Emansipasi tidak berarti perempuan ingin mengalahkan peran laki-laki, namun kesadaran untuk menjadi rekan dalam segala peran di masyarakat adalah hal yang terpenting.
Kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari sistem adat yang mempengaruhi jalan kehidupannya. Ragam suku dan budaya yang tersebar di lebih dari 13 ribu pulau turut menyumbangkan kompleksitas yang kadang memperumit posisi perempuan dan laki-laki sebagai manusia. Matrilineal, patrilineal, dan bilineal merupakan tiga sistem utama yang terangkum dalam berbagai adat di Indonesia. Dalam perjalanannnya, perempuan, yang sering terpinggirkan dalam sistem adat, mencoba mencari posisi legalnya dalam kungkungan sistem tersebut. Dalam pencarian, perempuan tidak bisa melepaskan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, perlu diketahui seberapa jauh Islam bersintesa dengan adat yang sudah turun temurun dilaksanakan.
Isu-isu besar yang diperjuangkan kaum perempuan adalah masalah perkawinan, poligami, kawin paksa, pernikahan dini, dan perceraian. Hak laki-laki yang lebih besar dalam beberapa hal tersebut membuat perempuan merasa tertindas. Apalagi dengan adanya adat yang memaksa perempuan untuk berdiam diri saja di rumah sabil menunggu laki-laki meminangnya. Perempuan yang mulai merasakan kejanggalan tersebut, kemudian menyadari pentingnya pendidikan untuk merubah keadaan.
Maraknya pendidikan sebagai salah satu isi dari Politik Etis, membuka mata Kartini (1879-1904) untuk menyuarakan kegelisahannya. Perempuan yang harus “dipingit” sehingga tidak dapat mengenyam pendidikan menjadi konsentrasi Kartini dalam isi surat-suratnya kepada kawan-kawannya di Belanda. Surat-surat Kartini yang nantinya menjadi inspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari jasa besar J. H. Abendanon dan istri yang menerbitkannya dalam sebuah buku.
Selain Kartini, perempuan yang juga menjadi pelopor gerakan perempuan adalah Dewi Sartika (1884-1947). Jauh sebelum munculnya gerakan feminisme Indonesia, Dewi Sartika dalam eseinya sudah menyuarakan masalah ketimpangan upah buruh perempuan dibandingkan buruh laki-laki. Perannya besarnya mendirikan sekolah-sekolah di Jawa Barat tidak dapat terwujud tanpa dukungan suaminya, begitupun Kartini aksi nyatanya membuat sebuah kelas kecil di rumahnya juga berkat dukungan ayah dan suaminya. Hal tersebut membuktikan bahwa peran laki-laki sebagai mitra perempuan, dapat mendukung kegiatan yang dicita-citakannya. Emansipasi tidak berarti perempuan ingin mengalahkan peran laki-laki, namun kesadaran untuk menjadi rekan dalam segala peran dalam masyarakat adalah hal yang terpenting.
Pemberontakan pemuda dan pemudi dari kungkungan adat, tergambar jelas dalam karya sastra yang lahir diantara tahun 1920-1940. Kebanyakan karya yang lahir berasal dari sastrawan Minangkabau yang menganut sistem adat matrilineal. Diantaranya Marah Rusli dengan Siti Nurbaja nya, Sutan Takdir Alisjahbana dengan Layar Terkembang. Sezaman dengan mereka, perempuan Jawa Soewarsih Djojopoespito juga menulis sebuah novel yang berjudul Manusia Bebas. Dalam novel ini, Soewarsih menggambarkan sepasang suami-istri yang begitu sadar akan perannya sebagai rekan dalam hidup.
Pergerakan perempuan Indonesia terbagi atas dua fase, fase pertama dibuka dengan kongres pada tahun 1928. Pada masa ini pergerakan perempuan dibentuk terpisah dari gerakan nasionalis Indonesia. Kaum perempuan menjadi sadar terhadap tugas yang harus mereka kerjakan sebagai “ibu bagi masyarakatnya” dan menempatkan mereka dalam tugasnya mendidik generasi baru. Fase kedua adalah setelah kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pergerakan perempuan aktif dalam membangun dan memperkuat Negara yang merdeka.
Pendidikan yang terus berkembang berjasa besar bagi perempuan dalam meningkatkan kemandiriannya. Perempuan yang mengenyam pendidikan memiliki lebih banyak pengetahuan untuk melakukan hal-hal yang dapat menunjang hidupnya, sehingga tumbuh dengan penuh kepercayaan diri. Kepercayaan diri itu tumbuh karena mereka telah berubah menjadi perempuan modern. Perempuan yang dapat berguna bagi kehidupan rumah tangganya, yang sudah tahu harus berbuat apa apabila suaminya tidak ada. Kaum yang dapat merawat dan menghidupi dirinya sendiri. Yang tidak lagi merasa terpenjara dalam ketidakberdayaan yang akhirnya hanya membuat mereka mencari lelaki lain untuk menggantungkan hidupnya.
Kurnia Yunita Rahayu
No comments:
Post a Comment