Dengan segenap
langkah pasti Ria keluar dari rumah. Kali ini, ia sudah tak peduli dengan
puluhan kilometer yang mesti ditakluk, ia pun berdamai dengan dingin angin
malam sambil memacu sepeda motor demi bertemu sang kekasih. Setelah seharian
mengadu marah dengan lelakinya, Ria tak kuasa menahan asa, tanpa ragu perempuan
dua puluh tahunan ini menuju kediaman pujaan hatinya.
Sepanjang
jalan, pikiran Ria melayang. Konsentrasinya tidak tertuju pada tumpukan aspal
yang dilintas, otaknya tak henti memikirkan Andi, kekasih yang sedang
ditujunya. Masih terngiang makian Andi yang masuk ke telinga Ria atas prakarsa telepon
genggam. Tidak kuasa mengacuhnya, air mata Ria berllinang, mengiring
perjalanannya.
Tidak lebih
dari waktu normal, Ria telah sampai di depan pintu pagar rumah Andi. Dengan
gontai diselipi sedikit rasa takut, ia membuka pagar besi yang sudah hampir
lima tahun yang lalu, sejak pertama kali ia singgah masih lekat warna catnya. Sambil
menatap penuh harap kekasihnya keluar dari rumah tanpa ia harus mengetuk pintu
selanjutnya.
Benar saja,
dalam hitungan detik, muncul batang hidung Andi dari balik pintu. Ternyata ia
sudah mengamati kedatangan Ria dari jendela kamarnya di lantai atas. Tahu apa
tujuan kekasihnya datang, Andi mengajak Ria untuk pergi ke taman.
Tidak disangka,
lokasi yang dipikir oleh Andi bisa memuncul khidmat dengan suasana sunyi untuk
menyelesaikan masalah mereka ramai sekali malam ini. Puluhan muda-mudi tumpah
ruah menikmat malam sambil bercengkrama, bernyanyi, bahkan ada yang berolah
raga, di bawah temaram sinar bulan.
Namun ramai
biarlah menjadi milik taman, malam tetap milik mereka berdua. Di sudut kiri
taman Ria dan Andi duduk termangu. Saling menunggu salah satu memulai. Andi, mengawali
pembicaraan dengan logikanya yang dibalut nada suara menjulang tinggi. “Ini
sudah malam, jarak rumahmu puluhan kilometer dari sini,” katanya. “Saya sudah
bilang ditunggu saja sampai besok, kan masih ada waktu biar kita pun lebih
tenang.”
Sementara Andi
sibuk beretorika, Ria bukan hanya tak kuasa menahan air matanya. Ia pun tidak
bisa menahan laju caci maki dari lisannya. Buatnya, Andi sudah cukup
keterlaluan menggampangi semua permasalahan yang bagi Ria mesti segera
diselesaikan. Bermodal watak keras kepala, perempuan manis berambut sebahu ini terus
saja melancarkan aksi protes atas sikap lelakinya yang juga tidak mau kalah.
Geram mendengar
ocehan Ria yang bagi Andi sama sekali tidak masuk akal, hanya menimbang
perasaan, ia pun mengangkat tangan kanannya. Nampak dari pandangan Ria tatapan
Andi yang begitu nanar dengan mata yang mulai memerah. Tangan besar itu, belum
turun dari sejak ia mengangkatnya beberapa detik yang lalu. Sambil menahan
marah, pening menghampiri Andi, ia hampir saja mendaratkan sebuah tamparan di
pipi Ria.
Untungnya,
ada jeda sejenak dalam otak Andi setelah menerima stimuli marah dari Ria. Buat George
Herbert Mead, Filsuf cum Sosiolog asal Amerika, manusia punya kapasitas untuk
berpikir menentukan tindakan setelah mendapatkan sebuah masukan dari luar. Tidak
seperti kaum behaviorisme klasik yang menyatakan manusia begitu saja mengeluarkan
respon ketika mendapat stimulus tanpa ada proses berpikir.
Menurut Mead,
proses berpikir bukan sekadar bagian dari kerja mental yang melibatkan otak
individu. Namun, tahap ini justru ditentukan oleh proses sosial yang dialami
manusia. Andi mengejawantahkan “dirinya” dalam bentuk lelaki yang sudah ingin
menampar perempuannya harus berhadapan dengan definisi dirinya secara sosial.
Di dalam
masyarakat, Andi adalah seorang lelaki, kekasih Ria. Untuk posisi itu, sudah
dikonsensuskan bahwa sudah semestinya lah ia bertindak sebagai seorang kuat
yang melindungi perempuannya, bukan malah menyakitinya. Terlebih, dalam konteks
budaya Negara tempat tinggal mereka berdua, posisi perempuan cenderung berada
di bawah lindungan dan kungkungan kaum Adam. Makhluk seperti Ria dipandang
hanyalah seonggok lemah yang hadir sebagai pelengkap bagi Andi. Makanya, akan
terjadi penolakan dari masyarakat bila Andi melanjutkan aksi menampar pipi Ria,
apalagi di depan khalayak.
Lewat teori
interaksionisme simboliknya, Mead ingin menunjukkan bahwa manusia punya
kapasitas hebat untuk berpikir. Namun, kebisaan ini hanya dapat muncul dan
dilakukan bila manusia berinteraksi dengan individu lain di dalam konteks
sosialnya. Sejenak ia mengesahkan bahwa manusia tidak akan mampu melakukan apa
pun tanpa manusia lain, bahkan hal yang paling fundamen: mendefinisikan diri.
Kurnia Yunita Rahayu