Bermula dari
terbongkarnya jejaring proyek M. Nazaruddin, Korupsi UNJ mulai terbongkar.
Rektor Bedjo Sudjanto diduga terkait kuat.
November 2011, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan
Fakhrudin Arbah ketar-ketir. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya harus
tersandung kasus korupsi. Buatnya, posisi sebagai Pembantu Rektor yang
mengurusi mahasiswa dan kemahasiswaan memang tidak punya banyak kesempatan
untuk menyuburkan bibit korupsi.
“Saya stress luar biasa, sampai tidak bisa tidur. Keluarga
sampai menyebut saya koruptor, pembohong,” Fakhrudin mengiba. “Belum lagi
anak-anak saya yang mendapat tekanan dari teman-teman sekolahnya yang
mengetahui berita tersebut.”
Korupsi memang tidak pandang bulu siapa saja bisa didapuk
menjadi pembawa risalahnya, termasuk Fakhrudin. Karena kejahatan memang bukan
terjadi cuma bermodal niat, tapi kejahatan turut mencipta kesempatan. Fakhrudin
masuk dalam pusaran ini.
Mulanya dari sebuah proyek pengadaan alat laptop dan alat
penunjang laboratorium. Total nilai proyek tersebut 17 miliar rupiah. Proyek
tersebut merupakan proyek tahunan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Proyek ini bermasalah karena muncul dugaan penggelembungan
dana sebesar 5 miliar rupiah. Indikasinya muncul karena mulai terungkapnya gurita
korupsi yang dilakukan M. Nazaruddin Anggota DPR sekaligus Bendahara Umum
Partai Demokrat.
Kasus ini melibatkan dua perusahaan tender milik M.
Nazaruddin: PT Marell Mandiri, dan PT Anugerah Nusantara. PT Marell yang
memenangi tender proyek tersebut, namun di tengah jalan ia tidak bisa
melanjutkan proyek tersebut. Maka hadirlah PT Anugerah Nusantara sebagai
pelaksana proyek hingga proyek ini selesai. Dua perusahaan itu satu konsorsium
dalam Grup Permai milik M. Nazaruddin.
Sebenarnya indikasi korupsi sudah tercium Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak semester pertama 2011 Namun, penyidikan
selama 4 bulan tersebut terhenti karena KPK tidak banyak menemukan bukti yang
memeperkuat. Baru pada November 2011 Kejaksaan Agung kembali memeriksa kasus
ini dan mendapati Fakhrudin sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Tri
Mulyono ketua Proyek sebagai tersangka dalam kasus ini.
Lewat surat perintah penyidikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 untuk
Fakhrudin, dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011 untuk Tri Mulyono, mereka berdua resmi
menjadi tersangka. “Saya kaget, saya belum sekalipun dipanggil oleh Kejagung
tapi nama saya sudah disebut sebagai tersangka,” seloroh Fakhrudin.
Urusan menjadi komando dalam sebuah proyek harusnya jadi
hajat Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, namun kampus mendapat proyek
ini saat rektor Bedjo Sudjanto baru memenangi kembali kursi Rektor UNJ untuk kedua
kali menyebabkan hal itu tidak terjadi.
Dalam periode kedua sebagai Rektor UNJ ada struktur yang
berubah Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sebelumnya dijabat
Syarifudin kini jadi milik Suryadi. “Pak Suryadi sendiri tidak bisa dijadikan
PPK karena belum resmi menjabat, sedangkan Pak Syarifudin karena sudah lengser
dan sudah banyak pegang proyek,” Bedjo Sudjanto mengklarifikasi pada acara
Deklarasi Hari Anti Korupsi (9/12) 2012.
Maka datanglah jabatan PPK sekonyong-konyong ke ruangan
Fakhrudin. “Fakhrudin itu seorang yang lugu dan jujur, makanya jabatan ini
disemat kepadanya.” lanjut Bedjo Sudjanto. ”Walaupun saya tahu ia tidak
mengerti perihal teknis proyek.”
Fakhrudin yang ditunjuk langsung oleh Bedjo pun tidak bisa
banyak berkutik. Ia yang mengaku sejak mengajar di UNJ pada 1984 tidak pernah
mau berurusan dengan soal keuangan, kali ini menjadi orang linglung, “sekali
ini saya tidak tahu kenapa menyetujui untuk menjadi PPK, saya seperti terbius,”
ujar Fakhrudin.
Posisi Fakhrudin sebagai Pembantu Rektor Bidang
Kemahasiswaan sebenarnya rawan untuk dijadikan seorang PPK dalam sebuah proyek.
Bukan cuma tentang posisi tapi juga soal kapasitasnya. Selain tidak pernah
sekalipun berurusan dengan proyek ia juga tidak terdaftar sebagai pejabat yang
tersertifikasi untuk menangani sebuah proyek pengadaan barang.
Sementara itu Tri Mulyono, dosen fakultas Teknik yang
berduet bersama Fakhrudin sebagai tersangka kasus ini ogah berkomentar mengenai
keterlibatannya, “saya tidak mau berkomentar karena saya cuma pelaksana
teknis,” katanya kepada DIDAKTIKA
(31/07).
Janggal Dari Awal
Selasa (6/12) 2012 Fakhrudin bercerita banyak kepada
mahasiswa dalam rapat dengan pimpinan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membahas
agenda studi banding UKM. Di sela-sela acara tersebut ia meluangkan waktu untuk
mengklarifikasi kasus yang menimpa dirinya. “Ada (tanggapan) yang
enak saya dengar, kemudian saya semakin teguh untuk menghadapi ini. Tapi ada
juga yang membuat saya nggak bisa tidur,” katanya.
Sebelum datang, Fakhrudin mengaku menemui Rektor Bedjo untuk
menjelaskan niatnya untuk bertemu mahasiswa dan menjelaskan kasus ini. Awalnya,
Bedjo ragu-ragu akan kehadiran Fakhrudin untuk menjelaskan kasus ini, “kenapa
berhadapan dengan mahasiswa? Nanti bisa nggak menyampaikan?” Ujar Fakhrudin menirukan
Bedjo Sudjanto.
Sepak terjang Fakhrudin dalam proyek ini dimulai setelah
keluar Surat Keputusan (SK) Kemendiknas atas nama Sekretaris Jendral
Kemendiknas Dodi Nandika Nomor 5138/A.A3/KU/2010. Tertanggal 21 Januari 2010,
ia resmi menjadi PPK proyek pengadaan sarana penunjang laboratorium.
Di lapangan Fakhrudin cuma bertindak sebagai asesor, “saya tidak menyusun (dokumen). Jadi kalau dalam menyusun disitu memang ada salah, ya saya sebenarnya salah tanda tangan,
karena saya nggak pernah baca. Ndak mungkin baca, kalau baca pun nggak ngerti
juga,” katanya lugu.
Atas persetujuan-persetujuan yang dilakukannya, ia mengaku
mendapat honor proyek yang memang dijatahkan oleh Rektor Bedjo. “Honor yang
saya peroleh berdasar Surat Keputusan Rektor 500.000 per bulan dipotong pajak
jadi 425.000,” aku Fakhrudin. “Saya bekerja diberi tambahan masa tidak ada
penghasilan tambahan.” Di lain kesempatan, Fakhrudin menolak bila dikatakan ia
menerima fee atas proyek tersebut. “Saya
tidak menerima fee apapun,” aku Fakhrudin
kepada Didaktika.
Dalam kerja-kerjanya Fakhrudin tidak sendiri, ia punya tim
pengadaan barang di bawah koordinasinya, data yang didapat dari Kejaksaan
Agung, panitia pengadaan barang ini sudah disahkan melalui SK Rektor Nomor
11.B/SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010. Mereka adalah Tri Mulyono (Ketua),
Ifaturohiah Yusuf (Sekretaris), Suwandi (anggota), M. Abud Robiudin (anggota),
dan Andi Irawan Sulistyo (anggota).
Idealnya, dalam sebuah proyek pengadaan barang panitia
lelang dibentuk oleh PPK. Namun, dalam kasus ini Rektor Bedjo yang memilih. Pun
penunjukkannya dilakukan lebih dahulu ketimbang pemilihan PPK. Makanya kemudian
muncul indikasi keterlibatan Rektor Bedjo dalam kasus ini.
Hal ini diperkuat dengan adanya pengakuan Ahmad Rifai,
pengacara Mindo Rosalina Manulang koordinator PT Marell Mandiri perusahaan yang
terkait dalam kasus ini, “Rosa mengaku disuruh Nazar menemui Rektor UNJ pada
2010. Maksud pertemuan itu untuk proyek pengadaan Alat Laboratorium dan
peralatan penunjang Laboratorium pendidikan,” Kata Rifai dikutip dari Koran Tempo, 15 Februari 2012.
“Dalam proyek kampus Nazar memang melakukan banayak
lobi-lobi untuk meloloskan proyeknya,” tambah Ade Irawan Aktivis Indonesia
Corruption Watch (ICW) kepada DIDAKTIKA
(19/2). “Ia melobi Badan Anggaran (Banggar), anggota DPR, orang Dikti, termasuk
pejabat kampus.”
Saat dikonfirmasi, Bedjo Sudjanto mengaku pernah bertemu dengan Nazruddin membahas perihal proyek, “saya pernah bertemu Nazaruddin dulu di sini (Gedung Rektorat),” Aku Bedjo. Namun, Bedjo membantah bahwa pertemuannya dengan Nazaruddin membicarakan kasus korupsi yang yang menimpa UNJ, “waktu itu ia (Nazaruddin) datang sebagai orang PP, ya kami membicarakan proyek PP.” Bedjo mengklarifikasi.
Bedjo juga menjamin ia tidak pernah mengintruksi untuk melakukan tindakan korupsi kepada bawahannya, “sekarang yang bisa membuktikan bahwa itu kasus korupsi siapa?” tukas Bedjo. Rektor Bedjo sendiri tak mau ambil pusing atas kasus ini, atau indikasi keterlibatannya. Proses pengusutan yang berlarut bisa menenangkan hati Bedjo. “Hingga saat ini kan belum terbukti,” tampik Bedjo.
Sementara itu, Fakhrudin belakangan merasa semakin tegar menjalani kasus yang berlarut-larut ini sendirian, “saya merasa dikorbankan disini, bila kemudian ada pelaku yang bermain di belakang itu benar-benar di luar pengetahuan saya,” ujarnya lirih. “Saya mau bawa Rektor sebenarnya, tapi tidak bisa karena namanya tidak ada.”
Kurnia Yunita Rahayu
Diterbitkan di Majalah Didaktika Edisi 42 2012 rubrik Kampusiana
No comments:
Post a Comment