Dengan adanya positivisme, unsur
subyektifitas manusia dalam ilmu pengetahuan dieliminir. Bagaimana tidak, paradigma
yang berkiblat pada metode ilmu alam ini biasa menelaah hal-hal yang statis.
Sedangkan medan kajian ilmu sosial adalah tindakan sosial, yang terdiri dari
perilaku manusia, tentunya senantiasa berubah. Maka, terdapat keyakinan, bahwa
kepentingan manusia tidak ada hubungannya dengan pengetahuan. Untuk itu,
rasanya menjadi penting untuk membahas terlebih dahulu sejarah pemisahan
pengetahuan dari kepentingan manusiawi.
Cara-cara semacam itu sebenarnya belum
ditemukan pada zaman Yunani Kuno. Masyarakat pada zaman itu justru menganggap
sebuah teori punya keterkaitan erat dengan kehidupan nyata. Hal tersebut
diwujudkan secara utuh dalam konsep bios
theoretikos. Suatu bentuk kehidupan, “jalan” untuk mendidik jiwa dengan
membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa
(pendapat), maka dengan jalan itu, manusia mampu mencapai otonomi dan
kebijaksanaan hidup. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dengan teori,
manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis
hidupnya dapat mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan.
Pemisahan antara pengetahuan dengan
kepentingan manusiawi mewujud dengan pemberian garis batas antara teori dan
praxis. Hal ini dimulai dengan kelahiran ontologi dalam sejarah pemikiran
manusia. Kelahirannya sendiri dibidani oleh hadirnya pemikiran filosofis di
masyarakat Yunani. Pemikiran filosofis, mengartikan teori sebagai “kontemplasi
atas kosmos”. Dengan pengertian tersebut, maka muncul pemisahan antara Ada dan Waktu, yang menjadi representasi dari keterpisahan antara yang
tetap dan yang berubah-ubah.
Maka manusia juga membuat pengertian
tentang hakikat, yakni inti dari sebuah kenyataan yang tidak berubah-ubah. Dengan
berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan yang tetap, filsuf
berkehendak untuk menerapkan pemahaman konseptualnya ke berbagai situasi.
Pemahaman semacam itu disebut pengetahuan sejati, dan untuk mencapai
pengetahuan sejati, teori mesti dimurnikan dari unsur-unsur yang berubah-ubah,
yakni dorongan dan perasaan subyektif manusia sendiri. Sikap mengambil jarak
dan membersihkan pengetahuan dari dorongan empiris ini disebut “sikap teoretis
murni”. Kelahiran ontologi, jelas telah memisahkan teori dari kehidupan praxis
manusia.
Aksi pemurnian pengetahuan dari
kepentingan manusiawi kemudian dilanjutkan oleh dua aliran utama filsafat,
Rasionalisme dan Empirisisme. Yang disebut pertama tentu dipelopori oleh Plato.
Ia menyatakan bahwa pengetahuan sejati bersifat apriori dan melekat pada rasio
manusia sendiri. Pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak
berubah-ubah, yang menangkap idea-idea. Untuk itu, manusia harus membersihkan
pikirannya dari unsur yang berubah-ubah agar mampu menembus kenyataan.
Pada jalur kedua, berdiri Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Buatnya, pengetahuan berasal dari pengamatan empiris, bersifat aposteriori. Maka tugas manusia mengamati sesuatu yang berubah-ubah kemudian melakukan abstraksi. Sehingga dari hal-hal partikular, dicapai sesuatu yang universal. Dalam melakukan abstraksi ini pun manusia tidak bisa tidak, harus membersihkan diri dari unsur yang berubah-ubah.
Pada jalur kedua, berdiri Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Buatnya, pengetahuan berasal dari pengamatan empiris, bersifat aposteriori. Maka tugas manusia mengamati sesuatu yang berubah-ubah kemudian melakukan abstraksi. Sehingga dari hal-hal partikular, dicapai sesuatu yang universal. Dalam melakukan abstraksi ini pun manusia tidak bisa tidak, harus membersihkan diri dari unsur yang berubah-ubah.
