Suatu kali saya tergelitik saat membaca sebuah artikel dalam
laman berita www.solopos.com. Pada artikel tersebut, penulis memberikan
petunjuk sederhana untuk mengidentifikasi Cabe-cabean.
Terma itu memang belum lama memasyarakat, paling tidak awal 2014, digunakan
untuk menyebut gadis remaja yang banyak tingkah. Seperti berdandan ala orang
dewasa, pacaran sana-sini, hingga jadi hadiah taruhan pebalap motor liar.
Menurut artikel berjudul Begini
Cara Mengenali Gadis Cabe-cabean itu , para gadis cabe dapat diidentifikasi melalui penampilan fisik dan perilakunya.
Paling awal disebut adalah kawat gigi dan ponsel pintar bermerk Blackberry. Dua ciri ini memang sangat
menonjol. Pasalnya, mereka rela memasang pagar kawat meskipun barisan giginya
sudah rapih. Sedangkan Blackberry
biasanya jadi instrumen andalan cabe-cabean
untuk unjuk gigi, dengan memberitakan apapun yang sedang dilakukan dalam akun
jejaring sosial dunia maya.
Ciri selanjutnya yakni mengenai riasan wajah. Cabe-cabean dikatakan suka berdandan tak
sesuai dengan kebutuhan. Mereka memulas wajah dengan riasan tebal padahal hanya
akan pergi ke warung yang jaraknya tak jauh dari rumah. Mereka juga suka
menggunakan krim pemutih kulit wajah. Hal ini kemudian menciptakan sebuah
gradasi warna pada tubuh mereka, dari muka, leher, tangan dan kaki semua
bergerak ke arah yang lebih gelap.
Persoalan warna kulit yang belang-belang dan semakin ke
bawah semakin gelap ini mudah saja dimengerti orang lain sebab cabe-cabean suka menggunakan pakaian
yang minim. Kaos ketat-kadang tidak berlengan-dan hot pants dapat dikatakan sebagai seragam yang bisa menandai identitas mereka.
Kemudian sebagai remaja, gadis-gadis itu sudah barang tentu
suka bergerombol dalam berkegiatan, termasuk ketika mengendarai motor. Mereka
biasanya lalu lalang dengan sepeda motor yang ditunggangi tiga orang, sambil
asik ngobrol dan tetap sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Gaya
berkendara cabe-cabean kadang membuat
pengendara lain jengkel. Karena mereka lebih banyak bercanda di jalan tapi juga
mengendarai motor dalam kecepatan tinggi. Sehingga tidak jarang justru
membahayakan orang lain.
Cabe-cabean juga
disebut kerap melakukan aksi penipuan atas identitas fisiknya karena mereka
akrab dengan teknologi. Tak banyak memang yang teknologi yang mereka akrabi.
Satu yang paling dekat adalah aplikasi penyunting foto yang bisa dipasang di
telepon genggam. Karena aplikasi tersebut mampu membuat mereka nampak lebih
cantik. Dengan mengubah warna kulit, menyamarkan noda-noda yang tertangkap
kamera serta memperbaiki beberapa bentuk wajah yang kurang enak dilihat. Maka
dalam foto, gadis cabe bisa hadir
sangat berbeda dengan tampilan aslinya.
Tampilan memukau dalam foto tentu
jadi instrumen berikutnya yang digunakan dalam memperjuangkan eksistensi diri.
Lagi-lagi lewat akun jejaring sosial dunia maya, foto suntingan tersebut
disebarluaskan. Dengan begitu, tak sulit mendapatkan perhatian dari banyak
orang. Tidak jarang juga cabe-cabean
dapat pasangan dari interaksi di akun jejaring sosial.
Bila sudah mendapat pasangan
kemudian resmi berstatus pacaran, cabe-cabean
segera memenuhi ruang-ruang publik untuk memadu kasih. Mulai dari ruang terbuka
hijau, pinggir jalan dan jembatan selalu mereka singgahi. Kebiasaan ini mungkin
jadi awal bagaimana gadis cabe pada
tingkatan selanjutnya bisa masuk ke arena balap liar. Bukan untuk beradu cepat
dalam mengendarai motor, namun sebagai hadiah taruhan bagi pemenang balapan.
Dari sini pula istilah cabe-cabean mengemuka. Konotasinya agak
berbeda dengan cabe rawit yang sempat populer sekitar 15 tahun lalu. Anak-anak
cabe rawit adalah mereka yang berusia belia tapi punya sederet bakat yang
membuat mereka lebih pintar, cerdas dan punya prestasi lebih dibandingkan
anak-anak seusianya. Walaupun sama diterminkan dengan cabe, cabe-cabean merupakan sebuah akronim
dari Cewek ABG Bisa diEwe. Yang artinya perempuan-perempuan belia, di bawah
umur, tapi sudah bisa diajak melakukan aktivitas seksual.
