Ara dan Tata sepasang muda yang sedang
giat-giatnya mencinta punya cerita khusus soal hubungan yang sudah dijalani
sepanjang sepuluh bulan belakangan. Mereka saling cinta meski tidak jarang
dimensi hidup yang mempertemukan keduanya diwarnai dengan ragam pertengkaran.
Tidak, tidak, bukan ragam, tapi banyak. Mereka memang sering punya waktu untuk
berselisih, untuk satu urusan.
Tata, mahasiswi jurusan sejarah yang punya
segudang referensi kejadian masa lalu-tidak terkecuali soal urusan
percintaan-selalu ingin mencipta kondisi ideal dalam hubungan. Ia seorang
perfeksionis yang agak takut pada kegoncangan. Gandrung pada kondisi aman,
sebisa mungkin menjauhi sakit hati. Untuk itu, Tata punya banyak standar dalam
menghidupi kehidupan, termasuk diberlakukan kepada pasangannya.
Buat Tata, segala hal punya substansi dasar
yang bersifat alamiah. Keberadaannya mungkin dinamis. Namun, untuk mencapai
perubahannya, dibutuhkan waktu yang begitu lama, karena geraknya sangat lambat.
Makanya, dia banyak kecewa bila lelaki yang amat dicintainya, Ara, melakukan
hal-hal melenceng dari segala estimasi Tata.
Tak pelak, latar belakang ini menghadirkan
pertengkaran berulang dalam hidup mereka. Ara yang tidak kunjung mencapai
standar Tata, jadi sasaran empuk marahnya. Maklum, perempuan konon lebih banyak
tidak bisa menahan marah ketimbang lelaki.
Menghadapinya, Ara setia di garis
pertahanan. Ia mengamini memang sebuah hubungan percintaan dibina bukan untuk
sebuah kompetisi. Buatnya-begitupun Tata- kesepakatan untuk punya komitmen
lebih dari sekadar teman, dijalani untuk sebuah hidup. Makanya, Ara mengubur
jauh-jauh konsep kebahagiaan yang mungkin didapat dari proses memberi dan
menerima. Hidup yang sebenarnya, jauh lebih luas ketimbang mekanisasi memberi
untuk menerima.
Sebagai hadiah, Ara mempersembahkan sebuah
lagu untuk Tata. Memang sama sekali bukan ciptaan atau gubahannya. Dan memang tidak
disuguh dengan penampilan khusus dalam suasana romantis. Hanya sebuah pesan
rekomendasi buat kekasihnya, “dengarlah lagu Dewa 19, Aku Disini Untukmu,”
katanya.
Lagu yang dicipta oleh pentolan grup musik
Dewa 19 Ahmad Dhani ini memang banyak menyuguh suasana santai. Mulai dari
alunan nadanya yang agak mendayu, hingga lirik-lirik yang termuat. Bagi Dhani, tidak
perlu manusia risau dan lelah mencari nilai yang dimillikinya. Karena manusia
dan segala dimensi kehidupannya merupakan sebuah kekosongan makna.
Namun, bukan berarti manusia mesti pasrah
kemudian menyerah. Justru ini tugas besarnya: manusia harus aktif menentukan
makna diri dan hidupnya sendiri. Karena memang hanya dia yang bisa, bukan
diberikan orang lain, bukan turun dari langit.
Hal ini sejalan dengan pemikiran filsafat
yang berkembang pada masa Ahmad Dhani hidup. Ia memang anak zamannya. Anak
kandung dari filsafat eksistensialisme. Salah satu pemikir utama aliran ini
adalah seorang berkebangsaan Perancis, Jean Paul Sartre.
Sartre, sapaan akrab filsuf yang banyak
menghabiskan waktu luang di kafe-kafe ini mengatakan, manusia tidak memiliki
hakikat bawaan, atau yang dikenal dengan esensi. Karena itu, esensinya harus
diciptakan sendiri, sebab tidak ada yang menetapkan sebelumnya.
Hal ini bertolak dari sejarah panjang
filsafat Barat yang selalu berupaya mengungkap hakikat manusia, namun belum
pernah berhasil menemukannya. Maka pada umumnya, kegiatan mencari makna hidup
adalah sebuah kesia-siaan. Meski begitu, Sartre bukan seorang nihilis yang
meniadakan arti pada segala hal. Tidak bisa tidak, ia pun menyetujui bahwa
hidup adalah sebuah proses yang punya arti, namun manusia lah yang menciptanya.
Eksis berarti menciptakan kehidupan sendiri.
Eksistensialisme merangsek ke segala lini
kehidupan. Satu yang paling banyak mendapat pengaruhnya adalah bidang
kesusastraan. Sejak paruh pertama abad ke-20 hingga hari ini, teater-teater banyak
menampilkan absurdisme dalam gelarannya. Tujuannya memang menyuguhkan sajian
yang irrasional, menampilkan pertunjukan yang nihil makna, agar penonton mau
mencipta interpretasinya sendiri. Menemukan kehidupan yang lebih sejati dan
mendasar.
Karya-karya beraliran eksistensialis selalu
memberikan sajian yang sebagaimana adanya. Melakukan hal-hal seperti
sebagaimana adanya. Ini juga yang diinginkan Ara terhadap hubungannya. Ia tak
pernah alpa mengingatkan Tata untuk menjalani hidup seperti adanya. Untuk
bersama-sama tidak hanya mencipta makna, tetapi melangkah ke tahap yang lebih
jauh dan lebih riil: menghidupi hidup.
Aku
Disini Untukmu, Dewa 19
Melayang
kau cari-cari arti, yang pasti tak kan kau temui. Tak perlu kau nilai-nilai
semua, biarlah semua adanya. Kau coba meraba-raba hati, warna gejolak disini.
Alirkan semua rahasia, leburkan dalam suasana. Tak usah cari makna hadirnya
diriku, aku disini untukmu. Mungkin memberi arti cinta pada dirimu, aku disini
untukmu. Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu. Lupakan sekilas
esok hari semua telah terjadi. Aku dan dirimu, tenggelam dalam asa, dan tak
ingin lari tanggalkan rasa ini. Cobalah entaskan, pastikan lepas atau terus,
semoga perih terbang tinggi di awan.
Tak
usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Lepaskan sejenak berat
di pundakmu, aku disini untukmu. Pastikan terjawab semua ragu di cintamu, aku
disini untukmu.
Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment