Friday, February 22, 2013

Mark O’Brien dan Eudemonisme


Judul : The Sessions
Rilis : 2012
Produksi : Fox Searchlight Pictures
Sutradara: Ben Lewin
Pemain : John Hawkes, Helen Hunt, William H. Macy

Mark O’Brien (38) tidak pernah menyangka bahwa seluruh hidupnya akan dihabiskan di atas tempat tidur. Ia menderita polio sejak berumur enam tahun. Berkat penyakit tersebut, sekujur tubuhnya lumpuh. Untuk berkegiatan sehari-hari, tak pelak ia pun membutuhkan bantuan orang lain.

Bukan hanya lumpuh, Mark juga mengidap kelemahan akut pada sistem pernapasannya. Sehingga ia mesti membawa kemana-mana sebuah paru-paru besi yang jadi alat bantu untuk bisa bernapas lebih lama. Buat Mark yang seorang katolik taat, tidak selamanya Tuhan bersikap serius dalam mengurusi makhluk-Nya. Sebagai bukti, ia jadikan dirinya sebagai prototype ciptaan ketika Tuhan sedang bergurau.

Meski hidup dalam kurungan kekurangan fisik, lelaki asal California, Amerika Serikat (AS) itu dianugerahi ketajaman berpikir dan bakat ciamik dalam beretorika. Berbekal kemampuan tersebut, Mark menyelesaikan kuliah di UC Berkeley kemudian bekerja sebagai seorang jurnalis dan penyair di salah satu surat kabar kenamaan di AS.

KIsah hidup Mark O’Brien yang penuh kegigihan ini diabadikan dalam sebuah film yang disutradarai oleh Ben Lewin. Dibintangi John Hawkes, tokoh Mark O’Brien mampu membius penonton lewat tatapan mata dan mimik muka yang memelas.

Di suatu siang, Mark mendapatkan tugas dari surat kabar tempatnya bekerja untuk menulis artikel  bertemakan Seks dan Kerusakan. Setelah menerima mandat tersebut, Mark melakukan wawancara ke beberapa narasumber pelaku seks yang juga mengidap disabilitas. Merasa tak cukup mendapat bahan untuk menulis, ia memutuskan untuk melakukan aktivitas seksual demi memaksimalkan tulisannya. Karena buat Mark, karya itu mesti punya jiwa, dan ia akan hadir ketika sudah ada pengalaman langsung. 

Melakukan aktivitas seks bukan hal yang mudah dilakukan Mark seperti lelaki pada umumnya. Ia yang hampir tidak bisa menggerakkan tubuhnya tidak pernah tahu bagaimana bisa melakukan hubungan tersebut, meski ia punya sensitivitas dan libido serupa dengan lelaki lainnya. Penisnya selalu ereksi ketika ia dimandikan oleh pelayan perempuan.

Keinginan bersenggama kemudian diwujudkan Mark dengan menyewa jasa seorang terapis seks. Melalui salah satu seksolog di kotanya, Laura White (Blake Lindsley), ia dikenalkan dengan Cheryl (Helen Hunt), seorang terapis seks profesional. Sebagai terapis, Cheryl bertugas untuk membantu kliennya yang mengalami hambatan dalam berhubungan seksual. Termasuk Mark yang sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas seksual.

Mark yang hampir tidak pernah menggerakkan tubuhnya bingung saat harus berhadapan dengan sang ahli. Beruntung, Cheryl cukup mumpuni dalam melakukan tugasnya. Dalam rangkaian terapi enam sesi ini, Mark berhasil mencapai orgasme sebelum pertemuan terakhirnya.

Hubungan kerja ini kemudian melibatkan emosi. Mark dan Cheryl jatuh cinta. Emosi cinta meluap hebat dari tatap mata dan mimik pasrah namun percaya diri dari sang lelaki. Tetapi, dunia manusia selalu dipenuhi kisah putus cinta. Cheryl yang sudah menikah dan berkeluarga tidak mau menerima kenyataan ini. Begitu pula Mark, ia tidak ingin merusak rumah tangga terapis pujaannya. Mereka berpisah setelah sesi terapi yang penuh kenangan itu selesai. 

