Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, besar kemungkinan mereka dan kita setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.
Mencerdaskan kehidupan bangsa memang merupakan sebuah tujuan mulia dari pendidikan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Realisasi dari pernyataan tersebut pun sangat dinanti dan diinginkan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kenal status dan golongan, kita semua beramai – ramai menggantungkan cita – cita setinggi langit untuk mendapat hari esok yang lebih gemilang melalui dunia pendidikan sebagai medianya.
Berbondong – bondong lulusan SMA dan sederajat mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi dengan berbagai jenis seleksi masuk. Tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan hanya untuk membeli formulir yang bahkan tidak ada jaminan sama sekali untuk bisa diterima di perguruan tinggi. Namun, semua ini dilakukan dengan semangat yang membara-bara karena mereka ingin mencicipi manisnya kehidupan di dunia kampus.
Bagi anak – anak yang didukung oleh kemampuan orang tua yang mencukupi, mereka akan masuk ke perguruan tinggi yang menerapkan sistem jam belajar reguler, mulai dari pagi dan berakhir di sore hari, disertai dengan berbagai oraganisasi mahasiswa yang disediakan oleh lembaga, yang diharap dapat menyalurkan minat dan bakat serta aspirasi mahasiswa untuk mengkritisi keadaan di sekitarnya. Namun, bagaimana dengan anak – anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah? Mereka yang memiliki kesungguhan niat akan tetap mengejar pendidikannya walaupun dengan resiko mereka harus bekerja di luar jam belajar.
Dilatarbelakangi oleh banyaknya siswa – siswi yang lulus dari SMA atau sederajat memilih untuk bisa bekerja terlebih dahulu dan kemudian baru membiayai kuliah dengan hasil keringatnya sendiri, memicu menjamurnya universitas swasta yang menyediakan program kelas karyawan. Dalam hal ini mereka memfasilitasi anak – anak Indonesia yang sudah berstatus sebagai karyawan untuk bisa tetap kuliah di hari Sabtu dan Minggu.
Inisiatif tersebut, melahirkan begitu banyak perguruan tinggi di Indonesia, yang menurut Dr. Umasih jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai lebih dari 4000 lembaga dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Melihat fenomena seperti ini, tergambar jelas ada usaha dari pihak swasta atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan sampai ke jenjang yang setinggi – tingginya.
Namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar banyak dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan mungkin cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini. Dan hal ini menjadi pemandangan yang sangat lumrah bagi penduduk ibukota. Memang tidak bisa dipungkiri, tidak semua universitas melakukan hal seperti itu, namun universitas swasta yang memenuhi standar pun memungut biaya dengan jumlah setinggi langit.
Sepertinya pendidikan di perguruan tinggi kini telah mengalami penyempitan makna. Sarjana bagi sebagian besar orang, hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakangnya. Kuliah bermakna rutinitas yang harus ditempuh sebelum mendapatkan pekerjaan yang mapan. Setelah bekerja lalu akan berdatangan uang-uang yang dapat memenuhi segala kebutuhan. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?
Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, mengapa yang terpikir melulu hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Apakah fenomena hari ini sudah mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945?
Pasti banyak sekolah-sekolah serta perguruan tinggi yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi.
Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment