Saturday, November 23, 2013

Belajar Sufi Melalui Komik

Judul                : Kitab Komik Sufi
Pengarang      : Bayu Priyambodo (Ibod)
Penerbit          : Muara Kompas Gramedia
Terbit               :  2013
Tebal Buku     : 146 Halaman

Alkisah di sebuah negeri, seorang saudagar kaya raya sedang berjalan menikmati indahnya dunia. Di perjalanan, ia bertemu lelaki tua berpakaian lusuh, kotor dan compang-camping, tengah membawa sebuah mangkuk di tangan kanannya. Mangkuk tersebut ia tengadahkan, tanda meminta sedekah kepada orang yang bakal ditemuinya.

Tanpa ragu, saudagar itu hendak memberi bantuan kepada si lelaki tua. “Kasihan engkau, aku akan bersedekah padamu,” ucap saudagar itu dengan mimik penuh empati. Namun, ia kaget saat lelaki tua berjanggut tebal itu menjawab, “mangkukku takkan pernah terisi penuh sebanyak apapun pemberian orang, Tuan.”

Saudagar itu pun geram saat niat baiknya ditolak. Makanya, tanpa pikir panjang, langsung saja ia masukkan beberapa keping uang ke dalam mangkuk lelaki tua yang ditemuinya. Tapi lelaki jembel tua itu bersungut, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata. “Lihat,Tuan, mangkukku masih kosong!” ujarnya geram sebab saudagar dermawan itu tak mau dengar kata-katanya.

Saudagar yang berniat jadi dermawan itu nampaknya punya pendirian kuat. Seluruh uang logam yang dibawa dalam perjalanan, ia berikan lagi pada si jembel tua. “Nih, aku kasih semua isi kantongku,” katanya setengah marah.

Belum lagi selesai ia menarik nafas panjang amarahnya, Sang Saudagar benar tak kuasa menatap mangkuk jembel yang kembali kosong. “Lho, kok bisa begitu?” ia keheranan. Sambil menarik-narik janggutnya yang sedikit ditumbuhi rambut, ia berpikir, bagaimana bisa mangkuk tersebut kembali kosong dalam waktu yang sama saat ia mengisinya dengan uang.

“Mangkuk milikku mirip dengan nafsu keinginan manusia. Tak akan pernah bisa dipuaskan. Berapapun banyaknya yang dimiliki oleh manusia, dia selalu tak pernah puas!” terang si lelaki tua dengan tenang dan penuh kerendah hatian.

Belakangan, saudagar kaya itu baru sadar bila yang ditemuinya bukan sembarang lelaki tua. Melainkan seorang Darwis. Sufi pengelana yang banyak menyebarkan kebijaksanaan hidup di tiap langkah perjalanannya. Maka tidak aneh, bila Sang Saudagar pun keheranan dan sejenak tampak merenung. Renungannya pun nampak serius, ia bergeming meski pun waktu terus berubah.

Saudagar berpakaian ala Persia tersebut memang bergeming hingga akhir cerita. Ia hanyalah tokoh dalam kisah Mangkuk Ajaib, kisah tradisi Sufi yang sudah melegenda. Sufisme atau Tasawuf sendiri merupakan jalan penyucian jiwa berdasarkan ajaran Islam. Ajarannya mengutamakan ihwal kecintaan pada Tuhan, kasih sayang dan toleransi kepada sesama makhluk.

Beragam hikayat dan cerita rakyat berkembang dalam tradisi Sufi. Diantaranya banyak bicara soal keajaiban bahkan hal-hal lucu yang dialami oleh para Sufi. Sebagian besar kisah tersebut dapat ditemui dalam Kitab Sufi Klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali dan Tadzkirat al-Auliya karya Fariduddin Atthar. Atau hikayat yang disampaikan dari mulut ke mulut sejak zaman umat terdahulu sampai sekarang.

Beberapa cerita populer dalam tradisi Sufi itu kemudian dihimpun oleh Bayu Priyambodo dalam Kitab Komik Sufi. Komikus bernama pena Ibod ini merekonstruksi kisah legenda Sufi dalam bentuk komik dengan gambar-gambar yang sangat menghibur. Goresan pena yang khas hadir di tiap panel komiknya. Menampilkan tokoh-tokoh Sufi dengan gambar sederhana namun punya mimik dan dialog yang begitu mengena.

Cerita-cerita yang digambar Ibod juga sangat membantu para awam untuk mengenal Sufi. Ia memberi penjelasan singkat namun padat terhadap beberapa istilah dasar Sufi, lewat beberapa kisah antara Syaikh dan muridnya, riwayat para Darwis, juga permasalahan sehari-hari yang biasa dihadapi manusia. Ada yang lucu, seru, namun semua berada dalam satu garis: berintikan kebijaksanaan yang dapat diterapkan dalam perjalanan hidup di dunia.

Akhirnya, Ibod berhasil memvisualisasikan puluhan hikayat Sufi tanpa mereduksi esensi yang dikandungnya. Konsep-konsep dasar Sufisme seperti kebersihan hati, kasih sayang dan toleransi hadir sebagai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh setiap kalangan dan latar belakang. Baik etnis, bangsa, bahkan agama.

Hal ini didukung kuat oleh pengalamannya ketika melanjutkan studi Seni Rupa dan Desain di Ecole D’art Maryse Eloy, Paris, Prancis. Disana ia juga belajar pada salah satu Tarekat Sufi asal Maroko, Afrika Utara. Konsep dasar Sufisme ia kuasai dengan baik. Sehingga ia pun mampu meniupkan ruh dalam tiap cerita yang digambarkan.

Kurnia Yunita Rahayu