Meski hidup dengan kekurangan fisik yang lengkap, Mark tidak henti-henti berusaha membuat hidupnya bermutu. Persis dengan yang dikatakan Filsuf Yunani Aristoteles ribuan tahun silam. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia mesti  menggunakan akal budi untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya.

Ketajaman pikiran, kemampuan bersyair, tak disia-siakan Mark untuk mencipta berjuta puisi yang membuatnya bahagia. Sebagai penyandang disabilitas, ia tidak berhenti pada keputusasaan. Sisa kekuatan yang ada di mulutnya digunakan buat mengigit pensil kemudian mematuk-matukannya kepada mesin ketik untuk menuliskan sajak-sajaknya. Melalui syair-syair tersebut pula kini kita masih dapat bercengkrama dengannya.

Pada hakikatnya menurut Aristoteles,  terdapat dua potensialitas dasar pada manusia. Akal budi dan sifat sosialnya. Roh dan kesosialan. Dua hal tersebut merupakan bagian khas dari manusia. Oleh karena itu, buat Aristoteles filsafat yang mengembangkan roh membahagiakan. Filsafat Kristiani kemudian mengembangkan dimensi itu. Yang paling membahagiakan adalah kontemplasi atas Allah. Sedangkan kesosialan manusia terlaksana dalam kehidupan di keluarga, dan di masyarakat.

Soal kontemplasi atas Allah, Mark O’Brien melakukannya dengan sempurna. Ditampakkan dalam film besutan Ben Lewis setiap hari sebelum tidur serta saat baru membuka mata, Mark selalu menyempatkan diri berbincang dengan lukisan Bunda Maria yang terpajang di dinding kamarnya tentang apapun yang sudah dilewati sepanjang hari. 

Tidak hanya itu, Mark pun menunjukkan diri sebagai seorang Kristiani yang baik. Ia kerap kali datang ke Gereja untuk mengakui dosa-dosanya pada Bapa Brendan (William H. Macy)-pastur yang kemudian bersahabat karib dengan Mark. Hingga Mark tiba pada keinginan untuk bisa bersenggama tanpa menikah, ia pun mendiskusikannya dengan Sang Pastur. Meski Bapa Brendan sempat menolak memberi restu, namun ia pun merasa disapa Tuhan, “mungkin itu kebahagiaan kecil untukmu,” katanya merestui Mark.

Dalam dimensi sosialnya, Mark O’Brien membangun relasi yang baik dengan para pelayannya, Cheryl, Bapa Brendan, serta teman-teman sekerja. Hingga akhir hayatnya, orang-orang itu setia mendampingi Mark sampai ke liang kubur. Sementara sibuk mengurus dirinya yang lumpuh, Mark masih berupaya untuk memajukan masyarakatnya, paling tidak melalui sajak-sajak dan artikelnya yang paling terkenal On Seeing a Sex Surrogate.
 
49 tahun hidup Mark O’Brien telah menunjukkan sebuah kebijaksanaan dalam rangka membuat hidupnya bermakna dan tidak sia-sia digerogoti penyakit. Dengan berbagai usaha dan kegigihan, lelaki berparu-paru besi itu pun mendapatkan kebahagiaan kecilnya sebelum ia pergi ke surga: ia mendapat cinta baik secara fisik maupun emosional.

Kurnia Yunita Rahayu

Friday, February 8, 2013

Positivisme: membunuh kemanusiaan, mereduksi ilmu pengetahuan

Banyak orang memulai ihwal positivisme dengan penjelasan bagaimana ia lahir sebagai penerapan metode-metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Kesuksesan besar ilmu alam dalam rangka mengungkap fakta dianggap mampu diadopsi oleh semua disiplin ilmu. Namun siapa sangka, hal ini justru jadi senjata yang menikam ilmu pengetahuan maupun manusia dalam dimensi kemanusiaannya.

