Memperingati dan memaknai hari pendidikan nasional bukan hanya melaksanakan upacara bendera.Bicara pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagai seorang awam, pun orang yang telah belasan tahun mengenyam pendidikan formal, semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan langkah awal yang musti dilalui untuk mencerdaskan bangsa.
Sehubungan dengan momentum hari pendidikan nasional, mari kita bercermin, tataplah wajah pendidikan di Indonesia hari ini. "Mencerdaskan kehidupan bangsa"... Kalimat itu begitu akrab di telinga seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut sangat diinginkan oleh semua rakyat Indonesia, dari kalangan apa pun. Namun kini, apakah pendidikan sudah mencapai tujuannya yang begitu mulia itu? Jawabannya sungguh relatif. Banyak orang yang bisa dikategorikan sebagai pintar di Indonesia ini. Tidak jarang anak-anak Indonesia meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Sains Internasional. Hal ini membuktikan bahwa di satu sisi, pendidikan yang dilaksanakan sudah berhasil.
Lalu kembali ada yang harus dipertanyakan? Banyaknya prestasi yang diraih tersebut mengapa tidak diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan bangsa? Jawabannya sederhana, karena pendidikan terlaksana secara tidak merata. Memang sangat menyedihkan rasanya hidup menjadi rakyat miskin di negara ini, tidak pernah ada kebijakan yang menyentuh mereka. Pun jika kebijakan itu ada, entah mengapa dan bagaimana hal-hal mulia tersebut hanya akan menjadi mimpi indah belaka.
Pemerataan pendidikan diusahakan dengan didirikannya banyak perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi di negara ini mencapai lebih dari 4000 lembaga, dengan jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 100 lembaga. Sekali lagi ini merupakan usaha pihak swasta, atau dapat dikatakan usaha mandiri rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini memiliki tujuan yang sangat mulia, namun apa yang terjadi? Kampus-kampus dan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di ruko-ruko yang bahkan tidak memenuhi syarat perguruan tinggi. Tenaga pengajar bisa jadi tidak memenuhi kualifikasi, dan cuma memiliki persyaratan administratif untuk menjadi dosen. Kurikulum dan mata kuliah, hanya disesuaikan dengan kebutuhan pasar hari ini.
Sepertinya arti pendidikan di perguruan tinggi telah mengalami penyempitan makna. Sarjana kini hanya berarti gelar yang akan menyertai nama belakang kita. Apakah ini yang diinginkan rakyat seutuhnya? Mengapa pemerintah hanya diam menyaksikan fenomena pendidikan semu ini?
Adanya penggolongan rintisan sekolah bertaraf internasional pun begitu mengganggu idealisme pendidikan. Tidakkah kita ingat pendidikan di masa kolonial Belanda yang mengkotak-kotakkan lembaga pendidikan. Sekolah Pribumi, Sekolah Cina, dan Sekolah Eropa. Adanya penggolongan tersebut memperuncing perbedaan diantara penduduk Hindia Belanda dan memang ditujukan untuk meminggirkan peran pribumi dari tanah leluhurnya sendiri. Lalu keberadaan Sekolah Lokal, Sekolah Standar Nasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tidakkan merupakan usaha yang sama dengan yang dilakukan para penjajah di masa lalu, namun dilaksanakan dengan metode baru saat ini, dan betapa pedihnya ini merupakan kebijakan dari orang Indonesia sendiri.
Perlu diteliti kembali memang pola pikir orang-orang Indonesia hari ini, terutama yang duduk di kursi pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan seperti hanya untuk mengejar gengsi semata. Mengilapkan pembungkus diri, namun keropos di dalamnya. Mungkin jumlah sarjana, bahkan doktor di Indonesia sangat banyak. Namun, apakah mereka menjalankan peran sesuai dengan cita-cita pendidikan? Pasti banyak sekolah-sekolah yang lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses pembelajarannya, tapi apakah mereka sadar bahwa kita harus memulai untuk mencetak generasi muda dengan kepribadian bangsa, yang cinta pada budaya dan adat-istiadat bangsanya, yang tidak dengan mudah tergerus arus globalisasi?
Renungkanlah bahwa pendidikan harusnya membebaskan pola pikir kita dari belenggu apa pun. Belenggu yang akan menjerat bangsa kita kepada pola pikir instan yang hanya mengikuti nafsu belaka. Bebaskan diri kita dari pengaruh buruk arus globalisasi, bebaskan seluruh jiwa dan raga kita untuk berkarya dan tidak terbatasi oleh uang.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment