Untuk pendengar
musik musiman seperti saya, menggenggam hard disk berkapasitas satu tera bit
membuat kekhawatiran over capacity
tidak akan muncul. Karena meski cuma pendengar musiman, koleksi yang saya punya
cukup banyak. Menyoal khasanah bermusik pun luas, hampir sempurna. Maklum, dulu
saya masuk kategori maniak. Mengenai perubahan intensitas menggelutinya, saya tidak
tahu persis bagaimana membahasakannya. Sebab terjadi dekonstruksi atas diri
yang cukup dalam. Celakanya, hingga hari ini muncul kesulitan untuk
mengkonstruksikannya kembali. Terjadi sebuah stagnasi. Dalam situasi yang
sangat asing.
Keterasingan
yang saya maksud tidak serumit ketika Karl Marx merumus alienasi yang terjadi
pada manusia akibat adanya akumulasi kapital pada segelintir orang. Batasnya sudah
saya buat dan jelas: ada situasi tidak mengenal diri sendiri. Saya tumbuh
sebagai pribadi yang bermasalah dalam proses menjadi diri sendiri.
Termasuk persentuhan dengan musik. Malam ini, satu persatu folder dalam hard disk saya buka. Maksud dan tujuannya menghibur diri. Mencari pegangan untuk menguatkan diri, melalui stimulus karya para musisi. Sebab diri sedang ada di ambang batas tak menentu: antara mengorbankan hati untuk bertanggung jawab atas perilaku terlalu banyak menggunakan hati. Untuk memikirkan diri sendiri. Atau memertahankan hati.
Memang sama
sekali bulan salah hati. Karena hati tidak bisa berjalan sendiri. Mungkin ia
seperti ilmu pengetahuan, hanya mengikuti kehendak si empunya, sang pengguna. Meski
banyak orang menganjurkan untuk mengguna hati, saya percaya, hati pun
senantiasa menerima impuls-impuls dari luar, yang mencipta banyak keinginan. Makanya
hati tak akan lagi bisa murni.
Di saat
yang bersamaan saya telah memilih keduanya, mau bertanggung jawab tetapi tidak
mau membiarkan secuil pun hati ini menjadi bopeng. Saya mau aman. Kondisi di
sekitar tetap stabil, dan hati saya tidak terusik. Picik sekali. Jahat sekali.
Sekali ini
tidak ada lagi yang membiarkan kepicikan ini atas nama apapun. Baik itu
toleransi, pengertian, kasih sayang, apalagi cinta. Saya pun bertanya-tanya,
mengapa? Saya yang sadar betul kepicikan itu sering hadir karena kebodohan
tidak bisa mengendalikan diri sendiri, bisa jadi sedang mencipta sebuah
kejahatan yang jauh lebih beringas ketimbang korupsi. Sudah sadar saya ini,
tapi tetap saja terus melakukannya.
Tidak ada
satu pembenaran pun yang bisa dibenar-benarkan untuk mendukung saya. Termasuk
niat untuk berlindung di balik dendang lagu-lagu. Setelah saya tilik satu
persatu dari koleksi yang lumayan banyak itu. Tidak ada lagu bertemakan seorang
melakukan kebodohan yang sudah ia sadari itu sangat bodoh. Satu-satunya yang
melakukannya hanya saya. Ya, cuma saya di Galaksi Bima Sakti yang tahu di
tahunya, ada sebuah bodoh. Tetapi tetap melakukan hal tersebut.
Celaka betul,
bukan hanya sekali dua kali hal itu dilakukan. Tetapi sudah berulang kali, dan
saya mulai curiga bahwa ia sudah berusaha curi-curi lisensi untuk jadi watak
pribadi. Sebab ia bisa saja langsung saya lakukan tanpa pikir panjang. Tanpa pertimbangan
apapun, kecuali kepuasan diri.
Lagi-lagi
ada satu kecurigaan: jangan-jangan saya tidak waras. Ada gangguan psikologis
dan biologis. Kerja dan koordinasi saraf-saraf dengan otak dan hati terlalu
cepat meledak, dan cepat pula proses analisis apakah langkah meledak itu
kontekstual dengan situasi yang dihadapi. Betul-betul celaka, hasil analisis
kilat pribadi itu selalu mengatakan bahwa saya keliru. Jadi pada saat yang
hampir bersamaan, saya sudah meledak kemudian ledakan tersebut tidak
kontekstual.
Saya yang
mendamba stabilitas lantas mau memperbaiki kesalahan di saat itu juga. Egois sekali.
Tidak ada kata yang pantas ditulis kecuali lima huruf dalam konsep khas
psikologi itu. Keegoisan itu kemudian mau saya limpahkan pada karya musisi
dunia. Ternyata mereka menolaknya. Tidak bisa saya dapati lagu yang bisa
memenuhi tujuan tersebut.
Musisi dunia
sudah menolak saya….
Maka saya
tidak punya tempat lagi untuk lari. Kini tersisa pilihan tanggung jawab dengan
segala kesakitannya. Semesta tidak akan peduli seberapa dahsyat sakit itu. Yang
dia tahu, manusia punya kuasa atas dirinya sendiri. Untuk menentukan hidupnya
sendiri. Makanya, mesti bisa mempertanggung jawabkan semuanya sendiri.
Kurnia Yunita Rahayu