Saturday, September 24, 2011

Postulat Budaya ;)

Budaya bukanlah kategori untuk segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, tetapi budaya melekat atau tertanam di dalam segala sesuatu. 
Meskipun budaya itu bersifat abstrak, tetapi budaya bisa terlihat karena terekspresikan melalui tindakan atau perilaku dan benda-benda teknologis.

Sugeng P. Syahrie 

Perempuan adalah Rekan Laki-laki

Emansipasi tidak berarti perempuan ingin mengalahkan peran laki-laki, namun kesadaran untuk menjadi rekan dalam segala peran di masyarakat adalah hal yang terpenting.
Kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari sistem adat yang mempengaruhi jalan kehidupannya. Ragam suku dan budaya yang tersebar di lebih dari 13 ribu pulau turut menyumbangkan kompleksitas yang kadang memperumit posisi perempuan dan laki-laki sebagai manusia. Matrilineal, patrilineal, dan bilineal merupakan tiga sistem utama yang terangkum dalam berbagai adat di Indonesia. Dalam perjalanannnya, perempuan, yang sering terpinggirkan dalam sistem adat, mencoba mencari posisi legalnya dalam kungkungan sistem tersebut. Dalam pencarian, perempuan tidak bisa melepaskan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, perlu diketahui seberapa jauh Islam bersintesa dengan adat yang sudah turun temurun dilaksanakan.

Isu-isu besar yang diperjuangkan kaum perempuan adalah masalah perkawinan, poligami, kawin paksa, pernikahan dini, dan perceraian. Hak laki-laki yang lebih besar dalam beberapa hal tersebut membuat perempuan merasa tertindas. Apalagi dengan adanya adat yang memaksa perempuan untuk berdiam diri saja di rumah sabil menunggu laki-laki meminangnya. Perempuan yang mulai merasakan kejanggalan tersebut, kemudian menyadari pentingnya pendidikan untuk merubah keadaan.

Maraknya pendidikan sebagai salah satu isi dari Politik Etis, membuka mata Kartini (1879-1904) untuk menyuarakan kegelisahannya. Perempuan yang harus “dipingit” sehingga tidak dapat mengenyam pendidikan menjadi konsentrasi Kartini dalam isi surat-suratnya kepada kawan-kawannya di Belanda. Surat-surat Kartini yang nantinya menjadi inspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari jasa besar J. H. Abendanon dan istri yang menerbitkannya dalam sebuah buku.

Selain Kartini, perempuan yang juga menjadi pelopor gerakan perempuan adalah Dewi Sartika (1884-1947). Jauh sebelum munculnya gerakan feminisme Indonesia, Dewi Sartika dalam eseinya sudah menyuarakan masalah ketimpangan upah buruh perempuan dibandingkan buruh laki-laki. Perannya besarnya mendirikan sekolah-sekolah di Jawa Barat tidak dapat terwujud tanpa dukungan suaminya, begitupun Kartini aksi nyatanya membuat sebuah kelas kecil di rumahnya juga berkat dukungan ayah dan suaminya. Hal tersebut membuktikan bahwa peran laki-laki sebagai mitra perempuan, dapat mendukung kegiatan yang dicita-citakannya. Emansipasi tidak berarti perempuan ingin mengalahkan peran laki-laki, namun kesadaran untuk menjadi rekan dalam segala peran dalam masyarakat adalah hal yang terpenting.

Pemberontakan pemuda dan pemudi dari kungkungan adat, tergambar jelas dalam karya sastra yang lahir diantara tahun 1920-1940. Kebanyakan karya yang lahir berasal dari sastrawan Minangkabau yang menganut sistem adat matrilineal. Diantaranya Marah Rusli dengan Siti Nurbaja nya, Sutan Takdir Alisjahbana dengan Layar Terkembang. Sezaman dengan mereka, perempuan Jawa Soewarsih Djojopoespito juga menulis sebuah novel yang berjudul Manusia Bebas. Dalam novel ini, Soewarsih menggambarkan sepasang suami-istri yang begitu sadar akan perannya sebagai rekan dalam hidup.

Pergerakan perempuan Indonesia terbagi atas dua fase, fase pertama dibuka dengan kongres pada tahun 1928. Pada masa ini pergerakan perempuan dibentuk terpisah dari gerakan nasionalis Indonesia. Kaum perempuan menjadi sadar terhadap tugas yang harus mereka kerjakan sebagai “ibu bagi masyarakatnya” dan menempatkan mereka dalam tugasnya mendidik generasi baru. Fase kedua adalah setelah kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pergerakan perempuan aktif dalam membangun dan memperkuat Negara yang merdeka. 

Pendidikan yang terus berkembang berjasa besar bagi perempuan dalam meningkatkan kemandiriannya. Perempuan yang mengenyam pendidikan memiliki lebih banyak pengetahuan untuk melakukan hal-hal yang dapat menunjang hidupnya, sehingga tumbuh dengan penuh kepercayaan diri. Kepercayaan diri itu tumbuh karena mereka telah berubah menjadi perempuan modern. Perempuan yang dapat berguna bagi kehidupan rumah tangganya, yang sudah tahu harus berbuat apa apabila suaminya tidak ada. Kaum yang dapat merawat dan menghidupi dirinya sendiri. Yang tidak lagi merasa terpenjara dalam ketidakberdayaan yang akhirnya hanya membuat mereka mencari lelaki lain untuk menggantungkan hidupnya.

Kurnia Yunita Rahayu

Sunday, August 21, 2011

;)

Is it the look in your eyes or is it this dancing juice? Who cares, baby. I think I wanna marry you.
 Tergila-gila sama suara merdu penyanyinya.

Saturday, August 13, 2011

Tidur di motor itu, dosa ya?

Friday, July 8, 2011

Kita, yang Tak Pasti

Dua puluh delapan bulan yang lalu, kita bertemu dan saling berkasih tanpa ada kepastian. 
Kini, rindu dan cemburu berlomba untuk menjadi yang pasti.
Namun perjalanan kita masih panjang. Dan sekali lagi, tanpa ada kepastian.
Diiringi segala hal yang tak pasti, kita nikmati dua puluh delapan purnama bersama.
Kita menangis, tertawa, tanpa tahu pasti apa yang kan kita dapat.
Tapi aku tahu, ada sebuah keyakinan yang lebih penting daripada yang kita dapat-hilang.
Keyakinan yang menyelimuti kita saat arungi hujan dan kemarau yang makin tak pasti datangnya.
Dan di tengah cengkraman segala yang tak pasti, aku ingin merengkuh dunia, di dalam pelukanmu.
Di tengah segala hal yang tak pasti, aku lewati dua puluh delapan bulan indah bersamamu. Dan di bulan kedua puluh delapan ini, aku bertambah yakin untuk terus bersamamu.


Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, June 28, 2011

Merindu

Aku rindu melihatmu menari di atas sorotan lampu
Aku gundah tidak mendengar denting piano yang biasa mengiringi suara indahmu
Aku resah kehilangan suara gesek biolamu
Aku hilang arah tanpa puisi-puisi indahmu
Aku ingin habiskan malam bersamamu, lagi.. 

Kurnia Yunita Rahayu

Monday, May 23, 2011

Pendidikan Semu di Indonesia

Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, besar kemungkinan mereka dan kita setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.

Mencerdaskan kehidupan bangsa memang merupakan sebuah tujuan mulia dari pendidikan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Realisasi dari pernyataan tersebut pun sangat dinanti dan diinginkan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kenal status dan golongan, kita semua beramai – ramai menggantungkan cita – cita setinggi langit untuk mendapat hari esok yang lebih gemilang melalui dunia pendidikan sebagai medianya.

Berbondong – bondong lulusan SMA dan sederajat mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi dengan berbagai jenis seleksi masuk. Tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan hanya untuk membeli formulir yang bahkan tidak ada jaminan sama sekali untuk bisa diterima di perguruan tinggi. Namun, semua ini dilakukan dengan semangat yang membara-bara karena mereka ingin mencicipi manisnya kehidupan di dunia kampus.

Bagi anak – anak yang didukung oleh kemampuan orang tua yang mencukupi, mereka akan masuk ke perguruan tinggi yang menerapkan sistem jam belajar reguler, mulai dari pagi dan berakhir di sore hari, disertai dengan berbagai oraganisasi mahasiswa yang disediakan oleh lembaga, yang diharap dapat menyalurkan minat dan bakat serta aspirasi mahasiswa untuk mengkritisi keadaan di sekitarnya. Namun, bagaimana dengan anak – anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah? Mereka yang memiliki kesungguhan niat akan tetap mengejar pendidikannya walaupun dengan resiko mereka harus bekerja di luar jam belajar.

Dilatarbelakangi oleh banyaknya siswa – siswi yang lulus dari SMA atau sederajat memilih untuk bisa bekerja terlebih dahulu dan kemudian baru membiayai kuliah dengan hasil keringatnya sendiri, memicu menjamurnya universitas swasta yang menyediakan program kelas karyawan. Dalam hal ini mereka memfasilitasi anak – anak Indonesia yang sudah berstatus sebagai karyawan untuk bisa tetap kuliah di hari Sabtu dan Minggu.

Inisiatif tersebut, melahirkan begitu banyak perguruan tinggi di Indonesia, yang menurut Dr. Umasih jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai lebih dari 4000 lembaga dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Melihat fenomena seperti ini, tergambar jelas ada usaha dari pihak swasta atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan sampai ke jenjang yang setinggi – tingginya.

Namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar banyak dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan mungkin cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini. Dan hal ini menjadi pemandangan yang sangat lumrah bagi penduduk ibukota. Memang tidak bisa dipungkiri, tidak semua universitas melakukan hal seperti itu, namun universitas swasta yang memenuhi standar pun memungut biaya dengan jumlah setinggi langit.

Sepertinya pendidikan di perguruan tinggi kini telah mengalami penyempitan makna. Sarjana bagi sebagian besar orang, hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakangnya. Kuliah bermakna rutinitas yang harus ditempuh sebelum mendapatkan pekerjaan yang mapan. Setelah bekerja lalu akan berdatangan uang-uang yang dapat memenuhi segala kebutuhan. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?

Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, mengapa yang terpikir melulu hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Apakah fenomena hari ini sudah mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945?

Pasti banyak sekolah-sekolah serta perguruan tinggi yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi.

Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, May 21, 2011

Soeharto: Kesadaran Sejarah yang Memperkuat Kekuasaannya

Jumat, 20 Mei 2011. Setelah mengikuti dua sesi diskusi di ruangan sejuk sekretariat Bemj Sejarah dengan salah satu acaranya adalah bedah buku: Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru karangan Eep Saefulloh Fatah, dapat disimpulkan beberapa hal yang akan saya bagi disini.

Buku tersebut mencoba merekonstruksi konflik politik yang terjadi selama masa Orde Baru dengan tiga peristiwa yakni peristiwa Malari 1974, Petisi 50 tahun 1980, serta Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984. Untuk meredam segala konflik politik yang terjadi serta dalam rangka mengamankan pembangunan, yang sangat digencarkan oleh Presiden Soeharto pada saat itu, maka atas nama stabilitas politik otokratis dan ekonomi pragmatis dipraktekkanlah sebuah manajemen konflik. Dalam ketiga kasus tersebut, yang menjadi formula utama dalam manajemen konflik rezim Orde Baru adalah represi dan manipulasi.

Eep Saefulloh Fatah dalam buku ini mencoba menggambarkan bagaimana Orde Baru memenjarakan aktivis-aktivis mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa Malari 1974 dan Tanjung Priok 1980, serta bagaimana terjadinya pelumpuhan politik, bisnis, dan karir orang-orang yang ikut berkontribusi dalam Petisi 50. Represi dan manipulasi yang dijalankan secara apik dengan dukungan biaya yang juga tidak sedikit ternyata malah membawa Orde Baru pada fase kebangkrutannya.

Terlepas dari seluruh keadaan yang jauh dari nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada masa pemerintahan Sang Jenderal Besar tersebut, saya ingin mengungkap beberapa hal penting yang bisa dicermati dari era pemerintahannya.

Pertama, beliau menyadari fungsi penting militer sebagai pelindung negara. Bersatunya mahasiswa dan militer pada tahun 1966 ternyata dapat menjatuhkan tahta Ir. Soekarno, seorang Pemimpin Besar Revolusi, penggagas ide Demokrasi Terpimpin yang masa jabatannya hanya akan berakhir ketika kematian menghampirinya, bisa dikalahkan oleh persatuan mahasiswa dan militer. Peran Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat, memuluskan jalannya untuk menyatukan pihak ABRI dengan pemerintah. Ketika Pemerintah sudah bersatu dengan militer, niscaya sulit untuk diruntuhkan.

Kedua, Soeharto dengan gagasan pembangunannya juga berhasil menarik para pengusaha untuk bergantung pada pemerintah. Jadi pada saat itu, apabila para pengusaha ingin bisnisnya lancar maka dekati pemerintah. Bukan seperti yang terjadi hari ini, peran pengusaha berbalik terhadap pemerintah. Pemerintah seperti orang bodoh yang mengangguk-angguk saja pada pemilik modal. Modal berkuasa, kapitalisme makin gencar, kesejahteraan rakyat? Makin menjadi impian..

Ketiga, politik stabilitas berhasil membuat rakyat tidak sadar akan kebobrokan negaranya. Di masa 32 tahun kepemipinannya, beliau memprioritaskan "kenyangnya" perut rakyat. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, maka rakyat cenderung merasa aman, stabil, dan harusnya mereka beralih ke arah yang lebih jauh yaitu memikirkan negara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya seluruh rakyat mempercayakan urusan negara sepenuhnya kepada pemerintah. Karena apa?

