Judul : Serikat Islam Semarang dan Onderwijs
Penulis : Tan Malaka
Penerbit : Pustaka Kaji
Tahun Terbit : 2011
Halaman : 61 Halaman
Jangan ajarkan kami soal a,b,c yang abstrak, karena yang harus diselesaikan adalah masalah-masalah konkrit.
Harapan rakyat pribumi untuk bisa mengenyam pendidikan hampir menemui titik terang. Digelontorkannya kebijakan Politik Etis (1901) oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda seakan jadi jawaban. Edukasi, irigasi, dan emigrasi diharap jadi jalan balas budi, atas apa yang telah rakyat berikan selama beratus tahun.
Jalan pendidikan bagi rakyat mulai terbuka. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih bisa didapat. Sistem sekolah yang dibuat terbagi dalam dua jalur. Eropa totok dan pribumi. Dua perbedaan mendasar dari kedua jalur itu, terlihat jelas. Penggunaan bahasa pengantar, dan durasi sekolah.
Sekolah anak-anak Eropa jelas menujukan muridnya pada keterampilan kerja otak. Sementara sekolah pribumi, setingginya membentuk lulusan sebagai juru tulis di kantor-kantor kolonial. Nilai Politik Etis yang diharap memberi masa depan cerah. Nyata hanya mereproduksi manusia-manusia yang digunakan untuk melanggengkan kepentingan pemerintah kolonial.
Berangkat dari realitas ini, maka mulai bermunculan ide-ide untuk membuat sekolah yang berpihak pada rakyat. Sekolah-sekolah partikelir, begitu kiranya disebut. Salah satunya Tan Malaka dengan Sekolah Serikat Islam-nya. Tahun 1921, muncul brosur tulisan Tan Malaka yang berjudul S.I. Semarang dan Onderwijs, berisi penjelasan tentang sekolah yang didirikan serta dikelolanya.
Sekolah Serikat Islam Semarang didirikan untuk anak-anak pengurus serta aktivis Serikat Islam dan kaum kromo lainnya. Didirikan pada tahun 1921, atas permintaan dari ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, Semaun. Ia memilih Tan Malaka atas dasar latar belakang pendidikannya. Tan Malaka memang seorang revolusioner yang memiliki kecendrungan di bidang pendidikan. Hal ini tidak lepas dari latar belakangnya sebagai lulusan sekolah guru di Bukit Tinggi, dan sempat meneruskan Sekolah Tinggi Guru di Haarlem, Belanda.
Semaun dan Tan Malaka sepakat untuk mendirikan sekolah yang berbasis ideologi kerakyatan. Menurut Tan Malaka, “kekuasaan kaum modal terdiri atas didikan yang berdasar kemodalan. Kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.” Sadar akan kondisi ketertindasan rakyat, sekolah Serikat Islam dibentuk dengan tujuan lulusannya dapat menafkahi dirinya sendiri dan keluarga, serta membantu pergerakan rakyat.
Sekolah Serikat Islam menjadi representasi dari pola pikir Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) Tan Malaka. Pola-pola anti kolonial diterapkan. Soal-soal pertukangan, menjahit, pidato, berorganisasi, serta ide-ide kemerdekaan diajarkan disini. Selain itu, anak-anak pun dianjurkan untuk aktif tampil di vergadering-vergadering agar lebih banyak bersentuhan dengan rakyat. Dengan begitu mereka paham masalah dan apa-apa yang dirasakan oleh rakyat.
Intelektual lulusan Sekolah Serikat Islam adalah orang-orang yang mencintai rakyatnya, Bukan para akademisi yang membentuk ruang eksklusif bagi kalangannya sendiri.
Kontekstual dan Menjawab Tantangan
Netralitas atas pendidikan merupakan sebuah kenaifan. Tidak ada pendidikan yang membawa pengetahuan secara objektif. Selalu ada berbagai alasan mengapa sebuah pengetahuan bisa muncul. Sejarah pun menjawabnya dengan satu benang merah, relasi dengan kelompok dominan.