Kedua aliran ini kembali muncul pada
filsafat modern. Baik Rasionalisme yang diteruskan oleh Rene Descartes,
Malebranche, Leibniz, Spinoza maupun Empirisisme yang dilanjutkan oleh Hobbes,
Locke, Hume, dan Berkeley, berusaha mencari teori yang bersifat ilmiah.
Meskipun titik awal perolehan pengetahuan dari keduanya berbeda, namun mereka
sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni hanya bisa diperoleh dengan
membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Setelah dukungan Rasionalisme dan
Empirisisme untuk pemurnian pengetahuan dari kepentingan manusia, muncul
Francis Bacon. Bapak Ilmu Pengetahuan Modern ini memelopori pengetahuan
empiris-analitis yang kemudian menjadi ilmu alam, yang direfleksikan secara
filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Kesahihan ini
sekaligus melegitimasi ilmu alam sebagai pelanjut dari ontologi.
Pembersihan pengetahuan dari
kepentingan mencapai klimaksnya kala Positivisme digagas oleh Auguste Comte. Positivisme
merupakan awal pencapaian cita-cita diperolehnya pengetahuan untuk pengetahuan
(bebas nilai), yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Ia
menganggap pengetahuan yang sahih adalah sebuah fakta objektif. Dengan ini,
pengetahuan yang melampaui fakta akan disingkirkan.
Positivisme membawa semangat “ilmu
yang ilmiah” yakni ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang disandarkan pada model
teori ilmu alam. Maka “sikap teoretis murni” jadi tuntutan utama bagi ilmuwan
sosial. Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial pun menjadi bersifat positivistik.
Sifat ini mempunyai tiga prinsip utama yang saling berkaitan. Pertama,
metodologi ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua,
hasil penelitian dapat dirumuskan ke dalam hukum-hukum tetap. Ketiga, ilmu-ilmu
sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat
instrumental murni.
Positivisme bukan sekadar menjadi
aliran teori pengatahuan, namun sudah menjadi paradigma dan suatu kesadaran
manusia dalam berpengetahuan. Dalam abad ini, pemikiran positivistik tampil
dalam gagasan-gagasan Lingkungan Wina. Mereka memiliki semangat untuk
menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang terpadu sebagai perwujudan pengetahuan
sejati umat manusia.
Memuncak pada positivisme
kontemporer, pemikiran manusia sendiri yang telah menghancurkan konsep bios
theoretikos. Sebab, mereka masih mewarisi dua prinsip penting dari ontologi.
Pertama, sikap teoretis murni sebagai metodologi. Kedua, mereka masih meyakini
bahwa struktur dunia dan masyarakat tidak tergantung dari subjek yang
mengetahuinya. Positivisme telah membangung tembok tebal antara pengetahuan dan
kehidupan praxis.[1]
Bagaimanapun, penerapan metode
ilmu-ilmu alam pada ilmu sosial mengandung masalah. Secara filosofis, dapat
dikatakan bahwa kenyataan sosial terdiri dari tindakan manusia yang tidak dapat
dibakukan dalam hukum-hukum tetap seperti fakta alam.[2]
Oleh karena itu, sejak masa berkembangnya, hadir golongan yang menolak Positivisme, terutama dari beberapa
pemikir Jerman, mereka berusaha membebaskan metodologi ilmu sosial dari ilmu
alam.
Mereka melakukan perdebatan metode
yang mencari perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Diantaranya
Windelband dan Rickert dari Mazhab Baden. Windelband membedakan ilmu-ilmu alam
menyelidiki gejala pengalaman yang dapat diulang terus menerus sehingga
dihasilkan hukum (ilmu nomotetis), sedangkan ilmu sosial budaya meneliti
peristiwa individual unik yang sekali terjadi (ilmu ideografis). Kemudian perbedaan tersebut diperdalam oleh
Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) untuk ilmu budaya
(geisteswissenschaften) dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam
(naturwissenschaften).
Jurgen Habermas, teoretisi sosial
Jerman mengatakan bahwa positivisme dalam ilmu-ilmu sosial hadir sebagai
penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam pada masyarakat
selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif untuk saling pemahaman-intersubjektif.
Oleh karena hakikat ilmu pengetahuan tampak dari aplikasinya, positivisme taraf
metodologis ini akan menghasilkan teknologi sosial pada taraf sosial, dan
teknologi sosial pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi. Di
dalam sebuah teknokrasi total, peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’
disingkirkan. Yang terjadi disini adalah objektivisme: subjek hanya bertugas
menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang
obyektif. [3]
Kemudian, keberadaan positivisme
jelas telah mereduksi ilmu pengetahuan. Reduksi ini sudah terkandung dalam
istilah “positif” yaitu “apa yang berdasarkan fakta objektif”.[4]
Dengan karakter seperti ini, positivisme ingin memisahkan fakta dari hal-hal
yang sebenarnya terkait. Karakter ini menjadi rentan bagi positivisme untuk
ditunggangi oleh kelompok dominan dalam rangka mempertahankan dominasinya.
Secara teoritis, Teori Kritis tampil
sebagai subjek paling menonjol melakukan aksi penolakan. Ia memposisikan diri
sebagai kritik ideologi, untuk membongkar selubung ideologis di balik
positivisme. Terdapat dua taraf yang hendak disasar olehnya. Pertama, taraf
teori pengetahuan, ia berusaha mengatasi positivisme. Kedua, taraf teori
sosial, kritik ditujukan ke berbagai bentuk penindasan ideologis yang
melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.[5]
Pemahaman positivistik atas ilmu sosial mengandung relevansi politis yang sama
beratnya dengan klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi melanggengkan
status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi sosial sendiri diarahkan oleh cara
berpikir teknokratis dan positivistik yang pada prinsipnya adalah rasio
instrumental atau rasio teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori
Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat
yang lebih rasional melalui refleksi diri. Pada titik inilah teori akan
mendorong praxis hidup politis manusia.
Kurnia Yunita Rahayu
Kurnia Yunita Rahayu
Daftar Pustaka
Hardiman, Budi F. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. 2009
Hardiman, Budi F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: 2003
[1]
F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius,
2009), hal. 28
[2]
Ibid., hal. 29
[3]
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 58
[4]
Ibid., hal. 55
[5]
F. Budi Hardiman, op. cit.,
hal. 34
penjelasan yang bagus!
ReplyDeletesering-seringlah menulis (blog)! ehehe..
iyeuh.....
ReplyDeletepositivistik dalam ilmu, memang diperlukan, dalam domain ontologisnya sendiri, atau katakanlah sebuah determinisme. yang jadi problem dari Auguste Comte dan kebanyakan positivis adalah logikannya yang terbalik: hal-hal yang bersifat empirik, tidak dibangun dari hal-hal metafisik, melainkan kesatuan empirik yang menyusun logika deduktif. sebuah totalisme adalah sebuah keniscayaan.
salam, main-main juga ke minimalsatu.blogspot.com
positivisme dalam ilmu pengetahuan tidak diperlukan bahkan membahayakan pengetahuan itu sendiri. sebab dengan positivisme, obyek pengetahuan mesti dicari obyektivitasnya dengan cara menghilangkan pengalaman dari dirinya sendiri. itu berarti segala subjektivitas yang hadir dalam rentang waktu keberadaannya dihilangkan. dengan cara seperti itu, kita akan memperoleh pemahaman yang abstrak dalam kategori ruang, waktu, massa, dan gerakan.
ReplyDeletemaka, permasalahan dari positivisme adalah bagaimana ia memperlakukan obyek pengetahuan itu sendiri.
totalisme atau universalitas bukan sebuah keniscayaan, karena kehadirannya disokong oleh partikel-partikel penyusunnya, maupun sebaliknya. ada hubungan saling mempengaruhi, tapi tidak menjadi satu-satunya yang menentukan. dalam hal ini, semua yang ada dalam kosmos berperan dalam pembentukan ilmu pengetahuan. bila kemudian bicara mengenai signifikansi peran, ketidak-signifikan-an pun sebuah peran bukan?