Sayu-sayu terdengar dari balik jendela timur.
Kidung cinta Bapak Amir
Mengendap-endap dalam kepulan asap dari dandang yang dipakai
ibu memasak nasi.
Kidung cinta Bapak Amir
Ah, tidak terdengar romantis sama sekali.
Seperti sajak murahan yang dibuat untuk menunjukkan bahwa ia
berada di titik produktif.
Hahaha, Bapak Amir ingin nampak produktif?
Darimana, bahkan kemampuan dasar untuk membuat penisnya
berdiri saja tak dimiliki, apalagi buat menyembur sperma ke liang vagina ibu,
menyentuh titik terdalam dan mencipta orgasme?
Hahaha, pecundang betul si Bapak Amir.
Eits, sebentar, sebentar, darimana pula aku punya muka untuk
mempecundangi Bapak Amir secara psikis karena ia tak bisa ereksi? Tidakkah aku
malu padanya, bahkan aku dan semua orang memanggilnya Bapak Amir.
Si Amir sudah berumur delapan pula tahun ini.
Aih, aih, kalau begitu bisa gagal upayaku mempecundanginya.
Diam-diam niatanku memang sangat besar.
Maka selamatlah Bapak Amir, sesegera mungkin ia bisa melanjutkan
kidungnya.
Kidung cinta penuh asa untuk keluarga.
Kidung cinta penuh mesra dalam dekap semesta.
Hahahahahaha, maaf, maaf, Bapak Amir, aku tidak bisa
menghalang tawa untuk keluar dari mulutku.
Pipiku sudah terlampau menggelembung saat menahannya, salah-salah
nanti banyak liur yang muncrat bila aku memaksa tutup mulut.
Amir itu kan muncul karena teknologi. Entah benih darimana
delapan tahun lalu dibenamkan ke dalam rahim ibu. Dengan suntikan besar yang
terlampau menyakiti ibu saat ditusukkan ke tubuhnya.
Dan kau, Bapak Amir, setuju setengah hati waktu diminta
menandatangani dokumen pelegalannya.
Kamu terlalu sentimentil waktu itu. Ingin
sekali punya anak.
Entah apa alasanmu bersikukuh ingin beranak saat itu.
Padahal ibu tidak ambil pusing, meski tidak acuh pula.
Kamu terlalu memaksa, demi prestise, demi harga diri!
Bahkan perihal kemunculan benih dalam rahim ibu pun kau
rahasiakan!
Kamu ingin tampil jantan di muka publik. Menggandeng tangan
perempuan hamil. Membelikan baju dan susu buat ibu yang perutnya kian hari kian
membuncit. Siaga siang dan malam menjaga dan memenuhi kebutuhan ibu. Menciumi
perutnya waktu si Amir terasa menendang-nendang dari dalam.
Ahhh, pahlawan kau, Bapak Amir!
Lelaki siaga, lelaki penuh perhatian, lelaki super!
Hmmm, puas kamu, Bapak Amir? Sudah puas? Senangkah hatimu?
Dapatkah senyum hadir di tiap harimu kini?
Kamu sudah jadi lelaki super. Lelaki super yang tidak punya
modal pribadi dalam rangka menjadikan dirimu super. Eits, maaf aku terlalu mengecilkanmu,
justru modal pribadimu sungguh besar, yakni sebuah kemampuan: mengobjektifikasi
ibu.
Sudah kubilang sejak awal, untuk ereksi saja kamu tidak
bisa. Tetapi masih ingin tampil perkasa, tampil bijak sebagai bapak, padahal
menyusahkan ibu.
Bukan, bukan ibu keberatan sembilan bulan mengandung Amir,
bukan ibu lelah mengurus Amir, bukan ibu jengah menanti orgasme yang tak
kunjung bisa hadir ketika penismu mencoba masuk liang vagina ibu. Tapi kamu
yang terlampau menggunakan ibu untuk memenuhi obsesimu. Untuk menjadi lelaki
ideal idaman masyarakat.
Kini ibu hanya bisa mengikuti katamu, menjadi objek atas
segala keinginanmu. Dan ibu tidak pernah protes akan hal itu. Karena ibu,
sejatinya sama denganmu, Bapak Amir, manusia yang setia pada norma, penurut
budaya.
Bapak Amir, mendekatlah, perhatikan, sejak satu jam yang
lalu ada seorang lelaki yang tidak beranjak dari hadapan cermin. Menangis,
mencaci, meronta, kemudian tertawa. Dengarkan baik-baik ucapannya, tidakkah
sama dengan segala upayaku mempecundangimu? Simak dengan seksama gerak bibirnya,
tidakkah seirama dengan gerak bibirmu?
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment