yang tinggi. Sehingga tiap peserta sabung ayam mesti mempersiapkan binatang-binatang yang lebih baik, perawatan ekstra, nafsu berkelahi, dsb. Sederhananya, harus ada usaha lebih untuk membuat pertandingan menjadi benar seimbang. Untuk mencipta pertandingan yang menarik, pertandingan yang “dalam”.

Meski keuntungan besar jadi taruhan, hal ini bukan fokus dari orang Bali ketika menyabung ayam. Terdapat aroma solidaritas yang lebih kuat dari perihal ekonomi. Mereka datang secara bersama-sama untuk mencari kenikmatan, masuk ke dalam hubungan yang lebih menjanjikan sebuah kesakitan nantinya. Sebab, bukan lagi material yang jadi ukuran, kini dalam pertandingan mendalam, yang dipertaruhkan adalah penghargaan, kehormatan, martabat, kemuliaan, dan status.

Dalam sabung ayam, hirarki status orang Bali dipindah ke dalam susunan pertandingan. Sebab, seperti yang dituliskan Geertz, secara psikologis hal itu adalah representasi Aesopian dari kedirian jantan yang ideal, agak narsistis. Sementara secara sosiologis, sabung ayam menjadi representasi yang sama-sama Aesopian dari bidang-bidang ketegangan kompleks yang disebabkan oleh interaksi yang terkendali, membisu, seremonial, namun semua itu dirasakan mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ayam jantan bisa menjadi pengganti kepribadian milik mereka, cerminan binatang dari bentuk psikis. Namun, sabung ayam dengan sengaja dibuat sebagai matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok-kelompok yang bersilangan, bertumpang tindih, sangat terpadu, seperti desa, kelompok marga, persatuan irigasi, dan kasta.

Dengan sangat apik, Geertz mendeskripsikan bagaimana sistem makna yang dilahirkan dari ritus sabung ayam menentukan perilaku masyarakat Bali. Berkat sabung ayam, ikatan kekerabatan Orang Bali makin erat, karena tiap orang dari tiap marga pasti mendukung Ayam Jago dari kelompok marganya. Lebih dari sekadar mendukung, mereka juga pasti ikut serta dalam taruhan terpusat.

Namun, di balik ini, rasanya Geertz terlalu asyik mengidentifikasi simbol kemudian memahami sistem makna di baliknya. Mulai dari ayam, setelah bicara jauh soal ayam dan makna yang dibawanya kepada masyarakat Bali, ia tidak menjelaskan mengapa hewan tersebut menjadi penting di Bali. Baik mengguna perspektif fungsional atau doktrin agama, tidak terdapat penjelasan mengenai kemunculan ayam sebagai hewan yang merepresentasi kekuatan lelaki.

Kemudian, Geertz nampaknya membiarkan penelitiannya lepas dari unsur politis. Sabung ayam ia sebut mampu mengungkap identitas orang Bali, sekaligus merepresentasi kekuatan kaum lelaki. Ada kecendrungan meminggirkan kaum perempuan, yang tentunya sejalan dengan budaya patriarki dan sistem kekerabatan patrilineal yang kuat mengakar di Bali.

Terakhir, buat Geertz, sabung ayam adalah hubungan-hubungan status. Dan hubungan-hubungan status adalah soal hidup dan mati bagi masyarakat Bali. Prestise adalah sebuah bisnis teramat serius yang paling mencolok di Bali, baik di desa, keluarga, ekonomi, maupun negara. Hal ini merupakan sebuah perpaduan khas peringkatan gelar Polinesia dan kasta-kasta Hindu, dimana hierarki kebanggaan merupakan tulang punggung moral dari masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, tentunya ada kecendrungan untuk melanggengkan dominasi kasta dominan dalam pertandingan sabung ayam. Karena secara teknis pertandingan, tidak ada Ayam Jago dari kasta berbeda dijadikan lawan tanding. Ayam yang kuat, dirawat secara khusus, dan berpotensi untuk menang hanya akan muncul dari kelompok kasta yang mapan secara keuangan. Maka soal status dan prestise yang membanggakan, tidak akan pernah mampir di kelompok kasta yang punya tingkat kesejahteraan pas-pasan.

Kurnia Yunita Rahayu

2 comments:

  1. Bingung, gue, kayanya dari penjelasan di atas sabung ayam di manapun, yang sudah mengakar jadi tradisi ya, juga punya mekanisme begitu, taruhan dalam luar, strata sosial si pemilik ayam melalui partai pembuka dan utama? Apa yang khas dari sabung ayam di bali? Saya gak dapet deh,

    ReplyDelete
  2. Nice Post !!!!

    BOLA899 merupakan Live Master Agent Betting House yang terbaik dan terpercaya dari semua Betting House lainnya.

    Gabung dengan kami dan dapatkan bonus sbb :

    PROMO SPORTBOOKS (COMMISION 0.25%)

    - BONUS DEPOSIT 20% UNTUK NEW MEMBER
    - BONUS NEXT DEPOSIT 5%
    - CASHBACK MINGGUAN 5% - 10% (DI HITUNG SETIAP HARI SENIN)

    PROMO CASINO

    - BONUS DEPOSIT 5% UNTUK NEW MEMBER
    - ROLLINGAN CASINO 0.8% (KHUSUS PRODUCT CASINO021)

    PROMO BOLA TANGKAS

    - PROMO BONUS 10% SETIAP DEPOSIT

    PROMO REFERENSI

    - BONUS REFERENSI SEBESAR 5% DARI DEPOSIT PERTAMA TEMAN YANG ANDA REFERENSIKAN

    Mengapa anda harus memilih Agen kami?

    - Pelayanan Costumer Service 24/7
    - Ditangani oleh orang - orang yang profesional
    - Turn over ringan untuk semua produk
    - BONUS menarik dan up to date
    - Kerahasiaan data anda terjamin
    - Proses DEPO / WD CEPAT cukup 2 MENIT!

    Untuk info lebih lengkap, hubungi kami di :

    * YM : Bola899_cs1
    * YM : Bola899_cs2
    * YM : bola899_cs3
    * Pin BB : 52E17695
    * We Chat : Bola889
    * Phone : +85587378951
    * Live Chat : http://bola899.com/

    Agen Bola | Agen Casino | Bandar Bola

    ReplyDelete