Thursday, July 18, 2013

Merumus UNJ

Rawamangun, tengah kota Jakarta. Tidak seperti kawasan pusat kota lainnya, ia nampak bersahaja dengan perguruan tinggi negeri yang didirikan tepat di jantungnya. Mengapa bersahaja? Sebab bukan sembarang perguruan didirikan di tanahnya. Perguruan bukan sekadar penghasil orang-orang pintar. Tetapi perguruan yang punya tugas utama melahirkan kembali guru. Agen yang ada di posisi terdepan guna melaksanakan tugas pencerdasan bangsa.

Perguruan itu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta. Didirikan 49 tahun yang lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan guru, untuk melengkapi konfigurasi pendidikan nasional yang lebih berkualitas. Setelah negara mengutamakan pembangunan pendidikan secara horizontal dengan menyediakan guru-guru lulusan institusi setingkat sekolah menengah.

IKIP didirikan tidak hanya di Jakarta, melainkan di berbagai kota segenap penjuru Indonesia. Menawarkan paket lengkap dengan model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dengan keilmuan murni. Sempurna lewat jaminan pekerjaan guru bagi para lulusannya.

Namun, hal tersebut tak menarik antusiasme masyarakat. Sedikit orang terpanggil untuk menjadi guru. Mahasiswa IKIP didominasi mereka yang tidak lulus perguruan tinggi yang menjajakan ilmu murni. IKIP menjadi pilihan nomor dua bagi anak bangsa.

Meski dibebani tugas mulia melahirkan guru-guru bangsa, IKIP bukan sebuah entitas tunggal yang mampu tentukan nasibnya sendiri. Ia berada dalam lingkar faktor yang menjadi penentu eksistensinya. Pemerintah memberikan anggaran dana yang tidak sama antarperguruan tinggi negeri. Sialnya, porsi yang lebih kecil jadi jatah IKIP. Makanya, pengembangan kampus-kampus yang minim jadi sebuah konsekuensi logis.

Menjadi guru setelah lulus dari IKIP bukanlah kabar menggembirakan buat masyarakat, malah jadi bulan-bulanan. Mereka yang siap menjadi guru berarti mesti menyiapkan diri untuk hidup dalam belenggu kemelaratan, sebab tak ada jaminan kesejahteraan atasnya.

Guru pun tidak punya akses untuk bermain-main dalam gagasan untuk membuat dunianya lebih berarti, sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar mengajar. Tidak ada hak suara untuk menetukan kebijakan pendidikan. Kiprahnya dibatasi, hanya berkutat dalam aras operasional teknis yang ajeg.

Maka tidak heran, bila mahasiswa IKIP kian berkurang tiap tahun. Dari dalam diri IKIP pun tidak pernah terlihat prestasi kemajuan yang berarti, yang layak tercatat dalam sejarah. Akibatnya, kekecewaan merundungi tidak hanya masyarakat, tetapi juga bagi komunitas IKIP sendiri.

Di tengah situasi seperti ini, pengelola dan warga IKIP nampak tidak dapat meningkatkan posisi dan prestasi sebagai sebuah lembaga penting, sebagai satu-satunya lembaga penghasil guru. Karut marut keadaannya tidak dihadapi dengan serius. Alih-alih melakukan pembenahan yang mampu meningkatkan harkatnya, IKIP justru menghendaki diri berkonversi menjadi universitas. Rupanya ada hasrat yang mulai curi-curi lahir dari pemikiran warga IKIP. Mereka ingin bermetamorfosa, meninggalkan kehidupan sebagai IKIP dan segera menyambut diri yang baru, sebagai universitas.

Salah satu mantan Rektor IKIP Jakarta Conny Semiawan mengatakan, sebelum konversi datang bala bantuan dana dari Bank Dunia kepada IKIP untuk mengembangkan ilmu pendidikan. Sayangnya, pengembangan tersebut diterjemahkan untuk mengonversi IKIP menjadi universitas kemudian membuka jurusan-jurusan di luar kependidikan. Sehingga nampak fokusnya adalah penciptaan pasar.   

Dari segi antusiasme masyarakat, imbasnya memang signifikan, universitas eks-IKIP, termasuk Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berhasil menggaet ribuan mahasiswa. Namun, lebih dari satu dekade berlalu sejak konversi tersebut, universitas eks-IKIP nampak tetap tidak mampu memenuhi harapan masyarakat. Kualitas lembaga dan lulusannya kian hari kian dipertanyakan. Terutama dalam hal terkait pendidikan dan tenaga guru profesional.

Saking tidak percayanya, birokrasi yang semestinya memfasilitasi perkembangan universitas eks-IKIP pun enggan menoleh. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) pada 2005. Profesionalitas guru dirumuskan secara baku, dan perihal menghasilkan guru tidak lagi jadi hak tunggal universitas eks-IKIP. Siapapun boleh menjadi guru, asal mengikuti program pendidikan profesi yang disiapkan pemerintah.

Dalam keadaan ini, universitas eks-IKIP yang masih mengakui diri sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merasa punya hak sejarah atas penyelenggaraan pendidikan guru. Meminjam  istilah mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad ini merupakan titik dimana sekali lagi mereka mesti bermetamorfosa menjadi LPTK pasca-UUGD.

LPTK pasca-UUGD inilah yang kemudian mesti dirumus, sebab momen ini potensial untuk menjadi titik balik perbaikan diri. Asumsi bahwa LPTK tanpa perubahan bisa menghasilkan guru-guru yang diharapkan masyarakat sudah terbukti gagal. Maka merumus LPTK yang baru menjadi penting, untuk menetapkan hakikat LPTK yang dibutuhkan.

Beberapa tahun berjalan sejak kelahiran UUGD, LPTK mulai merumus identitas. Dengan menjadi lembaga penyelenggara program-program terkait dengan penciptaan guru profesional. Seperti Sertifikasi Guru dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Perubahan dalam komposisi mata kuliah pun dilaksanakan. Tidak ada lagi pelatihan mengajar bagi mahasiswa LPTK, mata kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) ditiadakan. Model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dan keilmuan ditinggalkan, berganti pada model pendidikan guru berkelanjutan.

Namun, rumusan LPTK pasca-UUGD nampaknya tidak bisa sesederhana dan terbatas pada perubahan format dan perubahan program. Dibutuhkan perubahan visi, orientasi, konsepsi, dan strategi. Hal tersebut hanya akan dicapai dengan membuat rumusan internal yang mendasar dan menyeluruh.

Ini berarti, kita mesti bekerja keras untuk membongkar tradisi yang selama ini terlembagakan. Di usianya yang ke-49, semestinya UNJ sudah bisa menunjukkan determinasi untuk merumuskan falsafah atau visi yang jelas. Sehingga tidak menjadi lembaga teknis administratif yang kerjanya hanya melaksanakan kebijakan pemerintah, yang bahkan tidak berpihak pada dirinya. 

Kurnia Yunita Rahayu

No comments:

Post a Comment