Kecendrungan dominasi kapital makin merajalela. Untuk menghadapi itu, pertama Tan Malaka membekali murid sekolah Serikat Islam dengan amunisi untuk mencari penghidupan dunia kemodalan. Membaca, menulis, hitung, masih diyakini sebagai kuncinya.
Yang kedua murid-murid perlu diberi ruang untuk menikmati setiap fase perkembangannya. Sekolah govermen dengan berbagai kesibukan akademisnya nyata telah merepresi anak. Kewajiban untuk menghapal berbagai bahasan, pekerjaan rumah yang diberikan, membentuk anak-anak dengan satu kesibukan sepanjang hari, yaitu belajar. Sehingga teralienasi dari lingkungan sosialnya, kemudian potensial menjadi manusia-manusia berwatak individual.
Pada dasarnya, anak memang suka bermain dan berkumpul. Dalam perkumpulan itu, murid-murid sekolah Tan Malaka membentuk organisasi-organisasi kecil dari permainannya. Sengaja Tan tidak mengintervensi mereka dalam menentukan arah serta peraturan-peraturan. “Kita bukan hendak membentuk mereka menjadi gromopon, kita mau, supaya dia berpikir dan berjalan sendiri,” (Tan Malaka:1921).
Ketiga, membentuk kesadaran bahwa kelak mereka memiliki kewajiban terhadap kaum-kaum kromo lainnya. Sekolah govermen mendidik murid dengan menihilkan rasa cinta kepada rakyat. Melupakan kewajiban untuk menaikkan derajat orang-orang miskin. Didikan seperti ini melahirkan sebuah kelas baru yang terpisah dari rakyat, yang kemudian disebut terpelajar.
Satu hal lagi yang turut membidani kelahiran kaum “terpelajar” adalah adanya pemisahan kerja otak dengan kerja tangan. Sekolah biasa, dianggap hanya untuk mencari kepandaian otak saja. Sementara kerja tangan dianggap sebagai yang rendahan.
Maka untuk mengatasi kondisi seperti ini, hal pertama yang dilakukan di sekolah adalah melepas paradigma bahwa kaum kromo dengan pekerjaan tangannya itu rendah. Kebencian tak beralasan kepada mereka segera dihilangkan. Kemudian mengintimkan hubungan dengan kaum melarat.
Mandiri Mereproduksi Guru
Permintaan pendirian Sekolah Serikat Islam di beberapa kota makin gencar. Hal ini tentunya karena secara pembiayaan cenderung lebih murah, dan secara pematerian dapat memberi lebih dari sekolah govermen. Namun, satu masalah yang mencuat adalah soal kekurangan guru.
Sedikit orang melamar sebagai guru di Sekolah Serikat Islam. Terutama lulusan kweekschool, mereka belum melirik menjadi guru disana. Bukan besar gaji yang jadi persoalan, namun lebih kepada haluan yang berbeda.
Mengatasi hal ini, Sekolah Serikat Islam mandiri memproduksi guru. Dipekerjakanlah anak-anak lulusan sekolah ongko loro. Lulusan sekolah ongko loro sudah berkompeten dalam baca, tulis, hitung, dan beberapa ilmu lain. Sehingga mereka bisa diperbantukan untuk mengajar sekolah rendah.
Juga dilakukan pemberdayaan atas mereka. Setelah mengajar sekolah rendah pagi sampai siang hari, mereka diberi kursus pedagogi sore harinya. Bicara kesejahteraan, penghasilan yang progresif mereka terima, sesuai dengan tingkat kursus dan kelas yang diajar.
Lulusan Sekolah Serikat Islam memang dirancang untuk menjadi pemimpin yang revolusioner. Para pemuda yang lulus kursus S.I. Semarang bisa menjadi guru S.I. lainnya. Pun jalan mereka sudah terbuka untuk memimpin rakyat. Kemampuan menjadi pembela perkumpulan politik sudah dimiliki. Karena ilmu-ilmu macam itu, sudah diteori dan dipraktikkan di Sekolah Serikat Islam.
Kurnia Yunita Rahayu