Keempat, pendapat ini menjawab pertanyaan di atas. Rezim Orde Baru salah satu kesuksesannya adalah berhasil membuktikan bahwa pemerintahlah yang berkuasa atas negara ini. Pemerintah bagaikan macan yang dapat menunjukkan taring-taringnya dalam menyelesaikan seluruh persoalan negara.

Banyak yang bisa dipelajari pemerintah sekarang dari Orde Baru. Bukan dari sisi penyelewengannya, namun yang terpenting adalah manajemen negara yang dapat membuktikan peran serta kekuatan pemerintah. Niscaya, apabila pemerintah terus saja tidak berwibawa akan terjadi banyak pemberontakan dan ketidakstabilan di negeri ini.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, May 14, 2011

Celoteh dalam Kesendirian

Satu pernyataan paling egois yang pernah saya dengar adalah


"pokoknya jangan nyakitin orang deh kalau kita sendiri nggak mau disakitin"

Berlaku positif ternyata hanya untuk kepentingan diri sendiri, saya kira merupakan sebuah keegoisan.



And all i can taste is this moment
And all i can breathe is your life
Cause sooner or later it's over
I just don't wanna miss you tonight


Kaum intelektual muda seharusnya berani menyampaikan apapun pendapatnya meskipun belum memiliki dasar teori yang tepat. Berbeda pendapat atau berbeda pemikiran itu sangat wajar. Yang mengherankan adalah ketika tidak bisa membantah pemikiran orang lain kemudian segera menetapkan bahwa itu merupakan sebuah kegiatan indoktrinasi. Sarannya adalah, jadilah intelektual yang berani, bebaskan pikiran dari belenggu apapun, biarkan mulutmu menggelontorkan seluruh hal yang kau setujui. Jangan hanya menjadi pengecut dengan menggunjingkan pemikiran dari orang-orang yang tidak kau setujui.


Bicara lagi mengenai pendidikan dan dunia kampus, tolong ciptakan kehidupan kampus yang bersih. Dimulai dari kamar mandi yang bersih, koridor kelas yang bersih, pun pemikiran yang bersih dari segala sampah.


Berbagi pekerjaan dalam sebuah tim itu penting, merasa lebih kompeten itu juga penting. Namun satu hal yang lebih penting, percaya pada rekan satu tim akan memperkokoh pondasi persahabatan.


Begitu banyak tugas di satu sisi memberikan pelatihan kepada mahasiswa untuk biasa bekerja keras. Namun tidakkah para penggagas kurikulum ini menyadari, bahwa hal tersebut menghambat pengabdian yang harusnya dilakukan oleh mahasiswa. Lupakah mereka pada Tri Dharma Perguruan Tinggi?


Presiden makin giat meluaskan politik pencitraannya di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Secara tidak langsung hal ini berhasil menguak mental bangsa Indonesia yang masih mementingkan kulit dibandingkan dengan isi. Kenyataan ini nampak juga pada dunia pendidikan tinggi, negara ini memproduksi semakin banyak sarjana yang hanya memiliki modal ijazah, tanpa kompetensi yang sesuai dengan gelar kesarjanaannya.


Sejarah membuktikan bahwa pada masa awal renaissance teknologi dibuat dengan menjunjung ideologi social utility of science. Dan hari ini saya menjadi setuju bahwa tidak ada sesuatu hal pun yang diciptakan di dunia ini dengan bebas nilai, termasuk seni. Karena ketika kita menyatakan seni untuk seni dan memperjuangkan seni yang bebas nilai, sesungguhnya sedang terjadi pemaksaan masuknya sebuah nilai pada seni tersebut.



Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, May 3, 2011

Pendangkalan Makna serta Tujuan Pendidikan

Memperingati dan memaknai hari pendidikan nasional bukan hanya melaksanakan upacara bendera.
Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.

Sehubungan dengan momentum hari pendidikan nasional, mari kita bercermin, tataplah wajah pendidikan di Indonesia hari ini. "Mencerdaskan kehidupan bangsa"... Kalimat itu begitu akrab di telinga seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut sangat diinginkan oleh semua rakyat Indonesia, dari kalangan apa pun. Namun kini, apakah pendidikan sudah mencapai tujuannya yang begitu mulia itu? Jawabannya sungguh relatif. Banyak orang yang bisa dikategorikan sebagai pintar di Indonesia ini. Tidak jarang anak-anak Indonesia meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Sains Internasional. Hal ini membuktikan bahwa di satu sisi, pendidikan yang dilaksanakan sudah berhasil.

