Empat puluh delapan tahun perjalanan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menorehkan banyak guratan dalam sejarahnya. Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), tentunya banyak guru yang dihasilkan. Selain itu, sedikit beromantisme, satu-satunya kampus negeri yang berdiri di ibukota ini, juga banyak menelurkan gagasan yang kemudian dilanjutkan menjadi kebijakan pendidikan nasional.
LPTK yang sudah berdiri sejak tahun 1964 ini, mencapai tingkat sempurna dalam metamorfosis bentuknya. Mulai dari sebuah institut yang membidangi ilmu-ilmu kependidikan hingga menjadi sebuah universitas, yang menaungi beragam disiplin ilmu di luar kependidikan. Akan tetapi, perluasan mandat yang diterima oleh IKIP Jakarta pada tahun 1999, ternyata berimbas pada ketiadaan orientasi bagi institusi ini.
IKIP Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi UNJ, tidak lagi memproduksi gagasan yang berpengaruh dalam dunia pendidikan nasional. Proses pembelajaran hanya menghasilkan insan-insan yang berkemampuan mereproduksi pengetahuan. Institusi ini, mandul gagasan pendidikan. Begitu pula dengan disiplin ilmu di luar kependidikan. Hingga belasan tahun kelahirannya, belum ada hasil penelitian maupun prestasi yang bisa menjadi ukuran keberhasilan. Jadi tidak berlebihan untuk dikatakan, institusi ini tidak memiliki arah jelas yang akan dituju setelah konversinya.
Salah satu faktor yang menyebabkan miskinnya gagasan dari para civitas academica adalah melemahnya budaya akademik. Mahasiswa UNJ kini dilenakan dengan berbagai aktivitasnya di dalam ruang kelas. Sibuk dengan begitu banyak tugas, juga tertekan dengan pembatasan masa studi yang diberlakukan kampus. Imbasnya, tidak ada lagi keinginan untuk menggaungkan budaya baca, tulis, dan diskusi. Karakter psikis bawaan yang tumbuh adalah bagaimana bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang singkat, tanpa harus menghidupkan kampus dengan budaya akademik.
Melemahnya budaya akademik nyata juga memarjinalkan dan mengalienasi mahasiswa dari lingkungan sosialnya. Segelintir mahasiswa saja yang paham bahwa di akhir tahun 2011 lalu, dua pejabat kampus terlibat kasus korupsi. Pembantu Rektor III dan seorang dosen Jurusan Teknik Sipil disahkan sebagai tersangka penggelembungan anggaran proyek pengadaan laptop dan sarana penunjang laboratorium. Tentunya, adanya kasus ini menjadi hal yang memalukan bagi universitas. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menutupi kebenaran. Terlebih lagi, membahas soal korupsi bukan hanya bicara moral. Akan tetapi ada pola kerja dan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya penggelembungan dana proyek tersebut.
Munculnya kasus korupsi juga tidak bisa dilepaskan dengan sistem PK-BLU (Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum) yang sudah sejak tahun 2009 diberlakukan di UNJ. Titik tekan dalam kebijakan ini adalah pemberlakuan otonomi kampus. Otonomi yang dilakukan, sangat riskan terhadap munculnya oligarki kekuasaan dalam tubuh rektor. Khususnya dalam kasus ini, Bedjo Sujanto yang dikabarkan ada “main” dengan pihak perusahaan yang menangani proyek, bisa leluasa mengatur pembagian jabatan di bawahnya dengan berbagai resiko.
Otonomi yang dilakukan kampus, adalah otonomi dalam pengelolaan keuangan. Dengan disahkan serta dilaksanakannya PK-BLU di kampus pendidikan ini, maka tidak heran jika pada tahun 2011, biaya kuliah naik sekitar 60% dari tahun sebelumnya. Bahkan, sejumlah 217 mahasiswa baru UNJ 2011 yang sudah dinyatakan diterima, harus hengkang karena tidak mampu melunasi biaya kuliah, dan pihak kampus angkat tangan menyikapinya. Kewenangan yang diberikan pemerintah kepada universitas untuk mencari dana sendiri dalam pembiayaan kegiatannya, sungguh merupakan bentuk nyata dari swastanisasi perguruan tinggi negeri.
Rasionalisasi yang digunakan dalam kenaikan biaya kuliah adalah sehubungan dengan pembangunan fisik yang sedang gencar dilakukan oleh kampus. Gedung megah dan tinggi yang jadi prioritas utama kampus jelas-jelas tidak berpihak pada mahasiswa penyandang ketunaan. Berbagai usulan serta protes sudah dilancarkan oleh mahasiswa. Hingga di tahun 2011, mahasiswa dari berbagai jurusan membentuk sebuah aliansi yang berkonsentrasi memperjuangkan soal-soal aksesibilitas.
Beragam ketidak beresan yang terjadi di UNJ ini mungkin akan sampai pada titik nadir jika tidak ada perubahan dan perbaikan. Untuk itu, mahasiswa sebagai stake holder harus segera turun tangan untuk melawan kondisi ini. Dengan melakukan aksi pemogokan, mungkin para pemangku kebijakan kampus baru bisa sadar atas segala yang mencerabut mahasiswa dari akar-akar kemanusiaannya.
Tulisan ini hadir bukan sebagai aksi penyerangan atau menjadi sekedar alternatif dalam memeriahkan rangkaian acara ulang tahun UNJ yang ke-48. Terlebih saya hadir sebagai mahasiswa. Momen perayaan 48 tahun ini harus bisa merefleksi kondisi nyata kampus. Serta sesegera mungkin melakukan perubahan untuk pendidikan, yang sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Selamat 48, UNJ!
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment