Judul: Gadis Jeruk
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Yuliani Lupito
Penerbit: Mizan Pustaka
Cetakan: Juli 2011 (Gold Edition)
Tebal: 256 hlm
Apa jadinya bila seorang yang sudah mangkat belasan tahun lalu kembali hadir di suatu malam dan mengajakmu berbincang? Bahasan apa yang bisa mempertemukan dua orang dari dimensi dunia yang berbeda? Sekejap saja membayangkan, rasanya aku sudah ingin lari. Takut-takut dia datang dan bicara dengan gigi taring yang sudah memanjang lagi runcing. Sebentar saja aku sudah ingin menarik selimut untuk sembunyi. Jangan-jangan dia siap mencekikku dengan jemarinya yang berkuku-kuku tajam.
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Yuliani Lupito
Penerbit: Mizan Pustaka
Cetakan: Juli 2011 (Gold Edition)
Tebal: 256 hlm
Apa jadinya bila seorang yang sudah mangkat belasan tahun lalu kembali hadir di suatu malam dan mengajakmu berbincang? Bahasan apa yang bisa mempertemukan dua orang dari dimensi dunia yang berbeda? Sekejap saja membayangkan, rasanya aku sudah ingin lari. Takut-takut dia datang dan bicara dengan gigi taring yang sudah memanjang lagi runcing. Sebentar saja aku sudah ingin menarik selimut untuk sembunyi. Jangan-jangan dia siap mencekikku dengan jemarinya yang berkuku-kuku tajam.
Untungnya imajinasi sekejap itu tidak jadi
kenyataan saat Georg Roed menghadapi kedatangan Jan Olav, ayahnya yang sudah
meninggal sebelas tahun lalu. Karena sang ayah tiba lewat sepucuk surat. Sebuah
tulisan panjang yang sudah disiapkannya sehari sebelum pergi ke alam baka.
Sebelum mangkat, Jan Olav punya beberapa
hal yang ingin disampaikan kepada Georg. Namun, ia sendiri kebingungan
bagaimana pesannya bisa dimengerti oleh balita berumur 3,5 tahun. Makanya, ia
menangguhkan pesan tersebut, hingga anak tunggalnya berusia 15 tahun. Surat itu
pun disimpan, di sebuah tempat yang tak ia beritahukan secara langsung pada
ahli warisnya.
Keputusan Jan Olav menangguhkan penyampaian
pesan itu nampaknya tepat. Sebab, bagaimana bisa Georg 3,5 tahun dapat mengerti
kisah cinta panjang yang dituturkan sang ayah dalam suratnya. Seorang psikolog asal
Swiss Jean Piaget pun sudah jauh-jauh hari mengingatkan: balita seusia Georg
sedang berada di tahap perkembangan operasional konkret. Sejauh itu, koordinasi
komponen biologis dan psikis pada tubuhnya baru menerima hal-hal yang bisa
dijangkau indera. Belum mampu berpikir abstrak, apalagi diajak menyelami kisah
cinta yang ditulis ayahnya.
Secara sengaja, Jan Olav membeberkan kisah
masa lalunya semasa menjadi mahasiswa kedokteran. Ia jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada seorang gadis yang ditemui di sebuah trem. Muda, cantik,
mempesona dan identik. Gadis itu membawa sekantong penuh buah jeruk.
Namun sayang, pertemuan pertama Jan Olav
dengan gadis pujaannya tidak berlangsung baik. Tak sengaja ia menumpahkan
seluruh jeruk bawaan sang gadis dan mendapat bonus ucapan dari si gadis, “kamu,
sinting!” Setelah kejadian yang berlangsung begitu cepat tersebut, gadis yang
tak sempat ia ketahui namanya segera turun di stasiun terdekat. Ia hilang.
Merasa bersalah, Jan Olav ikut turun di
stasiun berikutnya. Ia berjalan kesana kemari, memeriksa satu persatu orang
yang ditemui, apakah si gadis yang jeruknya telah ia tumpah ruahkan di dalam trem.
Sayang, hingga hari berakhir, tak ia dapatkan gadis yang ingin sekali ia tahu
namanya, sekaligus bila ia tidak tersinggung Jan Olav mau mengganti kerugian
atas jeruk-jeruknya, atau sekadar untuk mengucap maaf.
Sejak saat itu, Jan Olav terus mencari
Gadis Jeruknya ke seluruh penjuru kota bahkan lintas negara. Sambil menggunakan
nalar kedokterannya, ia mencoba mendiagnosis seluruh gejala yang ditampilkan
gadisnya. Beragam terkaan ia semat sambil menghubung-hubungkan tempat apa yang kira-kira
cocok dengan diagnosanya. Mulai dari sudut-sudut kota, kafetaria, pasar buah,
bahkan hingga ke Spanyol tempat jeruk-jeruk itu tumbuh.
Dalam pencarian itu, beberapa kali Olav
bertemu dengan Gadis Jeruknya secara kebetulan meski tanpa kata-kata. Hingga satu
pertemuan di malam Natal yang menjadi tanda bahwa cinta Olav bersambut. Gadis
Jeruk punya perasaan yang sama, namun memintanya untuk menunggu selama enam
bulan untuk tidak bertemu, agar enam bulan setelahnya mereka bisa bersama
setiap hari. Gadis Jeruk membuat sebuah aturan untuk kehidupan cinta mereka. Buatnya,
dalam hidup manusia perlu untuk merindu.
Keteguhan hati Jan Olav mencari dan menanti
gadisnya ditulis apik dan mengalir oleh penulis asal Norwegia, Jostein Gaarder
dalam buku karyanya berjudul Gadis Jeruk. Lewat pencarian Jan Olav atas
gadisnya, Gaarder mengajak pembaca berkeliling Eropa dengan menyuguhkan
deskripsi geografis kota-kota Eropa secara detil.
Namun, kisah tersebut hanyalah sebuah awal
kepada perbincangan soal hidup yang ingin disuguhkan oleh Gaarder. Melalui
kisah ini, paling tidak ia ingin mengajak pembaca memikirkan apa yang ada
ketika ruang dan waktu belum tercipta. Apa yang mengisi jagat raya sebelum
dentuman besar membentuknya. Akankah ia tetap hadir bila satu saja prakondisi
menujunya gagal dilaksanakan. Masih mungkinkah seorang balita 3,5 tahun bernama
Georg bisa menghirup udara bumi ketika Jan Olav dan Gadis Jeruk tak mau lagi mematuhi
aturan untuk saling menunggu saat yang tepat untuk memadu kasih?
Dan apabila jabang bayi Georg harus
menentukan pilihan untuk hidup apa yang akan ia pilih? Atas hal tersebut dengan
yakin Georg-sebagai representasi manusia-telah menjatuhkan pilihan untuk
menjalani kehidupan dengan segala konsekuensi yang mesti diterima.
Bahkan untuk memasuki alam hidup, manusia
tidak hanya tinggal memilih. Melainkan mesti berkompetisi dengan ribuan sel
lain untuk menjadi janin. Kita tidak lain dari sperma pemenang yang berhasil
menyelesaikan kompetisi ketika sampai di ovum.
Maka, tidak ada satu kejadian pun yang
terjadi secara kebetulan. Semua yang ada merupakan prakondisi yang memang mesti
disiapkan untuk sampai di tujuan akhir.
Namun, bila manusia dan seluruh jagat raya
sudah ada di titik akhirnya, apakah yang akan terjadi kemudian? Karena tidak
pernah ada konsensus mengenai apa yang terjadi setelah kematian, Jan Olav pun masih
menggunakan cara-cara manusia untuk menyampaikan pesan kepada anaknya bahkan
setelah ia mati.
Lewat surat tersebut, Gaarder dalam sosok
Olav gundah akan kemana kita setelah kematian? Ketika semua tidak ada, akankan
ada sebuah ‘ada’?
Di tengah resah Gaarder memberikan tesis
jitu kepada pembaca sekalian. Buatnya, hidup adalah dongeng. Rangkaian cerita
yang mengalir dengan sebuah alur dan memiliki aturan-aturan khas, dimana kita
tak perlu mempertanyakan dan mesti menurutinya. Sebagaimana Cinderella yang
mesti rela meninggalkan pesta dini hari demi hidup bersama pangeran selamanya. Sebagaimana
Jan Olav yang hatinya berdarah-darah lantaran menahan rindu tidak bertemu, sebaga
syarat untuk hidup bersama dengan Gadis Jeruknya.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment