Beberapa hari belakangan, agak susah buat saya merangkai kata, bukan karena mati otak atau beku pikiran, melainkan tidak punya perangkat yang kadung membuat saya ketergantungan. Mesin ketik nan pandai menghitung yang sudah saya miliki sejak semester pertama menjadi mahasiswa kini mulai dijangkiti dosa kebodohan. Ia tak lagi bisa bekerja memaksimalkan kemampuan otaknya, sebab terlanjur tidak memproteksi diri terhadap gangguan-gangguan dari luar, yang kemudian ia kenal bagian dari spesies virus, entah datang dari koloni yang mana. Meski tidak dikenal, virus yang enggan saya sebutkan namanya itu punya nyali besar. Berani betul dia menyerang satu perangkat vital-paling tidak dalam hidup saya-, membuatnya impoten, dan pada tingkatan selanjutnya, memicu sebuah paralisis progresif pada mesin ketik paruh baya ini.
Perangkat yang pertama diserang itu bersifat lunak, punya nama lengkap Microsoft Word, namun saya lebih suka mengakrabinya dengan sapaan, Word. Nampaknya, Si empunya gagasan atas perangkat ini sengaja memberi nama sesuai dengan pilihan esensi hidup untuk bayi karyanya. Dalam Bahasa Indonesia, Word berarti kata. Secara sederhana tergambar pola esensi hidup yang termaktub dalam labelnya. Ia bekerja dengan kata-kata, mulai dari mewujudkannya dalam bentuk material, hingga melakukan pengolahan yang tingkat perkembangannya belum selesai hingga hari ini. Cuma satu yang tidak bisa ia lakukan berkenaan dengan kata, melahirkannya kemudian merancang apa yang akan dilakukan oleh kata. Sebab ia hanya alat, yang mengolah dan mengemas kata-kata. Word cuma bisa menyaksikan dan mengakomodasi sejak kata-kata itu lahir, saling bertemu, jatuh cinta, kemudian kawin dan melahirkan sebuah gagasan, dalam banyak bentuk.
Word itu, cuma memfasilitasi kegiatan penggunanya dalam berkata. Namun, duda si empunya gagasan yang sudah kawin dengan pemilik modal yang sexy memang tidak akan membiarkan para pengguna menyadari makna dasar Word begitu saja. Sudah jadi rahasia umum bahwa pernikahan mereka melahirkan sebuah rumusan, yang dibuat sedemikian rupa agar bayi bawaan si duda bisa digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang mereka. Untuk melanjutkan kehidupan berumah tangga. Maka, Word menjelma jadi barang memikat. Tampil menggairahkan bukan hanya lewat sex appeal, tapi juga kecendrungan intelektual yang mampu memikat dan membuat para pengguna jadi ketergantungan padanya. Bahkan, Word ditampilkan sebagai fitrah bagi para pembuat kata-kata. Tidak akan ada karya tanpa Word!
Untungnya, Word tidak bisa melampaui dirinya sendiri. Sehingga ia mampu ingatkan saya pada organisasi, Didaktika. Ia sama, tidak bisa melampaui dirinya sendiri. Cuma sekadar ruang yang mengakomodasi beragam hal yang ada pada kepala penghuninya. Jika saja ia mau dan bisa, mungkin Didaktika bakal hidup kemudian minta diberdayakan atau memberdayakan diri sendiri. Hahaha, membayangkannya saja sudah membuat bergidik.
Sayangnya Didaktika benda mati, seperti Word. Ia diam saja, tidak bereaksi kala sejumlah virus menjangkitinya. Iya, dia diam saja, bahkan hingga mereka menggerogoti tubuhnya yang penuh akan nama besar dalam catatan sejarah itu lumpuh, Didaktika tetap diam. Tak peduli, tak sadar, bahkan tidak merasa.
Paling-paling penggunanya yang kemudian kelimpungan, bagaimana bisa, perangkat yang sudah dimiliki dengan beragam fitur ini jadi impoten? Ya meskipun tidak canggih, tapi bisa dikilik sedemikian rupa agar bisa menunjang kegiatan anggotanya. Sebab dalam beberapa hal, Didaktika berbeda dengan Word yang melalui lisensi resmi, pengguna tidak bisa melakukan kodifikasi atas kerjanya. Organisasi ini lebih seperti Android atau Linux, sistem operasi terbuka yang bisa diberdayakan sekuat-kuatnya asal manusia yang menggunakan mau bersusah payah memeras otak untuk memecah kode-kode lawas dan bermasalah berbahasa mesin ke dalam logika yang tepat.
Sayangnya belakangan banyak virus yang berjangkit disini. Bukan salah virus yang bebas masuk karena memang sudah fitrahnya ia punya kemampuan lebih untuk menggoda banyak sistem. Namun, mungkin ada keengganan untuk memasang antivirus. Tapi virus itu memang tidak diragukan keandalannya untuk merusak. Sebab ia masih mampu merasuk ke dalam sistem yang terproteksi.
Untuk itu, kita sering mendatangkan bala bantuan dari para hacker yang membawa manual book Marx untuk menjebol masalah yang tak kunjung selesai. Mengaikan struktur sosial dengan beragam hal yang terjadi. Kemudian tak lupa ada programmer yang logikanya banyak dirasuk Weber dalam melihat posisi penting individu. Atau kadang sudah banyak konsesi damai dibuat dengan menghadir Giddens yang membuat hubungan keduanya menjadi saling berkait.
Dengan mengendap-endap, saya bisa melihat kemenangan Weber disini. Sistem sudah dibuat, tapi tidak berjalan. Bisa digarisbawahi, bukan gagal, tapi tidak berjalan.
Kembali pada Word, yang dinamai berdasar esensi hidupnya. Pun dengan didaktika, sebagai lembaga pers mahasiswa. Maka tidak perlu gamang ketika oknum dari sebuah perhimpunan berusaha mempertanyakan perihal produk, produktivitas, eksistensi, and what the hell others he said. Selama beridentitas sebagai lembaga pers, lakukan saja apa yang sudah kita rumuskan di awal. Ketakutan atas majalah yang tidak terbit bukanlah karena cemooh atau merasa sudah banyak melakukan hal lain yang sama atau lebih berharga. Melainkan karena apa yang bermasalah, gagal dipopulerkan menjadi masalah kolektif.
Maka saya kini jadi tahu, mengapa Jenderal Zod dalam film Man of Steel bersi keras menentang perbuatan Jor-El yang mencuri codec dari rancangan esensi manusia di planetnya untuk dibuang ke bumi. Jenderal Zod cuma mau mempertahankan esensi yang sudah dibentuk. Agar manusia yang berkekuatan Word, tidak memaksa diri untuk menjadi Photoshop.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment