Maafkan aku, ratu-mu, Kang Mas Yudhistira, sungguh lakuku
mencuci rambut dengan kucuran darah Dursasana tidak akan kulakukan jika
kekalahanmu di meja judi tidak mempertaruhku. Jika saja kau hanya memberikan seluruh
harta dan kuasa Astina Pura kepada Kurawa serta sekutunya, aku tidak akan
berucap sumpah seberani ini. Andaikan aku bisa tetap tenang berbaring di tempat
tidurku siang itu, ketika kau dikalahkan hidup dan sifat dasar kemanusiaanmu,
niscaya aku akan tetap menjadi Drupadi yang di dalam hatinya hanya menghendaki
kebahagiaan.
Teruntuk kakanda Arjuna, aku tahu, diam-mu kala siang si
balairung perjudian itu, mungkin sudah menyadari egoisnya istrimu ini. Terima
kasih, untuk tetap bergeming ketika keluarga Kurawa menyeretku ke depan khalayak dan tidak berhenti mencoba untuk
menelanjangiku, meski usahanya dihalangi dewata, dan tetap terjaga kesucianku.
Suamiku, Nakula dan Sadewa, wahai putra Kunti yang
memperistri diriku untuk Pandawa bersaudara, percayalah, aku hanyalah seorang
perempuan yang tidak pernah melepas hasrat untuk memanjakan diriku sendiri. Aku
hanyalah seorang perempuan yang tak pernah rela diperlakukan dengan kasar oleh
laki-laki. Sumpah demi nama dewata untuk tindakan yang sadis kepada Dursasana itu,
hanyalah bentuk protesku atas perlakuan kasar yang sedikit pun tak pernah
kudapat dari suami-suamiku, Pandawa yang lima.
Hey ksatria bumi, wahai Bima, putra Pandu Dewanata. Sungguh
tiada satu pun yang mampu menandingi keberanianmu. Demi kehormatan raja-mu,
kakanda-mu, suami-ku, Yudhistira yang asa dasar kemanusiaannya sedang dipergunakan
oleh Kurawa bersaudara, untuk mengelabuhinya, kau rela mengejar Dursasana
hingga ujung kehidupannya. Seperti kebiasaan manusia-manusia di utara bumi, di
daratan yang kala itu belum dikenal serta tidak memiliki kerajaan seperti di
tanah kita, mereka suka merobek dada lawan tarungnya untuk mengambil jantung
yang masih berdegup untuk segera dipersembahkan kepada dewa mereka. Begitu pula
yang kau berikan buat membela kehormatan kakanda-mu serta membela-ku.
Engkau rela bertarung melawan Dursasana, merobek kulit,
mematah tulang, serta mengambil jantungnya sebagai tanda kemenangan serta bagai
seorang bayi yang setahun tidak menyusu ibunya, kau teguk darah segar yang
sejenak belum berhenti alirannya.
Hanya kau Bima, suami-ku, putra kedua Ibu Kunti, yang tidak
bergeming ketika aku dikasari, dan hampir ditelanjangi. Terima kasih atas
segala kegagah-beranianmu yang sedikit reaksioner itu, Kakang. Aku mencintamu,
tidak kurang dari ke-empat suamiku yang lain, saudara-saudaramu.
Kepada pemuda rupawan yang sempat berkehendak untuk
memperistri Drupadi yang elok ini, wahai pemuda Karna. Sejumput maaf dan
segenap sesal kualamatkan kepadamu juga lewat surat ini.
Tidak dapat kuelak rupamu yang begitu tampan sempat
menggetarkan rahangku ketika harus mengucap kata di depanmu. Mahirmu dalam
memanah, hampir menanding Kanda Arjuna yang sudah bersamadi di tengah kawah
Candradimuka untuk dapatkan Pasopatinya. Serta tidak kurang sedikitpun dari
Pandawa, wahai pemuda rupawan, kau juga anak yang dilahirkan dari rahim suci
Ibu Kunti.
Meskipun begitu, status sebagai anak yang lahir dari
kekhilafan Ibu Kunti dengan lelaki di luar Pandu Dewanata, membuatmu harus
diasingkan. Tidak hidup di lingkungan kerajaan, luput dari pengajaran seorang
yang arif, Bisma Dewa Bharata. Dan jauh lebih dari itu, kau tidak sempat
berkenalan dengan hidup bergelimang harta sejak kecil, apalagi kekuasaan yang
tiada tara.
Ketulusan, kepandaian, serta rupamu yang elok saja tidak cukup
bekali hidupku, wahai pemuda. Maafkan, aku harus mengatur kekalahanmu dalam
sayembara memanah yang digelar ayahku untuk mencari lelaki yang dapat
mempersuntingku. Aku butuh diperistri oleh Pandawa, yang tidak saja rupawan dan
baik budinya, akan tetapi juga bergelimang harta dan punya akses langsung
dengan kekuasaan.
Aku, Drupadi, putri Drupada, perempuan yang banyak dikagumi
manusia hingga berabad setelah kematianku, mengakui ini semua demi ketenangan hidupku
di alam yang kekal yang kelak kujumpa. Demi segala dosa yang telah kulakukan,
kupersembahkan baktiku dengan menyertai Pandawa dalam perang Bharatayudha. Teruntuk
dewata yang tidak akan pernah bisa kubohongi dengan laku dan paras semanis apa pun,
kuikhlaskan kematian menghampiriku dalam perjalanan menuju puncak Mahameru.
Kepada semua perempuan di zaman setelahku, jadilah Drupadi
yang tidak hanya elok rupa, tetapi juga suci hati dan perbuatanmu.
Kurnia Yunita Rahayu