Lalu kembali ada yang harus dipertanyakan? Banyaknya prestasi yang diraih tersebut mengapa tidak diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan bangsa? Jawabannya sederhana, karena pendidikan terlaksana secara tidak merata. Memang sangat menyedihkan rasanya hidup menjadi rakyat miskin di negara ini, tidak pernah ada kebijakan yang menyentuh mereka. Pun jika kebijakan itu ada, entah mengapa dan bagaimana hal-hal mulia tersebut hanya akan menjadi mimpi indah belaka.

Pemerataan pendidikan diusahakan dengan didirikannya banyak perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi di negara ini mencapai lebih dari 4000 lembaga, dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Sekali lagi ini merupakan usaha pihak swasta, atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini memiliki tujuan yang sangat mulia, namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, hanya disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini.
Sepertinya arti pendidikan di perguruan tinggi telah mengalami penyempitan makna. Sarjana kini hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakang kita. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?

Adanya penggolongan rintisan sekolah bertaraf internasional pun begitu mengganggu idealisme pendidikan. Tidakkah kita ingat pendidikan di masa kolonial Belanda yang mengkotak-kotakkan lembaga pendidikan. Sekolah Pribumi, Sekolah Cina, dan Sekolah Eropa. Adanya penggolongan tersebut memperuncing perbedaan diantara penduduk Hindia Belanda dan memang ditujukan untuk meminggirkan peran pribumi dari tanah leluhurnya sendiri. Lalu keberadaan Sekolah Lokal, Sekolah Standar Nasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tidakkan merupakan usaha yang sama dengan yang dilakukan para penjajah di masa lalu, namun dilaksanakan dengan metode baru saat ini, dan betapa pedihnya ini merupakan kebijakan dari orang Indonesia sendiri.

Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, terutama yang duduk di kursi pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan seperti hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Pasti banyak sekolah-sekolah yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi?

Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya dan tidak terbatasi oleh uang.

Kurnia Yunita Rahayu

Wednesday, April 13, 2011

Sepotong Cerita dari Tanah Australia

Dini hari yang dingin menusuk ini menjadi semakin dingin ketika lantunan nada dari sepotong lagu berjudul Adelaide Sky terlintas di kepala ini. Terbayang dalam benak sebuah daerah indah, kota metropolitan dengan penduduk berperadaban maju, bahkan kini menjadi pusat peradaban akuntansi di dunia. Ya, itulah Benua Australia. Sebuah benua dengan perjalanan yang panjang untuk mencapai kesejahteraannya kini.

Sekilas yang tampak dari Benua Australia memang menimbulkan pertanyaan mengenai peradaban yang sangat “Eropa” mengapa timbul di daerah yang secara geografis sangat dekat dengan Asia Tenggara? Bukan cuma peradabannya ternyata, namun secara keseluruhan penduduknya pun bercirikan fisik Eropa. Sebenarnya apa yang terjadi dengan benua ini? Adakah sedikit ruang di otak kita untuk mengetahui mungkinkah ada penduduk asli di benua tersebut? Lalu dimana keberadaan mereka saat ini?

Hal ini tidak terlepas dari sejarah pendudukan benua Australia oleh bangsa Inggris yang terjadi berabad-abad lalu. Kawasan Australia pernah dilewati dan disinggahi oleh bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Mereka mungkin memicingkan sebelah mata pada saat itu, karena tidak melihat ada keuntungan yang bisa diambil dari daerah yang pada saat itu keberadaannya pun menjadi sebuah perdebatan diantara para ilmuwan dengan para agamawan. Namun hal yang sama tidak terjadi pada bangsa Inggris, ketika James Cook berkunjung dan melaksanakan penelitian atas kawasan ini, ia menilai banyak manfaat yang bisa diraih oleh bangsa Inggris apabila menduduki dan mendirikan koloni di daerah ini, terutama untuk menempatkan para narapidana yang pada saat itu jumlahnya sangat banyak di Inggris, membludak, seiring dengan merdekanya Negara-negara koloni Inggris di Amerika yang dulu digunakan sebagai “rumah” bagi para narapidana, sehingga mereka membutuhkan tempat penampungan lain, demi keamanan dan kenyamanan di Negara monarki tertua di dunia itu.

Ide pembuatan koloni di benua yang baru saja ditemukan itu akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Inggris, berangkatlah mereka berbondong-bondong dengan ribuan narapidana ada di dalam rombongan. Koloni pertama yang dibuka dan menaungi seluruh Australia adalah koloni New South Wales dengan beribukotakan Sidney, nama itu diambil dari nama menteri dalam negeri yang bertanggung jawab dalam pengiriman narapidana ke Australia, yaitu Lord Sidney.

Lalu yang menjadi menarik untuk dibahas adalah apakah mereka langsung menempati daerah baru yang didatanginya? Adakah hambatan-hambatan yang mereka alami dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru saja dikenalnya?

