Judul : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : April 2013
Halaman : 303 halaman
Masalah
utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang
penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan
soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.
Sejak
diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005, khalayak Indonesia
mengenal konsep profesionalisme atas guru. Bersamaan dengan itu pula, muncul
paradigma baru terhadap guru, sebagai tenaga profesional. Demi meraihnya,
profesi berciri khas keteladanan itu kini mesti berhadapan dengan sejumlah
persyaratan untuk mencapai profesionalitasnya.
Paling tidak, UU
meminta guru untuk memenuhi kualifikasi akademik serta beragam kompetensi
pendukungnya. Seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional yang disahkan dalam selembar sertifikat. Untuk menjamin
ketercapaiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menciptakan
rumusan jitu: sertifikasi dan pendidikan profesi guru.
Program yang
diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 itu dijadikan
senjata pamungkas dalam menjawab kebutuhan akan profesionalitas guru. Sebab,
jalur menuju profesi guru ikut berubah bersama lahirnya agenda ini. Sehingga
tidak boleh ada guru yang alpa mengikutinya. Bila terpaksa itu terjadi, resiko
ditanggung sendiri. Ia dinyatakan tidak profesional dan tak mendapat gaji
tambahan.
Ingin segera
menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu, persiapan dan penyelenggaran
program tersebut dilakukan. Kementerian menyediakan jalur sertifikasi untuk
mereka yang sudah lima tahun mengajar di sekolah. Iming-iming uang tunjangan
sebagai imbalan profesionalitas pun disambut baik oleh sebagian besar guru.
Maklum sudah puluhan tahun guru Indonesia hidup dalam belenggu kemelaratan.
Namun, kabar ini
segera ditolak oleh Y. Sumardiyanto, pengajar di SMA Kolese John De Britto
Jogjakarta. Bagi guru yang sudah 20 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan
ini, masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar
yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi,
melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan
menginspirasi.
Lewat buku
perdananya Guru Gokil Murid Unyu, guru yang menggunakan nama pena J.
Sumardianta ini mengatakan seberapa pun tinggi kompetensi guru, ia tidak akan
mendapat perhatian murid bila tidak bisa menjadi inspirasi dengan menjadi teladan.
Bagaimana seorang guru bisa menjadi sumber inspirasi? Minimal, ia tidak
mendominasi kelas dengan berceramah sepanjang hari. Senantiasa menjadikan murid
sebagai subjek pada kegiatan belajar mengajar.
Untuk
memosisikan murid sebagai subjek, Sumardianta mengungkapkan bahwa hal tersebut
tidak dapat terlaksana selama guru-guru masih mengikuti kurikulum yang
diberlakukan oleh pemerintah. Sebab, sarat dengan otoritas kelompok dominan
yang jelas-jelas bertujuan menunadayakan siswa bukan membebaskan.
Hal ini dapat
ditinjau dari pelaksanaan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Kurikulum
yang mengklaim diri memiliki semangat pemberian otonomi kepada guru dalam
mengembangkan bahan ajar terbukti hanya bualan. Sebab, pemerintah masih
memberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa dari sekolah
dasar hingga sekolah menengah. Maka, guru dan murid perlu untuk membongkar
muatan ideologis yang ada dalam kurikulum dengan melakukan pendidikan yang
membebaskan.
Sebagai konklusi
atas pendidikan yang membebaskan, Sumardianta kemudian berpulang pada gagasan
Paulo Freire. Pedagog asal Brazil yang mengajukan pola pendidikan pemberdayaan
manusia melalui pertumbuhan kesadaran. Freire sendiri membagi kesadaran ke
dalam tiga ranah. Kesadaran magis, naif, dan kritis.
Manusia
berkesadaran magis tidak dapat menemukan kaitan antara ketidakberdayaan dengan
struktur sosial ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melingkunginya. Pandangan
ini bercorak fatalistis, dengan memosisikan sesuatu yang ada di luar diri
manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Seorang fatalis menganggap seluruh
hal yang tidak mampu dilakukannya merupakan kodrat Tuhan yang tidak bisa
diubah.