Kemunculan terma cabe-cabean dengan cepat jadi sorotan seluruh
media massa. Ditampilkan sebagai sosok muda mengesalkan sebab punya kelakukan
berstigma negatif dalam masyarakat. Maka tidak heran, mereka kini jadi
bulan-bulanan masyarakat yang menganggap dirinya lebih bermartabat. Diolok-olok,
dianggap murahan dan dijauhi dalam pergaulan.
Padahal, cabe-cabean merupakan korban dalam masyarakat yang telah masuk
dalam jerat kapitalisme. Yang menciptakan beragam barang penunjang gaya hidup,
dari yang paling sederhana hingga sangat rumit. Ditambah peran media massa yang
juga menjajakan produk-produk tersebut, menampilkan banyak alternatif, sehingga
kaum muda dapat menentukan pilihan atas barang-barang yang akan dikonsumsi.
Dari titik ini kemudian muncul
upaya-upaya untuk mendapatkan objek material penunjang gaya hidup tersebut. Sebab,
gaya hidup dapat mendefinisikan identitas, sikap, nilai dan posisi sosial
seseorang melalui segala properti yang ia miliki. Dalam budaya konsumeris,
identitas memang jadi persoalan serius, karena yang dikembangkan melulu
identitas hasil konstruksi sosial yang dibuat oleh para elit budaya. Sehingga
dalam atmosfer ini, nampak tidak ada ruang bagi kesadaran diri untuk menuju
identitas yang otentik.
Pada abad ke-19, Karl Marx
mengatakan bahwa pengejaran atas produk-produk penunjang gaya hidup itu sendiri
dimotivasi oleh fetisisme komoditas. Fetisisme merupakan sikap mengkultuskan
sebuah objek tertentu, lantaran dianggap memiliki kekuatan dari dalam dirinya.
Akibatnya, nilai substansial dari sesuatu menghilang, hingga yang ada hanyalah
nilai tukar semata. Jika dikaitkan dengan komoditi, maka yang dimaksud adalah
pemujaan atas produk-produk yang punya pesona memikat.
Sebagaimana cabe-cabean yang menggunakan segala produk di luar konteks
fungsionalnya, mulai dari kawat gigi yang semula hadir untuk merapikan posisi
gigi manusia yang kadang tumbuh tak beraturan, bagi cabe-cabean hanyalah seutas kawat yang berfungsi sebagai pemanis
diri. Begitu pula Blackberry yang
kegunaannya dipersempit sekadar untuk menghidupi akun jejaring sosial dunia
maya. Belum lagi riasan wajah tebal yang tidak ditempatkan sebagaimana
mestinya. Seluruhnya digunakan untuk menunjukkan bahwa gadis cabe mampu membeli barang-barang
tersebut dan selanjutnya akan menentukan identitasnya.
Beragam perilaku cabe-cabean yang diidentifikasi banyak
media massa ini menunjukkan fetisisme komoditas bekerja dalam lingkup penandaan
sosial. Kemudian, Jean Baudrillard banyak bicara mengenai hal tersebut,
melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh Marx dua abad lalu. Buat Baudrillard
dalam aturan nilai penandaan, hanya ada dua keterangan yakni fungsionalitas dan
peragaan yang dilebih-lebihkan. Keduanya dapat menjadi bagian dalam sebuah
objek yang sama sehingga yang terjadi adalah sebuah keserampangan dengan
bungkus fungsionalitas.
Saat peragaan yang
dilebih-lebihkan ini menumbuhkan keinginan seseorang terhadap sebuah produk,
maka produk tersebut menjadi bersifat fetish. Karena konsep kapitalisme telah
melahirkan kebutuhan-kebutuhan palsu dalam diri manusia. Maka, jalan untuk
mendekatkan realitas dengan imajinasi itu adalah dengan menciptakan sibstitusi
semacam gaya hidup, estetika, ritual, prestise serta identitas simbolik di
balik pemilikan sebuah komoditi. Sehingga kepuasan yang dimiliki pun sebenarnya
imajiner.
Dengan begitu, maka jelas bahwa
pilihan dan selera manusia sebenarnya sudah dimanipulasi, sehingga sudah tidak
ada lagi diri yang otentik. Apa yang dikejar oleh manusia tidaklah didasari
oleh kebutuhan melainkan keinginan untuk menduduki posisi sosial tertentu.
Pola konsumsi yang tidak didasari
kesadaran inilah yang telah mengkonstruksi fetisisme. Sedangkan fetisisme
bekerja dengan membangun kelas kapital yang berkuasa merencanakan pola konsumsi
serta melahirkan kelas menengah dalam jumlah yang banyak untuk mengikuti pola
hidup yang dibuatnya. Maka, apa yang dicipta oleh fetisisme sejatinya adalah
sebuah diferensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah yang jarak
sosial antara keduanya terus dikendalikan oleh kelas atas.
Cabe-cabean bukanlah sampah masyarakat, ia merupakan sebuah
fenomena anak muda yang mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otentisitas diri.
Apabila perilaku dan masyarakat cabe-cabean
makin meluas, para pemilik modal akan makin puas terbahak dan makin banyak generasi
muda yang tersungkur.
Kurnia Yunita Rahayu