Perlu diketahui bahwa penduduk asli Australia, Suku Aborigin, dikabarkan sudah menetap disana sejak 30.000 tahun yang lalu. Mereka tergolong dalam ras Australoid dengan bercirikan kulit berwarna coklat (hitam kalau terbakar matahari), rambut ikal bergelombang, muka dan tubuh ditumbuhi bulu-bulu yang lebat dahi sempit atau mundur, rongga mata dalam, alis mata menonjol, rahang menonjol, mulut lebar, tulang tengkorak lebar, tinggi badan kira-kira adalah 5 kaki dan 5/6 inci.

Dari ciri-ciri tersebut, dua orang ahli yang bernama Elkin dan Needham menganggap bahwa manusia yang satu kelompok dengan penduduk asli Australia ini adalah Suku Bangsa Toala di Sulawesi, penduduk asli Sumatera, sebagian penduduk Irian, orang Sakai di Malaysia, orang Veddas di Srilanka, dan suku pegunungan asli di India Selatan. Pendapat tersebut sepertinya sesuai dengan bukti telah adanya hubungan orang asli Australia dengan para pelaut dari Makassar (Indonesia).

Dalam sebuah artikel panjang majalah Tempo tanggal 26 September 2004, menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang sangat baik dengan para pelaut Makassar yang mencari teripang di tanah Arnhem tepatnya di Pulau Elcho yang terletak 550 km dari Darwin. Penduduk setempat mengisahkan bahwa perlakuan bangsa Makassar terhadap mereka sangat baik, dihormati haknya sebagai tuan rumah, serta perlakuan baik itu disambut kembali dengan diterimanya para pelaut Makassar untuk menikahi perempuan-perempuan Suku Aborigin. Hingga sampai saat ini pun, keturunan hasil pernikahan-pernikahan tersebut masih menetap disana dan hidup sebagai Suku Aborogin yang selalu mengingat sejarah nenek moyangnya.

Menjadi sebuah kontradiksi ketika sekarang kita mengenal bangsa Australia yang berciri fisik layaknya orang Eropa. Mengapa suku asli yang sudah hidup ribuan tahun di tanah Australia menjadi kaum minoritas dan termarginalkan saat ini?

Ternyata ada sebuah catatan yang hanya sedikit jumlahnya, dan sering terlupakan oleh masyarakat dunia. Sejarah pembantaian dan pemusnahan penduduk asli Australia dimulai saat pembukaan koloni Tasmania. Catatan menyebutkan bahwa dilakukan kekerasan atas penduduk asli Tasmania oleh sekelompok pendatang kulit putih. Dalam waktu 50 tahun saja mereka dapat memusnahkan satu kelompok manusia yang dijuluki “Homo Tasmanianus”.

Pada dasarnya penduduk asli Tasmania bukanlah orang yang suka berperang. Namun naluri mempertahankan dirinya harus muncul ketika mereka kedatangan serombongan orang baru yang sama sekali tidak dikenalnya. Dalam pikiran penduduk asli, kedatangan mereka dianggap akan mengancam eksistensi mereka, ada semacam ancaman secara tidak langsung yang dikhawatirkan bahkan ketika para pendatang sekedar menginjakkan kakinya di bumi leluhur mereka. Hal tersebut disambut dengan baik oleh bangsa Inggris, mereka pun memiliki kecondongan yang sama, menganggap para penduduk asli adalah orang-orang yang tidak akan membuka diri dan akan menghalangi niat mereka untuk menempati tanah yang akan mereka olah dan miliki.

Dan dimulai lah penerapan hukum rimba di daratan Tasmania, terjadi sebuah penindasan atas kaum yang lebih lemah. Dalam hal ini, para pendatang Inggris memiliki keunggulan persenjataan dan taktik. Sementara para penduduk asli Tasmania yang latar belakangnya saja masih hidup dalam zaman batu, hanya memiliki niat dan tekad yang bulat untuk mempertahankan daerah yang menjadi tempat melangsungkan hidupnya. Hal ini menjadi jelas ketika kenyataan yang terjadi dalam waktu 50 tahun saja sudah musnah seluruh penduduk asli Tasmania. Memang tidak ada yang bisa dipersalahkan dalam permusuhan kedua kelompok penduduk ini, mereka sama-sama berjuang untuk kepentingan hidupnya masing-masing.

