Sunday, June 9, 2013

Kidung Cinta Bapak Amir



Kidung cinta Bapak Amir
Sayu-sayu terdengar dari balik jendela timur.

Kidung cinta Bapak Amir
Mengendap-endap dalam kepulan asap dari dandang yang dipakai ibu memasak nasi.

Kidung cinta Bapak Amir
Ah, tidak terdengar romantis sama sekali.

Seperti sajak murahan yang dibuat untuk menunjukkan bahwa ia berada di titik produktif.

Hahaha, Bapak Amir ingin nampak produktif? 

Darimana, bahkan kemampuan dasar untuk membuat penisnya berdiri saja tak dimiliki, apalagi buat menyembur sperma ke liang vagina ibu, menyentuh titik terdalam dan mencipta orgasme?

Hahaha, pecundang betul si Bapak Amir.

Eits, sebentar, sebentar, darimana pula aku punya muka untuk mempecundangi Bapak Amir secara psikis karena ia tak bisa ereksi? Tidakkah aku malu padanya, bahkan aku dan semua orang memanggilnya Bapak Amir. 

Si Amir sudah berumur delapan pula tahun ini.

Aih, aih, kalau begitu bisa gagal upayaku mempecundanginya.

Diam-diam niatanku memang sangat besar.

Maka selamatlah Bapak Amir, sesegera mungkin ia bisa melanjutkan kidungnya.

Kidung cinta penuh asa untuk keluarga.

Kidung cinta penuh mesra dalam dekap semesta.

Hahahahahaha, maaf, maaf, Bapak Amir, aku tidak bisa menghalang tawa untuk keluar dari mulutku.

Pipiku sudah terlampau menggelembung saat menahannya, salah-salah nanti banyak liur yang muncrat bila aku memaksa tutup mulut.

Amir itu kan muncul karena teknologi. Entah benih darimana delapan tahun lalu dibenamkan ke dalam rahim ibu. Dengan suntikan besar yang terlampau menyakiti ibu saat ditusukkan ke tubuhnya.

Dan kau, Bapak Amir, setuju setengah hati waktu diminta menandatangani dokumen pelegalannya. 

Kamu terlalu sentimentil waktu itu. Ingin sekali punya anak.

Entah apa alasanmu bersikukuh ingin beranak saat itu. Padahal ibu tidak ambil pusing, meski tidak acuh pula.

Kamu terlalu memaksa, demi prestise, demi harga diri!

Bahkan perihal kemunculan benih dalam rahim ibu pun kau rahasiakan!

Kamu ingin tampil jantan di muka publik. Menggandeng tangan perempuan hamil. Membelikan baju dan susu buat ibu yang perutnya kian hari kian membuncit. Siaga siang dan malam menjaga dan memenuhi kebutuhan ibu. Menciumi perutnya waktu si Amir terasa menendang-nendang dari dalam.

Ahhh, pahlawan kau, Bapak Amir!

Lelaki siaga, lelaki penuh perhatian, lelaki super!

Hmmm, puas kamu, Bapak Amir? Sudah puas? Senangkah hatimu? Dapatkah senyum hadir di tiap harimu kini?

Kamu sudah jadi lelaki super. Lelaki super yang tidak punya modal pribadi dalam rangka menjadikan dirimu super. Eits, maaf aku terlalu mengecilkanmu, justru modal pribadimu sungguh besar, yakni sebuah kemampuan: mengobjektifikasi ibu.

Sudah kubilang sejak awal, untuk ereksi saja kamu tidak bisa. Tetapi masih ingin tampil perkasa, tampil bijak sebagai bapak, padahal menyusahkan ibu.

Bukan, bukan ibu keberatan sembilan bulan mengandung Amir, bukan ibu lelah mengurus Amir, bukan ibu jengah menanti orgasme yang tak kunjung bisa hadir ketika penismu mencoba masuk liang vagina ibu. Tapi kamu yang terlampau menggunakan ibu untuk memenuhi obsesimu. Untuk menjadi lelaki ideal idaman masyarakat. 

Kini ibu hanya bisa mengikuti katamu, menjadi objek atas segala keinginanmu. Dan ibu tidak pernah protes akan hal itu. Karena ibu, sejatinya sama denganmu, Bapak Amir, manusia yang setia pada norma, penurut budaya. 

Bapak Amir, mendekatlah, perhatikan, sejak satu jam yang lalu ada seorang lelaki yang tidak beranjak dari hadapan cermin. Menangis, mencaci, meronta, kemudian tertawa. Dengarkan baik-baik ucapannya, tidakkah sama dengan segala upayaku mempecundangimu? Simak dengan seksama gerak bibirnya, tidakkah seirama dengan gerak bibirmu?

Kurnia Yunita Rahayu


No comments:

Post a Comment