Judul : The Sessions
Rilis : 2012
Produksi : Fox Searchlight Pictures
Sutradara: Ben Lewin
Pemain : John Hawkes, Helen Hunt, William H. Macy
Mark O’Brien (38) tidak pernah menyangka bahwa seluruh hidupnya akan dihabiskan di atas tempat tidur. Ia menderita polio sejak berumur enam tahun. Berkat penyakit tersebut, sekujur tubuhnya lumpuh. Untuk berkegiatan sehari-hari, tak pelak ia pun membutuhkan bantuan orang lain.
Bukan hanya lumpuh, Mark juga mengidap kelemahan akut pada
sistem pernapasannya. Sehingga ia mesti membawa kemana-mana sebuah paru-paru
besi yang jadi alat bantu untuk bisa bernapas lebih lama. Buat Mark yang
seorang katolik taat, tidak selamanya Tuhan bersikap serius dalam mengurusi
makhluk-Nya. Sebagai bukti, ia jadikan dirinya sebagai prototype ciptaan ketika Tuhan sedang bergurau.
Meski hidup dalam kurungan kekurangan fisik, lelaki asal
California, Amerika Serikat (AS) itu dianugerahi ketajaman berpikir dan bakat
ciamik dalam beretorika. Berbekal kemampuan tersebut, Mark menyelesaikan kuliah
di UC Berkeley kemudian bekerja sebagai seorang jurnalis dan penyair di salah
satu surat kabar kenamaan di AS.
KIsah hidup Mark O’Brien yang penuh kegigihan ini diabadikan
dalam sebuah film yang disutradarai oleh Ben Lewin. Dibintangi John Hawkes, tokoh
Mark O’Brien mampu membius penonton lewat tatapan mata dan mimik muka yang
memelas.
Di suatu siang, Mark mendapatkan tugas dari surat kabar
tempatnya bekerja untuk menulis artikel
bertemakan Seks dan Kerusakan. Setelah menerima mandat tersebut, Mark
melakukan wawancara ke beberapa narasumber pelaku seks yang juga mengidap
disabilitas. Merasa tak cukup mendapat bahan untuk menulis, ia memutuskan untuk
melakukan aktivitas seksual demi memaksimalkan tulisannya. Karena buat Mark,
karya itu mesti punya jiwa, dan ia akan hadir ketika sudah ada pengalaman
langsung.
Melakukan aktivitas seks bukan hal yang mudah dilakukan Mark
seperti lelaki pada umumnya. Ia yang hampir tidak bisa menggerakkan tubuhnya
tidak pernah tahu bagaimana bisa melakukan hubungan tersebut, meski ia punya
sensitivitas dan libido serupa dengan lelaki lainnya. Penisnya selalu ereksi
ketika ia dimandikan oleh pelayan perempuan.
Keinginan bersenggama kemudian diwujudkan Mark dengan
menyewa jasa seorang terapis seks. Melalui salah satu seksolog di kotanya,
Laura White (Blake Lindsley), ia dikenalkan dengan Cheryl (Helen Hunt), seorang
terapis seks profesional. Sebagai terapis, Cheryl bertugas untuk membantu
kliennya yang mengalami hambatan dalam berhubungan seksual. Termasuk Mark yang
sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas seksual.
Mark yang hampir tidak pernah menggerakkan tubuhnya bingung
saat harus berhadapan dengan sang ahli. Beruntung, Cheryl cukup mumpuni dalam
melakukan tugasnya. Dalam rangkaian terapi enam sesi ini, Mark berhasil
mencapai orgasme sebelum pertemuan terakhirnya.
Hubungan kerja ini kemudian melibatkan emosi. Mark dan
Cheryl jatuh cinta. Emosi cinta meluap hebat dari tatap mata dan mimik pasrah
namun percaya diri dari sang lelaki. Tetapi, dunia manusia selalu dipenuhi
kisah putus cinta. Cheryl yang sudah menikah dan berkeluarga tidak mau menerima
kenyataan ini. Begitu pula Mark, ia tidak ingin merusak rumah tangga terapis
pujaannya. Mereka berpisah setelah sesi terapi yang penuh kenangan itu selesai.
Meski hidup dengan kekurangan fisik yang lengkap, Mark tidak
henti-henti berusaha membuat hidupnya bermutu. Persis dengan yang dikatakan
Filsuf Yunani Aristoteles ribuan tahun silam. Untuk mencapai kebahagiaan,
manusia mesti menggunakan akal budi
untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya.
Ketajaman pikiran, kemampuan bersyair, tak disia-siakan Mark
untuk mencipta berjuta puisi yang membuatnya bahagia. Sebagai penyandang
disabilitas, ia tidak berhenti pada keputusasaan. Sisa kekuatan yang ada di
mulutnya digunakan buat mengigit pensil kemudian mematuk-matukannya kepada
mesin ketik untuk menuliskan sajak-sajaknya. Melalui syair-syair tersebut pula
kini kita masih dapat bercengkrama dengannya.
Pada hakikatnya menurut Aristoteles, terdapat dua potensialitas dasar pada
manusia. Akal budi dan sifat sosialnya. Roh dan kesosialan. Dua hal tersebut
merupakan bagian khas dari manusia. Oleh karena itu, buat Aristoteles filsafat
yang mengembangkan roh membahagiakan. Filsafat Kristiani kemudian mengembangkan
dimensi itu. Yang paling membahagiakan adalah kontemplasi atas Allah. Sedangkan
kesosialan manusia terlaksana dalam kehidupan di keluarga, dan di masyarakat.
Soal kontemplasi atas Allah, Mark O’Brien melakukannya
dengan sempurna. Ditampakkan dalam film besutan Ben Lewis setiap hari sebelum
tidur serta saat baru membuka mata, Mark selalu menyempatkan diri berbincang
dengan lukisan Bunda Maria yang terpajang di dinding kamarnya tentang apapun
yang sudah dilewati sepanjang hari.
Tidak hanya itu, Mark pun menunjukkan diri sebagai seorang
Kristiani yang baik. Ia kerap kali datang ke Gereja untuk mengakui dosa-dosanya
pada Bapa Brendan (William H. Macy)-pastur yang kemudian bersahabat karib
dengan Mark. Hingga Mark tiba pada keinginan untuk bisa bersenggama tanpa
menikah, ia pun mendiskusikannya dengan Sang Pastur. Meski Bapa Brendan sempat
menolak memberi restu, namun ia pun merasa disapa Tuhan, “mungkin itu
kebahagiaan kecil untukmu,” katanya merestui Mark.
Dalam dimensi sosialnya, Mark O’Brien membangun relasi yang
baik dengan para pelayannya, Cheryl, Bapa Brendan, serta teman-teman sekerja.
Hingga akhir hayatnya, orang-orang itu setia mendampingi Mark sampai ke liang
kubur. Sementara sibuk mengurus dirinya yang lumpuh, Mark masih berupaya untuk
memajukan masyarakatnya, paling tidak melalui sajak-sajak dan artikelnya yang
paling terkenal On Seeing a Sex
Surrogate.
49 tahun hidup Mark O’Brien telah menunjukkan sebuah
kebijaksanaan dalam rangka membuat hidupnya bermakna dan tidak sia-sia digerogoti
penyakit. Dengan berbagai usaha dan kegigihan, lelaki berparu-paru besi itu pun
mendapatkan kebahagiaan kecilnya sebelum ia pergi ke surga: ia mendapat cinta
baik secara fisik maupun emosional.
Kurnia Yunita Rahayu