Dengan demikian maka nyatalah bahwa pembukaan koloni Inggris di Australia tidak berjalan dengan mulus dan damai, ada sejarah kelam yang memang hanya sedikit catatan mengenai hal itu. Hal yang mungkin belum dapat dimaafkan oleh para penduduk asli yang tersisa di Pulau Elcho. Dari penuturan salah satu penduduk yang mengatakan bahwa sejak dulu, orang-orang Inggris memperlakukan mereka seperti binatang sehingga sampai saat ini pun perlakuan mereka sangat tidak ramah dan cenderung kasar apabila kedatangan tamu orang Eropa.

Kedudukan penduduk asli pun jelas tergeser dengan adanya orang-orang Eropa yang semakin maju saja peradabannya. Selain itu mereka pun dapat memanfaatkan sumber daya alam Australia sampai menjadi Negara maju sekarang ini, sementara penduduk asli sampai sekarang juga masih hidup dalam ketradisionalannya.
Kini yang perlu ditekankan adalah, untuk alasan apa pun kekerasan terhadap manusia apalagi sampai membunuh dan melenyapkan sekelompok manusia dari peradaban adalah sebuah hal yang patut dipersalahkan. Memang pada zaman itu mungkin belum ada orang yang bisa bahkan belum terpikirkan untuk memperjuangkan hak asasinya di hadapan lembaga dunia, akan tetapi sejarah ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai hak hidup sesama manusia.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, April 9, 2011

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.


Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca hal. 473

Monday, April 4, 2011

Bilakah suatu saat nanti kami harus terbujur, berbaring, terkubur dan terus terpendam di dalam tanah, tenggelam bersama lenyapnya peradaban.

Kami berdoa semoga para arkeolog dari zaman apapun nantinya, akan menemukan artefak cinta kami.

Menjelaskan ke seluruh dunia bahwa pernah ada dua insan yang saling jatuh cinta.


Di suatu waktu manis, ketika aku merayunya melalui pesan singkat.

Kurnia Yunita Rahayu
Aku ingin menulis sebuah esei..

Rutinitas?

Rutinitas ini akan sampai pada titik "membunuh" apabila aku hanya mengikutinya.

Seperti sebuah kapasitor, sepertinya manusia juga akan sampai pada titik saturasinya. Ketika yang sebenarnya sangat disukai dilakukan berulang-ulang, dengan cara yang sama, melalui topik yang sama, sampai pada tingkat kelelahan yang menggila.

Bagaimana cara agar aku, kamu, kita, dan mereka tidak hidup hanya mengikuti arus? Rasanya sangat ideal seorang manusia mengharapkan hal macam ini. Namun kupikir ini penting, agar segala hal yang dikerjakan menjadi maksimal, aliran darah menderas secara normal, dan alunan nada analisis kehidupan menjadi semakin tajam.

Oh jadi apa ini yang ideal bagiku? Menginginkan hidup yang tidak terduga? Bukankah Dia pun sudah merancang makhluknya sebagai yang hanya dapat mengikuti rencanaNya? Jadi bagian mana dari hidup ini yang dapat aku sebut sebagai rutinitas? Jika semua tak bisa aku ketahui dengan pasti, lalu mengapa ada cetusan ide untuk menggunakan kata rutinitas?

Saturday, March 12, 2011

Apa yang Salah dengan Pancasila?

Berbagai penyimpangan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari menimbulkan pertanyaan masih relevankah Pancasila diterapkan di negeri ini?

Nilai Ketuhanan tidak dilaksanakan dengan terwujudnya berbagai kekerasan atas nama agama dan atas nama pembelaan terhadap Tuhan. Nilai kemanusiaan dipraktekkan dengan banyaknya pembantaian antar kelompok etnis maupun ras. Nilai persatuan juga terlanggar dengan banyaknya kaum yang merasa lebih superior dari yang lainnya. Nilai musyawarah untuk mufakat telah lama dikhianati dengan lebih memasyarakatnya sistem pengambilan keputusan dengan cara voting yang mungkin lebih mencerminkan kehidupan dengan sistem liberal. Dan yang terakhir, nilai keadilan, hal ini sangat mudah kita temukan dan rasakan penyimpangannnya dengan melihat ke sekitar. Banyaknya penduduk yang tinggal di bantaran kali atau di pinggir rel kereta cukup ironi jika dibandingkan dengan semakin banyaknya jumlah mobil yang ada di Jakarta.

Dan sekali lagi kita bertanya, masih relevankah Pancasila menjadi dasar Negara ini? Sebagai seorang warga Negara Indonesia, bagian dari bangsa Indonesia. Saya tidak ingin menjadi orang yang pesimis. Dengan keyakinan bahwa suatu hari negeri ini akan bangkit, maka caranya adalah mengembalikan pola hidup Negara ini sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tidak ada yang salah dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Semua dibuat disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan pribadi bangsa kita. Yang terjadi saat ini adalah penyimpangan-penyimpangan karena kelalaian bangsa Indonesia sendiri. Jika kita mengganti dasar Negara ini menjadi bukan Pancasila, maka Negara ini bukan Indonesia lagi. Indonesia hanya tinggal kenangan dalam sejarah.

Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia mari kita kembali ke Pancasila, bukan mengganti Pancasila dengan dasar Negara yang lain. Nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini bukan diraih dengan mudah namun dengan mengorbankan seluruh jiwa dan raga mereka. Kita yang hidup di masa yang sudah merdeka, seharusnya melanjutkan perjuangna mereka dengan memajukan Negara ini, dimulai dengan berpola hidup sesuai dengan Pancasila.

Kurnia Yunita Rahayu

Saturday, February 26, 2011

Aku, otak, dan hati. Terjerembab!

Sang filsuf mengatakan bahwa kebenaran itu relatif. Bergantung pada kesesuaiannya pada kenyataan. Kini yang jadi persoalan adalah: tidak ada kenyataan yang kekal, selalu berubah seiring berjalannya waktu.

Sebagai seorang yang hidup dalam waktu kini akupun mempertanyakan: apakah kebenaran perasaan yang pernah pernah singgah di hatiku akan tetap ada? Dengan ukuran yang samakah?

Saat ini kegundahan menggerogoti hati kecil ini. Ketidakadilan keadaan dan kesakitan-kesakitan berlomba-lomba menguasai pedalaman hati ini

Lalu sekarang aku harus apa? Aku memang egois, aku tidak mau sakit. Paling tidak aku akan membutuhkan segala yg dapat kujadikan pembenaran atas setiap keputusan yang pernah dan akan kubuat.

Kurnia Yunita Rahayu

Wednesday, February 2, 2011

Pisah?

Jika memang harus berpisah, kenapa tidak?
Beberapa orang teman seangkatan di kampus saya memutuskan untuk mengakhiri pendidikannya di universitas karena berbagai macam alasan.
Sebagai teman, mungkin saya merasa akan ada yang hilang karena sedikit banyak mereka sudah menjadi bagian dari hidup saya selama enam bulan belakangan.
Mohon maaf jika hanya itu yang saya rasakan.

Memang, saya memilih untuk tidak terlalu dalam mengenal kalian. Karena jujur, saya takut dikecewakan.
Kini pilihan saya jatuh pada: saya tidak ingin tahu banyak daripada harus menderita banyak kekecewaan karena terlanjur mengetahui pedalaman sesuatu.
Di akhir, saya ingin mengucapkan selamat jalan bagi kalian yang sudah memiliki jalan sendiri. Semoga akan menjadi keputusan yang terbaik, God bless you guys..

Tuesday, January 25, 2011

Tuhan

Dengan kapasitas berpikir yang entah bertambah atau berkurang dari sebelumnya, kini aku dapat berpikir bahwa:

Keesaan Tuhan bukan berarti Ia dapat terhitung oleh manusia.
Kegaiban Tuhan tidak sama dengan setan-setan yang juga tidak dapat kita lihat.
Kebaikan Tuhan tidak sekedar dengan hal yang kita anggap baik, seperti: memberi rezeki.

Tuhan itu jauh di luar jangkauan kapasitas berpikir manusia, namun tidak berarti Ia mengeksklusifkan diri dari makhluk-Nya.

Tuhan itu dekat, mungkin lebih dekat dari urat nadi. Begitu tutur para pemuka agama.
Namun kedekatannya mungkin tidak se-sederhana itu.
Ketika kita berkata jauh, jauh-Nya pun bukanlah dalam ukuran jarak yang bisa dipelajari manusia.

Wahai Tuhan, kecil sekali kemampuan manusia untuk memahami-Mu.
Dan mungkin Dirimu pun bukan untuk kami pahami, dengan rumus, teori, atau argumentasi apapun.

Kenyataannya,
Kami bertanya dan akan terus berpikir tentang-Mu,
namun Dirimu melebihi esensi dan eksistensi.

Jika Kau ingin berbangga hati, maka berbanggalah karena:
tak ada satu pun di dunia ini yang dapat membuktikan ketidakberadaan-Mu.

Kurnia Yunita Rahayu

Tuesday, January 11, 2011

Ketika kita bicara, lalu menginginkannya

ketika kita bosan bicara tentang cinta
lalu aku akan bertanya, apakah cinta yang membosankan?

ketika kita mulai bicara tentang manusia
lalu aku akan bertanya, apakah manusia hal terpenting di dunia?

ketika kita ingin berjalan bersama
lalu aku akan bertanya, apakah ini yang sebenarnya kita butuhkan?

Kurnia Yunita Rahayu