Dengan adanya positivisme, unsur subyektifitas manusia dalam ilmu pengetahuan dieliminir. Bagaimana tidak, paradigma yang berkiblat pada metode ilmu alam ini biasa menelaah hal-hal yang statis. Sedangkan medan kajian ilmu sosial adalah tindakan sosial, yang terdiri dari perilaku manusia, tentunya senantiasa berubah. Maka, terdapat keyakinan, bahwa kepentingan manusia tidak ada hubungannya dengan pengetahuan. Untuk itu, rasanya menjadi penting untuk membahas terlebih dahulu sejarah pemisahan pengetahuan dari kepentingan manusiawi.
Cara-cara semacam itu sebenarnya belum ditemukan pada zaman Yunani Kuno. Masyarakat pada zaman itu justru menganggap sebuah teori punya keterkaitan erat dengan kehidupan nyata. Hal tersebut diwujudkan secara utuh dalam konsep bios theoretikos. Suatu bentuk kehidupan, “jalan” untuk mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat), maka dengan jalan itu, manusia mampu mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dengan teori, manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan.
Pemisahan antara pengetahuan dengan kepentingan manusiawi mewujud dengan pemberian garis batas antara teori dan praxis. Hal ini dimulai dengan kelahiran ontologi dalam sejarah pemikiran manusia. Kelahirannya sendiri dibidani oleh hadirnya pemikiran filosofis di masyarakat Yunani. Pemikiran filosofis, mengartikan teori sebagai “kontemplasi atas kosmos”. Dengan pengertian tersebut, maka muncul pemisahan antara Ada dan Waktu, yang menjadi representasi dari keterpisahan antara yang tetap dan yang berubah-ubah.
Maka manusia juga membuat pengertian tentang hakikat, yakni inti dari sebuah kenyataan yang tidak berubah-ubah. Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan yang tetap, filsuf berkehendak untuk menerapkan pemahaman konseptualnya ke berbagai situasi. Pemahaman semacam itu disebut pengetahuan sejati, dan untuk mencapai pengetahuan sejati, teori mesti dimurnikan dari unsur-unsur yang berubah-ubah, yakni dorongan dan perasaan subyektif manusia sendiri. Sikap mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari dorongan empiris ini disebut “sikap teoretis murni”. Kelahiran ontologi, jelas telah memisahkan teori dari kehidupan praxis manusia.
Aksi pemurnian pengetahuan dari kepentingan manusiawi kemudian dilanjutkan oleh dua aliran utama filsafat, Rasionalisme dan Empirisisme. Yang disebut pertama tentu dipelopori oleh Plato. Ia menyatakan bahwa pengetahuan sejati bersifat apriori dan melekat pada rasio manusia sendiri. Pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yang menangkap idea-idea. Untuk itu, manusia harus membersihkan pikirannya dari unsur yang berubah-ubah agar mampu menembus kenyataan. 

Pada jalur kedua, berdiri Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Buatnya, pengetahuan berasal dari pengamatan empiris, bersifat aposteriori. Maka tugas manusia mengamati sesuatu yang berubah-ubah kemudian melakukan abstraksi. Sehingga dari hal-hal partikular, dicapai sesuatu yang universal. Dalam melakukan abstraksi ini pun manusia tidak bisa tidak, harus membersihkan diri dari unsur yang berubah-ubah.
Kedua aliran ini kembali muncul pada filsafat modern. Baik Rasionalisme yang diteruskan oleh Rene Descartes, Malebranche, Leibniz, Spinoza maupun Empirisisme yang dilanjutkan oleh Hobbes, Locke, Hume, dan Berkeley, berusaha mencari teori yang bersifat ilmiah. Meskipun titik awal perolehan pengetahuan dari keduanya berbeda, namun mereka sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni hanya bisa diperoleh dengan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Setelah dukungan Rasionalisme dan Empirisisme untuk pemurnian pengetahuan dari kepentingan manusia, muncul Francis Bacon. Bapak Ilmu Pengetahuan Modern ini memelopori pengetahuan empiris-analitis yang kemudian menjadi ilmu alam, yang direfleksikan secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Kesahihan ini sekaligus melegitimasi ilmu alam sebagai pelanjut dari ontologi.
Pembersihan pengetahuan dari kepentingan mencapai klimaksnya kala Positivisme digagas oleh Auguste Comte. Positivisme merupakan awal pencapaian cita-cita diperolehnya pengetahuan untuk pengetahuan (bebas nilai), yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Ia menganggap pengetahuan yang sahih adalah sebuah fakta objektif. Dengan ini, pengetahuan yang melampaui fakta akan disingkirkan.
Positivisme membawa semangat “ilmu yang ilmiah” yakni ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang disandarkan pada model teori ilmu alam. Maka “sikap teoretis murni” jadi tuntutan utama bagi ilmuwan sosial. Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial pun menjadi bersifat positivistik. Sifat ini mempunyai tiga prinsip utama yang saling berkaitan. Pertama, metodologi ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan ke dalam hukum-hukum tetap. Ketiga, ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
Positivisme bukan sekadar menjadi aliran teori pengatahuan, namun sudah menjadi paradigma dan suatu kesadaran manusia dalam berpengetahuan. Dalam abad ini, pemikiran positivistik tampil dalam gagasan-gagasan Lingkungan Wina. Mereka memiliki semangat untuk menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang terpadu sebagai perwujudan pengetahuan sejati umat manusia.
Memuncak pada positivisme kontemporer, pemikiran manusia sendiri yang telah menghancurkan konsep bios theoretikos. Sebab, mereka masih mewarisi dua prinsip penting dari ontologi. Pertama, sikap teoretis murni sebagai metodologi. Kedua, mereka masih meyakini bahwa struktur dunia dan masyarakat tidak tergantung dari subjek yang mengetahuinya. Positivisme telah membangung tembok tebal antara pengetahuan dan kehidupan praxis.[1]
Bagaimanapun, penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu sosial mengandung masalah. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa kenyataan sosial terdiri dari tindakan manusia yang tidak dapat dibakukan dalam hukum-hukum tetap seperti fakta alam.[2] Oleh karena itu, sejak masa berkembangnya, hadir golongan yang  menolak Positivisme, terutama dari beberapa pemikir Jerman, mereka berusaha membebaskan metodologi ilmu sosial dari ilmu alam.
Mereka melakukan perdebatan metode yang mencari perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Diantaranya Windelband dan Rickert dari Mazhab Baden. Windelband membedakan ilmu-ilmu alam menyelidiki gejala pengalaman yang dapat diulang terus menerus sehingga dihasilkan hukum (ilmu nomotetis), sedangkan ilmu sosial budaya meneliti peristiwa individual unik yang sekali terjadi (ilmu ideografis).  Kemudian perbedaan tersebut diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) untuk ilmu budaya (geisteswissenschaften) dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften).
Jurgen Habermas, teoretisi sosial Jerman mengatakan bahwa positivisme dalam ilmu-ilmu sosial hadir sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam pada masyarakat selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif untuk saling pemahaman-intersubjektif. Oleh karena hakikat ilmu pengetahuan tampak dari aplikasinya, positivisme taraf metodologis ini akan menghasilkan teknologi sosial pada taraf sosial, dan teknologi sosial pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi. Di dalam sebuah teknokrasi total, peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’ disingkirkan. Yang terjadi disini adalah objektivisme: subjek hanya bertugas menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang obyektif. [3]
Kemudian, keberadaan positivisme jelas telah mereduksi ilmu pengetahuan. Reduksi ini sudah terkandung dalam istilah “positif” yaitu “apa yang berdasarkan fakta objektif”.[4] Dengan karakter seperti ini, positivisme ingin memisahkan fakta dari hal-hal yang sebenarnya terkait. Karakter ini menjadi rentan bagi positivisme untuk ditunggangi oleh kelompok dominan dalam rangka mempertahankan dominasinya.
Secara teoritis, Teori Kritis tampil sebagai subjek paling menonjol melakukan aksi penolakan. Ia memposisikan diri sebagai kritik ideologi, untuk membongkar selubung ideologis di balik positivisme. Terdapat dua taraf yang hendak disasar olehnya. Pertama, taraf teori pengetahuan, ia berusaha mengatasi positivisme. Kedua, taraf teori sosial, kritik ditujukan ke berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.[5] Pemahaman positivistik atas ilmu sosial mengandung relevansi politis yang sama beratnya dengan klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi sosial sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistik yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasio teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Pada titik inilah teori akan mendorong praxis hidup politis manusia.

Kurnia Yunita Rahayu

Daftar Pustaka
Hardiman, Budi F. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. 2009
Hardiman, Budi F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: 2003

[1] F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 28
[2] Ibid., hal. 29
[3] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 58
[4] Ibid., hal. 55
[5] F. Budi Hardiman, op. cit., hal. 34