Dalam kesadaran
naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri bila terjebak dalam situasi
keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Sedangkan manusia berkesadaran kritis
akan mampu membongkar penyebab keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang
terselubung oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagai tindak
lanjut, guru punya tugas utama untuk menuntun tiap siswanya menapaki tingkat
kesadaran yang lebih tinggi.
Untuk mencapai
tingkatan kesadaran kritis, mesti dilangsungkan pembelajaran yang dialogis
antara guru dengan murid. Kondisi yang sepenuhnya lepas dari pengendalian satu
sama lain. Maka, dalam situasi seperti ini, guru sudah bertransformasi menjadi
pendengar yang senantiasa memperhatikan, bukan guru berwatak konvensional yang terus
menerus memberi instruksi yang mampu mengubur kreativitas dan karakter murid.Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang kritis sebelum menularkannya kepada
para murid.
Poin utama dalam
rangka menumbuhkan kesadaran kritis serta karakter yang kuat dalam diri tiap
murid adalah dengan memberikan mereka pengajaran yang bermakna atau lebih
dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual. Mewujud hal ini, guru mestilah
senantiasa memperkaya diri dengan beragam pengetahuan agar bisa merumus
pengetahuan yang baru. Hingga pada tingkatan selanjutnya mampu mengaitkan
pengajaran yang diberikan kepada kebutuhan hidup sehari-hari.
Dicontohkan oleh
J. Sumardianta, sekolah tempatnya mengajar selalu mengadakan program live-in bagi murid-muridnya.
Daerah-daerah berpenduduk miskin biasa jadi tujuan. Disana lah murid-murid SMA
Kolese John De Britto--yang sebagian besar berasal dari kelas menengah atas--diasah
karakternya dengan membiarkan mereka belajar langsung dengan hidup bersama
penduduk setempat selama beberapa waktu. Dengan begitu, murid akan mendapatkan
pelajaran dari langsung dari kehidupan yang mampu memberikan mereka lebih dari
inspirasi.
Buat
Sumardianta, untuk menciptakan pendidikan yang ideal, penekanannya terletak pada
guru. Dalam hal ini, ia memercayakan perubahan dari dalam diri guru itu
sendiri. Yakni dimulai dengan mengubah paradigma mengajar bukan sekadar untuk
bekerja mencari nafkah melainkan belajar untuk meraih gelar S-4 (Sukses Sekolah
Sejahtera Selamanya). Maka, dibutuhkan guru berkarakter altruis, yang sepenuhnya
mengabdi kepada murid.
Perihal inspirasi
juga menduduki posisi penting dalam gagasan yang dikemukakan Sumardianta. Oleh
karena itu, guru mesti rajin membaca untuk mendapatkan referensi yang
menginspirasi dan menuliskannya sebagai bentuk pengejawantahan pengetahuan yang
sudah didapat.
Kemampuan
menulis memang menjadi andalan guru yang satu ini. Melalui tulisan-tulisannya,
ia menunjukkan kepada para murid bahwa dirinya merupakan sosok yang mampu
menginspirasi. “Masing-masing guru harus punya nilai lebih. Kalau kita menjadi
guru yang datar-datar saja, mohon maaf, tidak bakal ditengok siswa,” tulis
Sumardianta di bagian akhir bukunya.
Saking gandrung dan percayanya pada hal-hal yang menginspirasi, Sumardianta membuka seluruh tulisan yang ada di buku ini dengan beragam kutipan dan kisah inspiratif. Baik yang bersumber dari dalam negeri, luar negeri, tokoh-tokoh dunia, hingga kisah-kisah yang diambil dari kitab suci lintas agama. Menjadi satu karakter yang menarik bila dikemudian hari J. Sumardianta menjadikan hal ini sebagai ciri khas tulisannya.
Buku ini cocok dibaca untuk siapa saja, terutama para guru dan calon guru yang haus inspirasi. Lewat tulisan-tulisannya, Sumardianta berhasil membuat pembaca terinspirasi untuk menjadi guru yang bijaksana dan mengabdi kepada murid.
Kurnia Yunita Rahayu